Dari segi filologi, tanggal 22-Februari yang berasal dari bunyi teks, ”27 wulan Puasa di(n)ten Rebo sonten “, sebuah teks dari Naskah Kalibening yang dimuat pada hal. 25 buku yang sedang kita bicarakan ini, malah aneh. Sebab Sugeng Priyadi menafsirkan Rebo sonten sama dengan malam Kamis. Padahal pergantian hari pada Kalender Qomariyah, baik Kalender Jawa, Hijriyah, maupun Saka, terjadi menjelang Magrib. Rebo sonten dapat dipastikan masih Hari Rabu, belum Hari Kamis. Secara adat, tradisi dan kebiasaan, juga mustahil Raja Pajang mau menerima Jaka Kahiman dan rombongan pada malam Kamis. Jaka Kahiman baru akan diterima esok paginya, yaitu Hari Kamis, tanggal 28 Puasa yang bertepatan dengan tanggal 23 Februari .
Hari Kamis memang hari seba, sehingga peluang Jaka Kahiman diterima Raja Pajang besar sekali. Dalam hal ini kisah yang diceriterakan dalam Naskah Kalibening dapat dipercaya. Akan tetapi bukan pada tanggal 22 Februari. Tetapi tanggal 23 Februari. Menafsirkan Rebo sonten sama dengan malem Kamis, jelas penafsiran yang dipaksakan.
Tahun berapa ketika Jaka Kahiman menghadap Raja Pajang? Ternyata data sejarah angka 1571 sama sekali tidak ditemukan dalam Naskah Kalibening. Dan tak tak satu kalimat pun dalam Naskah Kalibening yang menyebutkan bahwa bahwa Jaka Kahiman telah diangkat sebagai Adipati Wirasaba. Lalu dari mana data sejarah angka tahun 1571 diambil ? Ternyata dari Naskah Kranji Kedung Wuluh. Maka terbentuklah duet antara pasangan : 22 –Februari dari Naskah Kalibening dan angka 1571 M yang dicomotnya dari naskah Kranji Kedung Wuluh. Sebuah rekostruksi paling ganjil yang dilakukan oleh seorang peneliti sejarah yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sejarah mana pun di muka bumi!.
Tentu saja hasilnya sebuah sintesa tanggal dan bulan yang bersumber dari Naskah Kalibening dan tahun yang bersumber dari naskah Kedung Wuluh. Hasil sintesa, perkawinan dan persilangan itu, lahirlah kombinasi hari jadi Banyumas hasil penelitian Sugeng Priyadi selama 5 tahun : 22 –Februari -1571.
Ibarat patung wayang, badannya adalah Ontorejo dan kepalanya Joyojotro. Sebab Sugeng Priyadi memang telah melakukan tindakan sewenang-wenang dengan melakukan sintesa secara paksa, menyatukan dua sumber penelitian yang beda jaman, beda waktu dan beda usia. Naskah Kranji Kedung Wuluh berasal dari tahun 1889, sedangkan Naskah Kalibening dilaporkan oleh Sugeng Priyadi berasal dari abad ke -16 M. Suatu sintesa yang amat jauh antara abad ke-19 (Kranji Kedung Wuluh) dengan abad ke-16 ( Naskah Kali Bening). Beda usia 3 abad atau 300 tahun!.
Belum lagi masalah otentitas sumber penelitian Sugeng Priyadi. Naskah Kranji Kedung Wuluh, yang digunakan hanya hasil salinan Wiryasenjaya, pada tanggal 14 April 1940 M. Naskah aslinya belum pernah ditemukan! Demikian pula Naskah Kali Bening, malah tersimpan secara misterius sebagai benda pusaka yang disakralkan. Baik naskah Kalibening maupun Salinan Wiryasenjaya, belum menjadi milik publik, belum pernah dipublikasikan, hingga isinya hanya dimonopoli oleh pemiliknya dan Sugeng Priyadi sebagai peneliti. Publik mau tidak mau, suka tidak suka diwajibkan untuk percaya saja kepada komentar-komentar peneliti tanpa diberi kesempatan untuk melakukan verifikasi langsung terhadap sumber penelitian yang digunakan.
Dalam masyarakat tradisional, memang kawula, rakyat awam dan publik wajib percaya kepada setiap apa saja yang disabdakan Sang Pujangga, sebagai satu-satunya juru tafsir tunggal yang otoritasnya tidak boleh diganggu gugat. Dengan demikian tidak terjadi proses pencerahan dan pencerdasan untuk memahami sejarah masa lalu masyarakatnya. Sebuah kemunduran luas biasa masyarakat Banyumas dari sisi historiografi modern.
Demikianlah, kita sebenarnya sudah bisa menyimpulkan bahwa hari jadi tanggal 22- Februari 1571 sebagai hari Jadi Banyumas, justru lebih ahistoris dan rawan mendapat gugatan-gugatan di masa depan. Karena DPRD Tingkat II KABUPATEN BANYUMAS sesungguhnya memaksakan diri mencabut Hari Jadi tanggal 6 April 1582 menjadi Hari Jadi tanggal 22 Februari 1571, hanya karena alasan politik, mistik dan kebetulan MM.Sukarto memang bukan wong Banyumas. Tambahan lagi namanya mirip-mirip Suharto, Penguasa Orde Baru yang sudah tergusur dari panggung politik tanah air kita.
Perda No.2/1990 dipandangnya sebagai produk Old Regime yang harus digusur dan diganti dengan produk New Regime yang sedang naik ke Pentas Panggung Politik, Yaitu Orde Reformasi.
Padahal seharusnya obyektivitas Ilmiyah dan Keilmuan yang dijadikan pegangan dalam menetapkan Hari Jadi Kabupaten Banyumas, sebuah Kabupaten yang sudan cukup tua, yang seharusnya menyimpan sebuah kearifan dan kebijakan yang mantap, konsisten dan konsekwen.Wallahualam.(anhadja-17-02-2016)
[caption caption="Disain gambar anwar hadja,,latar belakang buku terbitan SIP Publishing dan foto milik Nadija"]