Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Bukan Deretan Angka-angka

17 Februari 2016   01:27 Diperbarui: 20 Februari 2016   04:22 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.Tanggal 6 April 1582 – 12 Mulud 1504 Jawa

Keberatan mereka yang menolak angka tanggal 6 April 1582 sebagai Hari Jadi Banyumas  didasarkan atas dalil Sugeng Priyadi bahwa tanpa dokumen tak ada sejarah (hal 47) dalam artikelnya,”Sejarah harus ada sumbernya”.

Pernyataan itu sepenuhnya benar.Tetapi interpretasi dan implementasinya bisa keliru dan menyesatkan, jika orang menganggap sejarah hanyalah deretan angka-angka mati tanpa makna.  Dan ahli sejarah  tidak boleh melupakan bahwa sejarah juga adalah rekonstruksi peristiwa dan kejadian pada masa lalu ke dalam dimensi waktu dan ruang sehingga terbentuk fakta sejarah yang tertulis dalam dokumen.

Semua peneliti sejarah melakukan rekonstruksi sejarah. Dan semua penulis sejarah pun berusaha merekonstruksi peristiwa ke dalam dimensi waktu. Itulah sebabnya ada ilmuwan yang berpendapat bahwa sejarah adalah ilmu yang membicarakan masyarakat dari dimensi waktu dan ruang, dengan karakteristiknya yang khas: ada permulaan, ada perkembangan, ada akhir, ada perubahan dan ada pengulangan. Pasowanan agung dan perayaan garebeg Mulud pada jaman Kerajaan Pajang dan Mataram merupakan peristiwa sejarah yang berulang dirayakan setiap tahun. Perayayaan Garebeg Mulud sebagai fakta sejarah tak dapat dibantah.

Memang pada naskah Babad Banyumas R.Wiryaatmaja, belum ditemukan sejarah hari lahir kota Banyumas, karena Patih R.Wiryaatmaja belum memasukkannya. Tetapi Patih Purwosuprojo telah melakukan rekonstruksi tahun berdirinya Mataram dalam Babad Banyumas versi C yang ditulisnya sehingga muncul angka 1582 tahun Walandi sebagai tahun kelahiran Mataram, sekalipun salah. RMS. Brotodiredjo dan R.Ngatijo Darmosuwondo juga melakukan rekonstruksi tahun lahirnya kota Banyumas dengan mengikuti jejak Patih Purwosuprojo, sehingga muncul angka tahun 1582 dalam bukunya Naskah Babad Banyumas versi ISSB. Akhirnya Sukarto juga melakukan rekonstruksi lahirnya kota Banyumas, sehingga muncul tanggal 6 April 1582 sebagai hari lahir kota dan Kabupaten Banyumas dalam makalah hasil penelitiannya. Dokumen berisi fakta sejarah sesungguhnya merupakan proses panjang hasil rekonstrukis atas persitiwa pada masa lalu ke dalam dimensi waktu.

Cara, metoda dan teknik merekonstruksi data sejarah pada penulis historiografi tradisional sebagian besar memang belum sistimatis. Kebanyakan  hanya mengandalkan intuisi, imajinasi, daya nalar, yang bisa saja bersifat subyektip. Karena itu bisa dimaklumi jika hasil rekonstruksinya bisa benar dan bisa salah. Tetapi itu semua tidak mengurangi usahanya untuk melakukan rekonstruksi  peristiwa-peristiwa yang terjadi ke dalam dokumen yang ditulisnya.

Rekonstruksi hari jadi dalam Babad Banyumas, agak unik. Mereka saling menyempurnakan, dan melengkapi tanpa menyalahkan. Sebagai contoh rekonstruksi Patih R.Purwosuprojo tentang berdirinya Mataram  tahun 1582 jelas keliru.  RMS.Brotodirejo dan R.Ngatijo Darmosuwondo, memperbaikinya dengan mengganti Mataram menjadi Banyumas. Namun demikian BRM.Brotodirejo dan R.Ngatijo Darmosuwondo, belum berhasil menemukan bulan dan tanggal kapan kota Banyumas dan rumah Kabupaten didirikan.

Baru setelah datang Sukarto, karena dia menguasai metode penulisan historiografi modern, dia dapat merekonstruksikan tanggal dan bulan lahirnya kota Banyumas. Tampak disini bahwa hari jadi Banyumas 6-April-1582, bukan hanya karya satu orang, tetapi sebuah karya yang bersinambungan  yang sebenarnya sudah lama dipikirkan oleh para Pujangga penulis Babad Banyumas. Seharusnya wong Banyumas bangga kepada karya dan jerih payah mereka. Dan tidak mencampakkannya begitu saja tanpa alasan dan pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Selanjutnya dalam artikelnya Sugeng Priyadi menyatakan bahwa tidak ada satu sumber pun yang berasal dari sumber lokal yang menyatakan bahwa Jaka Kahiman diangkat oleh Sultan Pajang menjadi Adipati Wirasaba ke tujuh pada tanggal 12 Rabiulawal ( hal 47 ).

Sesungguhnya tugas yang dibebankan oleh Pemda Kab.Banyumas pada Sukarto sebagai peneliti, bukan untuk menentukan hari apa dan tanggal berapa  Jaka Kahiman  diangkat Sultan Pajang sebagai Adipati Wirasaba VII. Tugas yang dibebankan kepada Sukarto sebagai peneliti adalah menentukan hari lahir kota dan Kabupaten Banyumas, tanggal berapa, bulan apa dan tahun berapa.

Kalau tahun pengangkatan Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba VII, dengan berpegang pada pendapat De Graaf dengan mudah dapat ditentukan, yakni tahun 1578, sebab tahun 1578 adalah tahun wafatnya Adipati Wirasaba VII dalam tragedi Sabtu Pahing. Tradisi lokal juga menceriterakan bahwa Jaka Kahiman diangkat sebagai Adipati Wirasaba VII, tidak lama setelah wafatnya Adipati Wirasaba VI dalam tragedi Sabtu Pahing.

 Tanggal 6 April 1582 sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas, tidak tercantum dalam dokumen manapun, baik dalam karya De Graaf, Babad Banyumas versi manapun bahkan juga dalam BTJ  yang sangat popular itu. Tetapi berdasarkan adat, tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan pemerintahan Kerajaan Pajang ,bahwa ada pranata penting yang sudah merupakan fakta sejarah, yaitu Pasowanan agung yang bersamaan dengan perayaan Garebeg Mulud yang berlaku  pada jaman Kerajaan Pajang sampai Mataram sebagai penerus Pajang. Pasowanan agung Garebeg Mulud, wajib dihadiri Adipati bawahan Raja Pajang.

Peristiwa dalam sejarah dalam banyak hal berjalan dalam dimensi waktu mengikuti kaidah logika yang pasti, sehingga bisa dipikirkan dan direkonstruksikan. Kaidah khusus selalu mengikuti kaidah yang umum. Kaidah umum setiap tahun Kerajaan Pajang merayakan Garebeg Mulud. Maka mustahil tahun 1582 tidak diselenggarakan perayaan Garebeg Mulud. Pasti tahun 1582 ada pasowanan agung yang dilanjutkan dengan perayaan Garebeg Mulud. Bahkan pasti lebih meriah dari tahun sebelumnya (1581). Karena tahun 1581 adalah tahun Adiwijaya menerima gelar Sultan. Dengan demikian garebeg Mulud 1582, Adiwijaya tampil lebih agung. Bukan hanya sebagai raja Pajang. Tetapi sebagai Sultan Pajang. Dan jangan lupa angka tahun 1581 M, tercantum di dalam Babad Tanah Jawi, sehingga Sukarto dan Para Pujangga Banyumas itu punya landasan yang sangat kuat untuk melakukan rekonstruksi Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Dalam logika sejarah juga dikenal adanya ketentuan umum dan ketentuan khusus.Contohnya, ketentuan umum, setiap pasowanan agung Garebeg Mulud setiap Adipati bawahan Raja Pajang wajib sowan. Adipati Warga Hutomo II tahun 1582 adalah Adipati bawahan Raja Pajang. Maka mustahil jika pada pasowanan agung yang bersamaan dengan perayaan Garebeg Mulud tanggal 12 Rabiul awal atau 6 April 1582, Adipati Wargahutomo II tidak hadir untuk sowan ke Pajang. Maka sebagai ketentuan khusus, dapat dipastikan pada tanggal 12 Rabiul awal atau 6 April 1582, Adipati Warga hutomo II pasti sowan menghadap Raja Pajang.

Dan dengan sedikit imajinasi, kita dapat membayangkan untuk merekonstruksikan peristiwa sejarah pembicaraan Adipati Warga Hutomo II dengan Sultan Pajang soal rencana pemindahan pusat pemerintahan Kadipaten Wirasaba ke kota baru Banyumas yang telah selesai dibangun. Singkat kata Sultan Adiwijaya menerima laporan Adipati Wargahutomo II, dan sabda pandita ratu: Merestui kota Banyumas dan rumah Kabupaten yang telah selesai, untuk segera ditempati. Peristiwa ini yang kemudian direkonstruksikan oleh Sukarto ke dalam makalah penelitianya yang menghasilkan fakta sejarah: Hari Jadi Kabupaten Banyumas adalah  6 April 1582 yang bertepatan dengan 12 Rabiulawal  1582.

Ya, sejarah memang bukan deretan angka-angka yang mati. Sejarah memerlukan imajinasi juga untuk dapat membayangkan peristiwa apa yang terjadi dibalik angka sejarah, peristiwa apa yang terjadi sebelumnya dan peristiwa apa yang terjadi sesudahnya. Tanpa imajinasi sulit melakukan rekonstruksi masa lalu, apa lagi masa lalu yang sudah sangat jauh dari jaman kita sekarang. Tanpa imajinasi, kita akan kesulitan membayangkan keadaan sosial-ekonomi, politik dan kehidupan keagamaan abad XVI.

Jadi tidak benar, jika tanggal 12 Rabiul Awal 1582 dinilai sebagi tidak memenuhi otentitas dan kredibilitas. Dokumen Sumber penelitian yang dipakai Babad Banyumas ISSB, jelas otentik, lulus verikasi eksternal, tidak ada satu datum sejarah pun yang diubah atau pun dihilangkan oleh Sukarto sebagai peneliti. Analisa filologi terhadap 6 April 1582 yang didasarkan pada tradisi, adat dan kebiasaan dalam hubungan Adipati Wargahutumo II sebagai Adipati bawahan Sultan Pajang, menunjukan bahwa angka 6 April 1582 sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas punya tingkat kredibilitas tinggi, sehingga layak dipercaya, sesuai dengan kenyataaan yang sesungguhnya. Dan dengan sendirinya merupakan fakta sejarah.

2.Hari jadi 6 April 1582 bukan didasarkan atas fakta yang palsu dan ahistoris.

Marilah kita kita ikuti pendapat Sugeng Piyadi  yang dimuat pada halaman 77 yang berasal dari ceramah Sugeng Priyadi pada tanggal 21 Februari 2005 di Pendopo Duplikat Si Panji yang mungkin dimaksudkan untuk merayakan hari jadi Kabupaten Banyumas tanggal 22 Februari 2005 yang sejalan dengan hasil penelitiannya.

“Masalah yang hakiki dalam penulisan sejarah adalah didasarkan atas fakta dan fakta itu ditemukan pada sumber sejarah yang berupa dokumen. Jadi, manakala dokumen itu tidak ditemukan, maka dengan sendirinya fakta sejarah itu tidak ada. Jika orang Banyumas memaksakan suatu fakta, yang tidak didasarkan sumber sejarah, maka fakta itu pada hakekatnya adalah fakta palsu. Orang Banyumas sudah melihat bahwa hari jadi 6 April 1582 itu didasarkan atas fakta yang palsu, karena jika dilacak kembali, maka fakta itu tidak dijumpai pada sumbernya. Oleh karena itu, tanggal 6 April 1582 adalah ahistoris dan tidak dapat dipertangung jawabkan secara metodologis.”

Pembaca yang awam mau pun pendengar ceramah besar kemungkinan tidak paham istilah teknis dalam metodologi penelitian seperti sumber sejarah, dokumen, data sejarah, fakta sejarah, dan istilah teknis lainnya, sehingga tanpa bersikap kritis akan menerima saja pendapat bahwa 6 April 1582 sebagai fakta palsu.

Fakta sejarah disebut palsu jika tidak ada sumbernya. Tahun 1582 sebagai tahun hari jadi Banyumas, jelas ada sumbernya. Sugeng Priyadi sendiri menyebutkannya bahwa tahun 1582 memang ada sumbernya.

Sugeng Priyadi menulis dengan jelas pada hal 76 sbb,” Tahun 1582 sebagai tahun yang diambil sebagai patokan hari jadi, memang ada sumbernya. Namun, sumber tersebut tidak dapat dipertahankan karena hanya dinyatakan oleh sebuah sumber saja, yakni naskah  Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas(ISSB)”

Jelas dari pernyataan di atas, bahwa  hari jadi tanggal 6 April 1582  itu ada sumbernya, yaitu ISSB, hanya Sugeng Priyadi menganggap  sumber itu tidak dapat dipertahankan karena hanya dinyatakan oleh sebuah sumber saja, yakni ISSB. Artinya, Sugeng Priyadi sebenarnya tidak keberatan jika Sukarto  menggunakan dua sumber penelitian atau lebih seperti Sugeng Priyadi yang menggunakan 2 sumber penelitian yaitu  Naskah Kranji-Kedoengwoeloeh dan Naskah Kalibening.

Mereka yang paham metode penelitian, sebenarnya tahu benar soal banyak sedikitnya sumber penelitian. Hal itu hanya soal selera, soal pilihan dan soal profesionalitas masing-masing peneliti yang bersifat subyektip. Yang jelas menggunakan satu sumber penelitian yang memiliki otentitas dan kredibilitas yang tinggi lebih baik dari pada banyak sumber penelitian tetapi rendah tingkat otentitasnya dan kredibilitasnya.

Pada prinsipnya menggunakan satu sumber tidak menyalahi metodologi penelitian. Yang penting justru adanya alat-alat penguji dokumen penelitian yang harus tersedia cukup banyak untuk menetapkan tingkat kredibilitas data sejarah yang ada pada sumber penelitian. Biasanya korelasinya positip, antara jumlah dokumen penguji dengan tingkat kredibilitas data sejarah yang ditelitinya. Makin banyak alat penguji makin baik.

Hasil penelitain Sukarto yang berupa  hari jadi 6 –April – 1582 justru sangat bisa dipertanggung jawabkan baik dari segi historis maupun filologis. Ibarat mencari patung Bima yang kepalanya terlepas dari badannya,  penyusun  ISSB sudah menemukan kepala Bima, yaitu angka 1582. Sukarto sebagai peneliti tinggal cari  badan patung Bima. Sukarto dengan mudah menemukan badan Bima  yang berupa angka 6-April.

Sukarto yang cerdik sebenarnya tahu persis bahwa mencari badan patung tak perlu harus jauh-jauh  mencari lokasi lain, pasti badan patung Bima berada di dekat lokasi ditemukannya kepala patung Bima. Sukarto karena profesionalnya dan ahli epigrafi, cukup mencarinya pada satu bidang lokasi tanah yang sama. Itu sebabna Sukarto  cukup memakai satu sumber penelitian saja yakni ISSB. Ternyata dugaannya betul, ketika badan patung Bima disatukan dengan kepala patung Bima, pas nyambung. Patung Bima yang hilang ketika kepala dan badan disatukan ternyata  tampak utuh, yakni : 6 April 1582!. Patung yang utuh memang lebih layak di pajang di depan Pendapa Si Panji Purwokerto!.

3.Tanggal 22 Pebruari 1571 – 27 Pasa 1493 Jawa

Sebaliknya dengan Sugeng Priyadi  yang menggunakan dua sumber penelitian, yaitu Naskah Kranji-Kedungwoeloeh dan naskah Kalibening. Hasil penelitian Sugeng Priyadi yakni  hari jadi Banyumas : 22 Februari 1571, berasal dari dua sumber penelitian yang berbeda. Kepalanya yaitu angka 1571 didapat dari  Naskah Kranji Kedungwuluh, sedang badannya angka 22-Februari didapat dari Naskah Kali Bening. Naskah Kranji Kedungwuluh  dan Naskah Kali Bening, berasal dari dua jaman yang berbeda. Dapatkah  data sejarah dari sumber yang berbeda jaman,  disambung menjadi satu atau disintesekan jadi satu?

Dari segi metodologi justru lemah, karena sumber itu beda jaman. Dengan menggunakan analogi yang sama dengan mencari patung wayang yang hilang, tugas Sugeng Priyadi  memang berat. Katakanlah patung yang dicarinya patung Joyojotro. Kepala Joyojotro  berupa tahun 1571 ditemukan dilokasi Kranji-Kedungwoeloeh. Sedang badan patung yang berupa angka 22-Pebruari dicarinya di Kalibening.  Walaupun dari Kedungwuluh ke Kalibening tidak jauh, tetapi kalau harus jalan kaki kelihatanya ngos-ngosan juga.

Alkisah badan patung Joyojotro ditemukan. Tetapi ketika disambungkan ternyata tidak pas. Sebab apa? Sebab badan patung Joyojotro ternyata mirip badan patung Ontorejo. Ketika disatukan jadilah patung wayang memang. Tetapi tidak pas. Sebab badan patung adalah Ontorejo, tetapi kepala patungnya Joyojotro. Jadilah patung wayang yang ditemukan Sugeng Priyadi adalah patung wayang Ontorejo berkepala Joyojotro. Atau patung wayang Joyojotro berbadan Ontarejo. Hal yang demikian bisa terjadi akibat digunakan dua sumber penelitian dari jaman yang berbeda.

 Sesungguhnya dokumen yang berbeda jaman lebih tepat dijadikan alat penguji sumber penelitian dari pada dijadikan sumber penelitian. Tentu akan banyak orang yang sedih dan menundukkan kepala jika patung yang demikian dipasang di depan Pendopo Si Panji Purwokerto!

Sekarang kita analisa  kembali Naskah Kranji Kedung Wuluh. Ternyata angka 1571 M sebagai data sejarah, hanya ditemukan di dalam Naskah Kranji Kedung Wuluh. Jadi Naskah Kranji Kedung Wuluh sebenarnya juga hanya merupakan satu-satunya sumber yang berisi data sejarah 1571 M, sebab data sejarah itu tidak ditemukan dalam Naskah Kali Bening. Demikian juga data sejarah angka 22 Februari, ternyata hanya terdapat dalam Naskah Kali Bening sebagai satu-satunya sumber. Sebab data sejarah 22 Februari  tidak ditemukan dalam Naskah Kranji Kedung Wluh. 

Kesimpulannya, sebenarnya Sugeng Priyadi  pun hanya menggunakan satu sumber penelitian saja untuk tahun 1571 M dan juga satu sumber penelitian saja untuk tanggal 22 Februari. Fakta ini menunjukkan bahwa  sumber penelitian yang hanya satu tidak melanggar metodologi penelitian.

Bahkan hasil penelitian Sugeng Priyadi  tanggal 22 Februari 1571  sangat lemah dari segi filologi dan historis, sebagaimana sudah dibahas di atas. Kelemahan paling menyolok adalah dari sisi historis, karena pada tanggal 22 Februari 1571 menurut Sejarawan De Graaf, Adipati Wirasaba VI masih hidup. Menurut De Graaf, Adipati Wirasaba VI baru wafat pada tahun 1578. Dengan demikian hasil penelitian Sugeng Priyadi, bahwa hari jadi Kabupaten Banyumas tanggal 22 Februari 1571, lemah secara historis karena akan bertabrakan dengan telaah De Graaf!.

Dari segi filologi, tanggal 22-Februari yang berasal dari  bunyi teks, ”27 wulan Puasa di(n)ten Rebo sonten “, sebuah teks dari Naskah Kalibening  yang dimuat pada hal. 25 buku yang sedang kita bicarakan ini, malah aneh. Sebab  Sugeng Priyadi menafsirkan Rebo sonten sama dengan malam Kamis. Padahal pergantian hari pada Kalender Qomariyah, baik Kalender Jawa, Hijriyah, maupun Saka, terjadi menjelang Magrib. Rebo sonten dapat dipastikan masih Hari Rabu, belum Hari Kamis. Secara adat, tradisi dan kebiasaan, juga mustahil Raja Pajang mau menerima Jaka Kahiman dan rombongan pada malam Kamis. Jaka Kahiman baru akan diterima esok paginya, yaitu Hari Kamis, tanggal 28 Puasa yang bertepatan dengan tanggal 23 Februari .

Hari Kamis memang hari seba, sehingga peluang Jaka Kahiman diterima Raja Pajang  besar sekali. Dalam hal ini kisah yang diceriterakan dalam  Naskah Kalibening dapat dipercaya. Akan tetapi bukan pada tanggal 22 Februari. Tetapi tanggal 23 Februari. Menafsirkan Rebo sonten sama dengan malem Kamis, jelas  penafsiran yang dipaksakan.

Tahun berapa ketika Jaka Kahiman menghadap Raja Pajang?  Ternyata data sejarah angka 1571 sama sekali tidak ditemukan dalam Naskah Kalibening. Dan tak tak satu kalimat pun dalam Naskah Kalibening yang menyebutkan bahwa  bahwa Jaka Kahiman telah diangkat sebagai Adipati Wirasaba. Lalu dari mana data sejarah angka tahun 1571 diambil ? Ternyata dari Naskah Kranji Kedung Wuluh. Maka terbentuklah duet antara pasangan : 22 –Februari  dari Naskah Kalibening dan angka  1571 M yang dicomotnya dari naskah Kranji Kedung Wuluh. Sebuah rekostruksi paling ganjil yang  dilakukan oleh seorang peneliti sejarah yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sejarah mana pun di muka bumi!.

 Tentu saja hasilnya sebuah sintesa tanggal dan bulan yang bersumber dari Naskah Kalibening dan tahun yang bersumber dari naskah Kedung Wuluh. Hasil sintesa, perkawinan dan persilangan itu, lahirlah kombinasi hari jadi Banyumas hasil penelitian Sugeng Priyadi selama 5 tahun : 22 –Februari -1571.

 Ibarat patung wayang, badannya adalah Ontorejo dan kepalanya Joyojotro. Sebab Sugeng Priyadi memang telah melakukan tindakan sewenang-wenang dengan melakukan sintesa secara paksa, menyatukan dua sumber penelitian yang beda jaman, beda waktu dan beda usia. Naskah Kranji Kedung Wuluh  berasal dari tahun 1889, sedangkan Naskah Kalibening dilaporkan oleh Sugeng Priyadi berasal dari abad ke -16 M. Suatu sintesa yang amat jauh antara abad ke-19 (Kranji Kedung Wuluh) dengan abad ke-16 ( Naskah Kali Bening). Beda usia 3 abad atau 300 tahun!.

Belum lagi masalah otentitas sumber penelitian Sugeng Priyadi. Naskah Kranji Kedung Wuluh, yang digunakan hanya  hasil salinan Wiryasenjaya, pada tanggal 14 April 1940 M. Naskah aslinya belum pernah ditemukan! Demikian pula Naskah Kali Bening, malah tersimpan secara misterius sebagai benda pusaka yang disakralkan. Baik naskah Kalibening maupun Salinan Wiryasenjaya, belum menjadi milik publik, belum pernah dipublikasikan, hingga isinya hanya dimonopoli oleh pemiliknya dan Sugeng Priyadi sebagai peneliti. Publik mau tidak mau, suka tidak suka diwajibkan untuk percaya saja kepada komentar-komentar peneliti tanpa diberi kesempatan untuk melakukan verifikasi langsung terhadap sumber penelitian yang digunakan.

Dalam masyarakat tradisional, memang kawula, rakyat awam dan publik wajib percaya kepada setiap apa saja yang disabdakan Sang Pujangga, sebagai satu-satunya juru tafsir tunggal yang otoritasnya tidak boleh diganggu gugat. Dengan demikian tidak terjadi proses pencerahan dan pencerdasan untuk memahami sejarah masa lalu masyarakatnya. Sebuah kemunduran luas biasa masyarakat Banyumas dari sisi historiografi modern.

Demikianlah, kita sebenarnya sudah bisa menyimpulkan bahwa hari jadi tanggal 22- Februari 1571 sebagai hari Jadi Banyumas, justru   lebih ahistoris dan rawan mendapat gugatan-gugatan di masa depan. Karena DPRD Tingkat II KABUPATEN BANYUMAS sesungguhnya  memaksakan diri mencabut Hari Jadi tanggal 6 April 1582  menjadi Hari Jadi tanggal 22 Februari 1571, hanya karena alasan politik, mistik  dan kebetulan MM.Sukarto memang bukan wong Banyumas. Tambahan lagi namanya mirip-mirip Suharto, Penguasa Orde Baru yang sudah tergusur dari panggung politik tanah air kita.

 Perda No.2/1990  dipandangnya sebagai produk Old Regime yang harus digusur dan diganti dengan produk New Regime yang sedang naik ke Pentas Panggung Politik, Yaitu Orde Reformasi.

Padahal seharusnya  obyektivitas Ilmiyah dan Keilmuan yang dijadikan pegangan dalam menetapkan Hari Jadi Kabupaten Banyumas, sebuah Kabupaten yang sudan cukup tua, yang seharusnya menyimpan sebuah kearifan dan kebijakan yang mantap, konsisten dan konsekwen.Wallahualam.(anhadja-17-02-2016)

 [caption caption="Disain gambar anwar hadja,,latar belakang buku terbitan SIP Publishing dan foto milik Nadija"]

Artikel lanjutan:

http://www.kompasiana.com/anklbrat/dimensi-waktu-dalam-pembangunan-kota-banyumas_56c4130c28b0bdd0049166d7

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun