Tanggal 6 April 1582 sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas, tidak tercantum dalam dokumen manapun, baik dalam karya De Graaf, Babad Banyumas versi manapun bahkan juga dalam BTJ yang sangat popular itu. Tetapi berdasarkan adat, tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan pemerintahan Kerajaan Pajang ,bahwa ada pranata penting yang sudah merupakan fakta sejarah, yaitu Pasowanan agung yang bersamaan dengan perayaan Garebeg Mulud yang berlaku pada jaman Kerajaan Pajang sampai Mataram sebagai penerus Pajang. Pasowanan agung Garebeg Mulud, wajib dihadiri Adipati bawahan Raja Pajang.
Peristiwa dalam sejarah dalam banyak hal berjalan dalam dimensi waktu mengikuti kaidah logika yang pasti, sehingga bisa dipikirkan dan direkonstruksikan. Kaidah khusus selalu mengikuti kaidah yang umum. Kaidah umum setiap tahun Kerajaan Pajang merayakan Garebeg Mulud. Maka mustahil tahun 1582 tidak diselenggarakan perayaan Garebeg Mulud. Pasti tahun 1582 ada pasowanan agung yang dilanjutkan dengan perayaan Garebeg Mulud. Bahkan pasti lebih meriah dari tahun sebelumnya (1581). Karena tahun 1581 adalah tahun Adiwijaya menerima gelar Sultan. Dengan demikian garebeg Mulud 1582, Adiwijaya tampil lebih agung. Bukan hanya sebagai raja Pajang. Tetapi sebagai Sultan Pajang. Dan jangan lupa angka tahun 1581 M, tercantum di dalam Babad Tanah Jawi, sehingga Sukarto dan Para Pujangga Banyumas itu punya landasan yang sangat kuat untuk melakukan rekonstruksi Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Dalam logika sejarah juga dikenal adanya ketentuan umum dan ketentuan khusus.Contohnya, ketentuan umum, setiap pasowanan agung Garebeg Mulud setiap Adipati bawahan Raja Pajang wajib sowan. Adipati Warga Hutomo II tahun 1582 adalah Adipati bawahan Raja Pajang. Maka mustahil jika pada pasowanan agung yang bersamaan dengan perayaan Garebeg Mulud tanggal 12 Rabiul awal atau 6 April 1582, Adipati Wargahutomo II tidak hadir untuk sowan ke Pajang. Maka sebagai ketentuan khusus, dapat dipastikan pada tanggal 12 Rabiul awal atau 6 April 1582, Adipati Warga hutomo II pasti sowan menghadap Raja Pajang.
Dan dengan sedikit imajinasi, kita dapat membayangkan untuk merekonstruksikan peristiwa sejarah pembicaraan Adipati Warga Hutomo II dengan Sultan Pajang soal rencana pemindahan pusat pemerintahan Kadipaten Wirasaba ke kota baru Banyumas yang telah selesai dibangun. Singkat kata Sultan Adiwijaya menerima laporan Adipati Wargahutomo II, dan sabda pandita ratu: Merestui kota Banyumas dan rumah Kabupaten yang telah selesai, untuk segera ditempati. Peristiwa ini yang kemudian direkonstruksikan oleh Sukarto ke dalam makalah penelitianya yang menghasilkan fakta sejarah: Hari Jadi Kabupaten Banyumas adalah 6 April 1582 yang bertepatan dengan 12 Rabiulawal 1582.
Ya, sejarah memang bukan deretan angka-angka yang mati. Sejarah memerlukan imajinasi juga untuk dapat membayangkan peristiwa apa yang terjadi dibalik angka sejarah, peristiwa apa yang terjadi sebelumnya dan peristiwa apa yang terjadi sesudahnya. Tanpa imajinasi sulit melakukan rekonstruksi masa lalu, apa lagi masa lalu yang sudah sangat jauh dari jaman kita sekarang. Tanpa imajinasi, kita akan kesulitan membayangkan keadaan sosial-ekonomi, politik dan kehidupan keagamaan abad XVI.
Jadi tidak benar, jika tanggal 12 Rabiul Awal 1582 dinilai sebagi tidak memenuhi otentitas dan kredibilitas. Dokumen Sumber penelitian yang dipakai Babad Banyumas ISSB, jelas otentik, lulus verikasi eksternal, tidak ada satu datum sejarah pun yang diubah atau pun dihilangkan oleh Sukarto sebagai peneliti. Analisa filologi terhadap 6 April 1582 yang didasarkan pada tradisi, adat dan kebiasaan dalam hubungan Adipati Wargahutumo II sebagai Adipati bawahan Sultan Pajang, menunjukan bahwa angka 6 April 1582 sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas punya tingkat kredibilitas tinggi, sehingga layak dipercaya, sesuai dengan kenyataaan yang sesungguhnya. Dan dengan sendirinya merupakan fakta sejarah.
2.Hari jadi 6 April 1582 bukan didasarkan atas fakta yang palsu dan ahistoris.
Marilah kita kita ikuti pendapat Sugeng Piyadi yang dimuat pada halaman 77 yang berasal dari ceramah Sugeng Priyadi pada tanggal 21 Februari 2005 di Pendopo Duplikat Si Panji yang mungkin dimaksudkan untuk merayakan hari jadi Kabupaten Banyumas tanggal 22 Februari 2005 yang sejalan dengan hasil penelitiannya.
“Masalah yang hakiki dalam penulisan sejarah adalah didasarkan atas fakta dan fakta itu ditemukan pada sumber sejarah yang berupa dokumen. Jadi, manakala dokumen itu tidak ditemukan, maka dengan sendirinya fakta sejarah itu tidak ada. Jika orang Banyumas memaksakan suatu fakta, yang tidak didasarkan sumber sejarah, maka fakta itu pada hakekatnya adalah fakta palsu. Orang Banyumas sudah melihat bahwa hari jadi 6 April 1582 itu didasarkan atas fakta yang palsu, karena jika dilacak kembali, maka fakta itu tidak dijumpai pada sumbernya. Oleh karena itu, tanggal 6 April 1582 adalah ahistoris dan tidak dapat dipertangung jawabkan secara metodologis.”
Pembaca yang awam mau pun pendengar ceramah besar kemungkinan tidak paham istilah teknis dalam metodologi penelitian seperti sumber sejarah, dokumen, data sejarah, fakta sejarah, dan istilah teknis lainnya, sehingga tanpa bersikap kritis akan menerima saja pendapat bahwa 6 April 1582 sebagai fakta palsu.
Fakta sejarah disebut palsu jika tidak ada sumbernya. Tahun 1582 sebagai tahun hari jadi Banyumas, jelas ada sumbernya. Sugeng Priyadi sendiri menyebutkannya bahwa tahun 1582 memang ada sumbernya.
Sugeng Priyadi menulis dengan jelas pada hal 76 sbb,” Tahun 1582 sebagai tahun yang diambil sebagai patokan hari jadi, memang ada sumbernya. Namun, sumber tersebut tidak dapat dipertahankan karena hanya dinyatakan oleh sebuah sumber saja, yakni naskah Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas(ISSB)”
Jelas dari pernyataan di atas, bahwa hari jadi tanggal 6 April 1582 itu ada sumbernya, yaitu ISSB, hanya Sugeng Priyadi menganggap sumber itu tidak dapat dipertahankan karena hanya dinyatakan oleh sebuah sumber saja, yakni ISSB. Artinya, Sugeng Priyadi sebenarnya tidak keberatan jika Sukarto menggunakan dua sumber penelitian atau lebih seperti Sugeng Priyadi yang menggunakan 2 sumber penelitian yaitu Naskah Kranji-Kedoengwoeloeh dan Naskah Kalibening.