Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Adipati Wirasaba VI Wafat Tahun 1570 M?(05)

5 Desember 2015   14:24 Diperbarui: 5 Januari 2016   10:59 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri Tinjauan Kritis Buku Hari Jadi Kab. Banyumas 22 Februari 1571 M(05)

Naskah Kranji-Kedungwoeloeh menyebutkan bahwa Adipati Wargahutomo I wafat pada tahun 1570 dan Adipati Mrapat pindah Banyumas tahun 1571, sebagaimana dikutip Sugeng Priyadi sbb:

“Rr.Srijati krama R.A Banyak Sasra peputra R.Kahiman/ Adipati Mrapat Banyoemas taoen 1571/1572 Wirasaba ping VII pindah Banjoemas.

“Rr.Srini krama Adipati Warga Oetama Wirasaba ping VI, seda ing dusun Bener 1570.

“R.Warga / R.H. Warga Oetama I/ seda ing doesoen Bener /Lowano (Ngambal ?) taoen 1570

“R.Sukartimah/R.H.Warga Utama II/R.H. Bupati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banyumas I tahun 1571 “

 Seorang peneliti yang menjumpai data sejarah angka 1570 sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI, tentu harus menguji tingkat kredibilitasnya agar data sejarah itu bisa direkonstruksikan menjadi fakta sejarah.

Alat-alat untuk menguji angka 1570 ternyata tidak tersedia pada Babad Banyumas versi mana pun. Sugeng Priyadi sebagai peneliti juga belum melakukan uji kredibilitas tahun 1570 sebagai data sejarah yang tercantum dalam naskah Kranji-Kedungwoeloeh yang dijadikan dokumen sumber penelitiannya. Dengan demikian data sejarah tahun 1570 sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI, belum merupakan fakta sejarah karena data sejarah itu hanya tercantum dalam satu-satunya dokumen sumber yakni naskah Kranji-Kedungwoeloeh.

Sugeng Priyadi sebagai peneliti hanya mengandalkan usia dokumen naskah Kranji-Kedungwoeloeh yang dianggapnya sebagai naskah tua. Wiryasenjaya penyalin naskah, mengaku sumber naskah Kranji-Kedungwoeloeh itu disalin dari sebuah naskah milik Kanjeng Purwokerto yang berasal dari tahun 1889.

“Baboning sarsilah noeroen kagoengan dalem Bendoro Kanjeng Purwokerto nalika tahun 1889. Kranji Purwokerto, 16 April 1940 “( halaman 27).

Siapakah Kanjeng Purwokerto itu? Sugeng Priyadi menduga dia adalah Raden Mas Tumenggung Cakrakesuma. Tak perlu diragukan lagi Kanjeng Purwokerto memang Tumenggung Cakrakesuma. Dia diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Bupati Purwokerto ( 1885 – 1905 M). Dialah penulis salah satu versi Babad Banyumas pada tahun 1889 yang salinannya kemudian ditemukan kembali oleh Sugeng Priyadi dan dikenalkan Sugeng Priyadi sebagai Babad Kranji-Kedungwoeloeh. Seharusnya nama kitab Babad Banyumas versi Cakrakesuma itu adalah Babad Banyumas versi Cakrakesuman. Atau Babad Banyumas Cakrakesuma.

Sementara itu Patih Purwokerto Raden Aria Wiryaatmaja juga menulis Babad Banyumas pada tahun 1898. Dengan demikian Kanjeng Purwokerto itu hidup sejaman dengan Patih Aria Wiryaatmaja. Dan Naskah Babad Banyumas Wiryaatmajan, sejaman dengan Naskah Babad Banyumas Cakrakesuman atau Babad Kranji-Kedungwoeloeh. Bedanya hanya 9 tahun(1889-1898).

Hanya empat tahun setelah diangkat jadi Bupati Purwokerto, Kanjeng Purwokerto sudah menulis Babad Banyumas, yaitu pada tahun 1889. Tetapi ternyata Asisten Residen lebih suka menugaskan Patih Aria Wiryaatmaja untuk menuliskan Babad Banyumas dari pada menugaskan Kanjeng Purwokerto yang merasa lebih dekat dengan Bupati Martadireja. Bisa jadi pertimbangan Asisten Residen, Sang Patih dinilai lebih kompeten dan lebih memiliki bakat intelektual yang memadai dari Kanjeng Purwokerto.

Patih Arya Wiryaatmaja, mampu menyelesaikan kitab Babad Banyumas pesanan Asisten Residen, pada tahun 1898 M, sembilan tahun setelah Kanjeng Purwokerto menyelesaikan kitab babad yang ditulisnya. Tentu saja Babad Banyumas susunan Patih Arya Wiryaatmaja itu bukan hanya lebih populer. Tetapi kualitas isinya dan gaya bahasanya jauh lebih baik dari kitab Babad Banyumas susunan Kanjeng Purwokerto.

Memang Patih Aria Wiryaatmaja sangat populer, bukan hanya karena diminta oleh Asisten Residen WPD De Wolf van Westerode untuk menyusun Babad Banyumas. Patih Aria Wiryaatmaja juga tokoh perintis pendirian Bank Penolong dan Tabungan di Purwokerto pada tahun 1896 yang menjadi cikal bakal Bank Rakyat, Rumah Gadai, Bank Desa dan Lumbung Desa yang dirintis bersama-sama Asisten Residen Westerode. Dia hidup sejaman dengan Bupati Banyumas Martawijaya III (1879-1913), sebelumnya Bupati Purwokerto (1860 -1879 ). Patih Raden Aria Wiryaatmaja juga hidup sejaman dengan Kanjeng Purwokerto yang diduga oleh Sugeng Priyadi sebagai Tumenggung Cakrakusuma.

Siapakah Kanjeng Purwokerto atau Bupati Cakrakesuma?

Bupati Cakrakesuma adalah putra Bupati Banyumas, Cakranegara II. Cakrakesuma naik menjadi Bupati Purwokerto pada tahun 1885 M. Sebelumnya dia adalah Asisten Wedana Banteran. Sebelum Cakrakesuma ditetapkan jadi Bupati Purwokerto, kursi Bupati Purwokerto sempat vakum selama 3 tahun, yaitu dari tahun 1882 – 1885 M. Sebabnya adalah Bupati Cakraseputra yang diangkat menjadi Bupati Purwokerto pada tahun 1879 menggantikan Bupati Martadireja III( 1860 – 1879 M), yang dipindah ke Banyumas, selama menduduki kursi Bupati Purwokerto, sakit-sakitan.

Kurang jelas, apa sebab Pemerintah Hindia Belanda, membiarkan kursi Bupati Purwokerto kosong selama 3 tahun ( 1882 – 1885 M) ?. Kuat dugaan bahwa Pemerintah Hindia Belanda sengaja mengosongkan kursi Bupati Purwokerto, dalam rangka memberikan keleluasaan kepada Patih Purwokerto, Raden Arya Wiryaatmaja untuk melakukan konsolidasi dan menata manajemen Kabupaten Purwokerto.

Sebagai sosok yang bintangnya terus naik, popularitas Patih Aria Wiryaatmaja mampu menyamai popularitas Bupati Martadireja III( 1860 – 1879 ). Tapi setelah Bupati Martadireja III pindah ke Banyumas, sisa-sisa anak buah Bupati Martadireja III yang tertinggal di Purwokerto rupanya terpecah jadi dua. Di antara mereka, ada yang bergabung dan dibawah kendali Patih Aria Wiryaatmaja dan ada pula yang tersingkir dari lingkaran dalam kekuasaan Kabupaten Purwokerto dan berada dibawah kendali Kanjeng Purwokerto.

Ketika Kanjeng Purwokerto Cakrakesumo diangkat menduduki kursi Bupati Purwokerto setelah masa vakum selama 3 tahun, peran Kanjeng Purwokerto Cakrakesuma itu hanyalah bersifat simbolis. Dia tidak mungkin menandingi popularitas dan kecakapan Patih Arya Wiryaatmaja dalam mengendalikan pemerintahan Kabupaten Purwokerto. Namun sekalipun peranan Kanjeng Purwokerto sebagai bupati hanya sebatas simbolik, seremonial dan senantiasa berada dibawah baying-bayang popularitas Patih Arya Wiryaatmaja, dia mendapat dukungan dari kelompok yang tersingkir dari kekuasaan.

Tidak semua mantan anak buah Martawijaya terlempar dari lingkaran dalam elit Kabupaten Purwokerto yang dikuasai Patih Aria Wiryaatmaja. Ada pula kelompok trah Martadireja yang tetap setia pada Patih Aria Wiryaatmaja setelah Martawijaya III pindah dari Purwokerto ke Banyumas(1879). Tetapi mereka juga tetap menghormati Martadireja III dan leluhur mereka.

Adapun kelompok Kanjeng Purwokerto ini merupakan kelompok yang lebih religious, rajin menyelenggarakan acara sadranan dan haul hari kematian di makam leluhurnya dan tentu saja rajin melaksanakan ziarah kubur ke makam-makam keramat. Sekalipun mereka adalah kelompok di luar arus utama, mereka merasa lebih dekat dengan Bupati Martadireja dan tentu saja mereka juga merasa lebih dekat dengan Sang Adipati Mrapat yang  merupakan leluhur Martadireja dan dipuja sebagai leluhur mereka juga. Mereka memandang Patih Aria Wiryaatmaja, adalah trah tersendiri yang berada di luar trah Martadireja yang dinilai bernasib mujur karena lebih dipercaya oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Memang dalam sistem Negara Kolonial Hindia Belanda, Patih adalah kepanjangan tangan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengontrol Sang Bupati. Konflik antara Patih dengan Raja dan Patih dengan Bupati pada masa itu merupakan suatu hal yang lazim terjadi dimana-mana.

Bahkan Bupati Cakranegara II ( 1864 – 1878 ), Bupati Banyumas ayah Kanjeng Purwokerto sempat terlibat konflik dengan Residen Banyumas, yang menyebabkan Bupati Cakranegara II memilih mengajukan pensiun dini dan tinggal di dusun Gendayakan, desa Pasinggangan yang tidak jauh dari makam Adipati Mrapat di Dawuhan. Karena tinggal di dusun Gendayakan, rakyat Banyumas yang masih menghormatinya, menyebutnya sebagai Bendara Kanjeng Gendayakan.

Tetapi rivalitas Patih Arya Wiryaatmaja dengan Sang Bupati Kanjeng Purwokerto Cakrakesuma, tidak muncul secara terang-terangan. Konflik itu hanya berkembang dibawah permukaan. Kelompok Kanjeng Purwokerto ini tentu merasa punya kewajiban untuk mengagungkan dan memuliakan leluhur mereka, yakni Adipati Mrapat dengan cara mereka sendiri.

Salah satunya ialah dengan menulis kitab babad. Kanjeng Purwokerto yang menduduki kursi bupati, dan berada dalam bayang-bayang kebesaran dan popularitas patihnya itu, memanfaatkan waktu yang ada untuk menyalin kitab Babad Banyumas. Kanjeng Purwokerto pun terus menerus menyalin, menggubah, menambah dan menyempurnakan versi kitab babad Banyumas di luar arus utama yang ditulisnya, sampai akhirnya salinannya menjadi kitab Babad Banyumas Kranji-Kedungwoeloeh yang ditemukan Sugeng Priyadi.

Tentu saja cara yang ditempuh dalam menulis kitab babad ialah dengan cara mengikuti tradisi penulis babad yang lain yang sudah lazim, yaitu dengan pinjam sewa, kutip sana-kutip sini, dan memasukkan angka-angka yang penting yang berkaitan dengan perjalanan hidup Sang Tokoh yang dipujanya, Adipati Mrapat. Hasil  dari pinjam sana, pinjam sini, kutip sana, kutip sini itu, akhirnya muncul angka 1570 M, sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI dan tahun 1571 sebagai tahun Bupati Mrapat pindah ke Banyumas.

Angka 1570 itu tidak tercantum dalam naskah Babad Wiryaatmajan. Padahal Patih Aria Wiryaatmaja, hidup sejaman dengan Kanjeng Purwokerto. Lalu dari mana Kanjeng Purwokerto itu mencantumkan angka 1570 pada naskah babad yang ditulisnya?

Sugeng Priyadi berargumen bahwa naskah Kranji-Kedungwoeloeh itu tergolong tua. Tetapi setua-tuanya teks babad di Banyumas hampir mustahil ada teks babad yang lebih tua dari Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa Pakubuwono I (1703 – 1719 ). Atau tak akan ada teks babad di Banyumas yang lebih tua dari Babad Mataram yang sudah ditulis pada masa Sultan Agung( 1613 – 1645 M). Hal ini mengandung arti, bahwa semua Babad Banyumas baik versi Wiryaatmajan, versi Kranji - Kedungwoeloeh maupun versi Kalibening semuanya dipengaruhi oleh Babad Tanah Jawi yang merupakan induk semua kitab babad di tanah Jawa. Naskah Kranji-Kedoengwoeloeh dan Kalibening juga mustahil lebih tua dari Babad Banten-Sajarah Banten yang ditulis tahun 1662 M dan disempurnakan pada tahun 1732 M. Dan juga mustahil lebih tua dari Babad Cirebon –Babad Tanah Sunda yang baru ditulis pada tahun 1859 M.

Karena Daerah Banyumas sebelum dibawah kendali Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, ada dibawah kendali Demak, Pajang, Mataram, Kartasura dan Surakarta, dapat dipastikan para Adipati Banyumas telah memiliki salinan kitab Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi yang telah disalin dan dimiliki para Adipati Banyumas itulah yang dijadikan bahan Kanjeng Purwokerto menyusun kitab babad Banyumasnya yang salinan- salinannya akhirnya jatuh ke tangan Wiryasenjaya dan akhirnya jatuh juga ke tangan peneliti, Sugeng Priyadi. Siapa yang memasukkan angka 1570 dan 1571 ke dalam naskah Kranji Kedungwuluh?. Bisa jadi Kanjeng Purwokerto atau orang yang kemudian melakukan penyalinan naskah yang disusun Kanjeng Purwokerto.

Patih Purwokerto Aria Wiryaatmaja, seperti halnya Kanjeng Purwokerto juga melakukan hal yang sama. Ketika Patih Aria Wiryaatmaja menulis Babad Banyumas, dia pun menggunakan Babad Tanah Jawi sebagai bahan untuk menulis kerajaan-kerajaan yang lebih tua. Hanya Patih Aria Wiryatmaja tidak memasukkan satu angka pun.

 

Makam Sunan Gunungjati, ramai dikunjungi para peziarah, termasuk peziarah dari Banyumas-Purwokerto(Sumber Gambar-Wikipedia)

Perlu diketahui pada akhir abad ke-19 M, Babad Tanah Jawi merupakan bacaan yang paling populer dan dianggap sebagai kitab sejarah oleh pembacanya. Baru setelah seorang sarjana Belanda JLA.Brandes menerbitkan kitab Pararaton, menjelang abad ke-20 M, popularitas Paraton mengungguli Babad Tanah Jawi

Patih Raden Aria Wiryaatmaja mengaku cara menulis kitab Babad Banyumas dengan polos dan jujur sbb:

“Wondene bab ingkang amratelakaken wektu alamipun panjenenganipun ratu jawi, awit ing Majapahit dumugi ing Pajang punika kula metik saking serat sejarah. Dene awit saking Mataram dumugi Surakarto puniko waton pamireng kulo saking tiyang sepuh-sepuh” (hal 9 – Ejaan dirubah). Yang dimaksud kulo metik saking sejarah, tidak lain adalah dia mengutip dari Babad Tanah Jawi yang pada saat itu dianggap kitab sejarah yang sangat populer.

Kembali pada angka 1570 yang ada pada Naskah Kranji Kedungwoeloeh. Dari mana si penggubah babad itu menemukan angka 1570?

Tahun 1570 tidak ditemukan dalam Babad Tanah Jawi, tetapi ditemukan dalam Sajarah Banten dan Babad Tanah Pasundan- Babad Cirebon. Tahun 1570 adalah tahun wafatnya Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Menurut versi Banten, Sunan Gunung Jati dan putranya penguasa Banten, Hassanudin, wafat pada tahun yang sama, yakni tahun 1570 M.

Tetapi menurut versi Babad Tanah Pasundan-Babad Cirebon, Syarif Hidayatullah, wafat tahun 1568. Hassanudin putra Syarif Hidayatullah, wafat tahun 1570. Fatahillah menantu Syarif Hidayatullah, wafat tahun 1570. Syarif Hidayatulah dan Fatahillah, sering secara bersama-sama disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati Fatahillah sangat terkenal karena dialah penakluk Sunda Kelapa.

Tentu saja tahun 1570 sebagai tahun wafatnya Sunan Gunung Jati Fatahillah akan lama dikenal dalam ingatan orang dan para peziarah. Makamnya di Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon sudah lama menjadi pusat ziarah dari mana-mana. Tentu termasuk peziarah dari Kadipaten Banyumas pada masa lalu, terutama dari kelompok Kanjeng Purwokerto. Sebab jarak Banyumas-Cirebon relatif lebih dekat dari pada ke Demak dan Kadilangu atau pun ke Kudus.

Hubungan Cirebon pada masa lalu dengan daerah Banyumas sebenarnya sangat erat. Agama Islam masuk ke daerah Banyumas, di samping lewat Demak juga lewat Cirebon. Sunan Kalijaga pernah tinggal di Cirebon. Syekh Maghribi yang terkenal berhasil mengislamkan Syekh Jambu Karang lama tinggal di Cirebon. Raja-Raja Mataram sangat menghormati Cirebon. Hanya Sunan Bonang yang berdakwah ke Kadipaten Pasir lewat Demak.

Pendiri Mataram Senapati, membangunkan benteng Cirebon tahun 1590 karena menghormati Sunan Gunung Jati sebagai Wali Keramat. Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Cirebon. Putri Amangkurat I, juga diperistri Panembahan Girilaya, penguasa Cirebon. Karena para Bupati Banyumas meneladani para penguasa Mataram, tentu saja banyak elit penguasa Banyumas pada masa lalu yang juga menghormati Wali Kramat dari Cirebon dan banyak yang berziarah ke makam keramat Sunan Gunung Jati.

Apalagi secara geografis, Banyumas sebenarnya lebih dekat kepada Cirebon dari pada ke Mataram, Kartosuro dan Surokarto. Hanya secara politis, memang para elit penguasa Banyumas wajib berpaling ke Mataram dan akhirnya ke Kartasura dan Surakarta. Kiblat politik elit penguasa Banyumas ke Surakarta, berakhir setelah daerah Banyumas diambil alih pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pada masa inilah intrik dan rivalitas antara Patih dan Bupati, sering kali terjadi. Dan pada masa ini pula banyak elit Kadipaten Banyumas yang terpinggirkan yang melakukan ziarah ke makam sunan Gunung Jati.

Dan diantara dari mereka, Kanjeng Purwokerto menulis kitab babadnya sebagai upaya memuja Adipati Mrapat, leluhur mereka. Tentu dia berharap dengan memuliakan Adipati Mrapat, mereka kelak akan mendapat barokah dan limpahan kewibawaan, keselamatan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Karena alasan ini pula, kita dapat memahami apa sebab Kanjeng Purwokerto menulis Naskah Babad Banyumas lebih dulu dari Patih Purwokerto, R.Arya Wiryaatmaja.

Ketika Kanjeng Purwokerto dan sebagian trah Martadireja mencari-cari tahun wafatnya Adipati Wirasaba, mereka menghubungkannya dengan tahun wafatnya Sunan Gunung Jati yang mudah diingat yakni tahun 1570. Dengan demikian telah terjadi proses diakronis dan konsep kesejajaran antara tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI   dengan tahun wafatnya Sunan Gunung Jati. Adipati Wirasaba VI adalah Yang Dipertuan di Wirasaba, sedang Sunan Gunung Jati adalah Wali Keramat di Pulau Jawa. Angka 1570 sebagai tahun wafatnya Sunan Gunung Jati, telah diingat oleh Kanjeng Purwokerto dan sebagian trah Martadireja sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI.

Kanjeng Purwokerto yang menulis babad untuk memuja Adipati Mrapat, segera mencantumkam angka 1570 sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI. Dan sesuai dengan konsep kesinambungan para penguasa Jawa, tahun 1571 pun ditetapkanlah sebagai awal masa pemerintahan pengganti Adipati Wirasaba VI, yakni Adipati Mrapat.

Menarik juga untuk diketahui, bahwa leluhur Kanjeng Purwokerto bukanlah wong Banyumas asli. Leluhur Kanjeng Purwokerto berasalal dari aristokrat Kraton Surakarta. Tetapi karena dia lahir di Banyumas, tentu merasa sebagai wong Banyumas. Dan tentunya punya hak untuk memuja Sang Adipati Mrapat.

Demikianlah analisa filologi, munculnya angka 1570 sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI dan angka tahun 1571 sebagai tahun Adipati Mrapat memulai masa pemerintahannya di Banyumas yang tercantum dalam naskah babad Cokrokesuma yang salinannya menjadi Babad Kranji-Kedungwoeloeh.

Tetapi benarkah tahun 1570 adalah tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI sebagaimana yang tercantum pada Naskah Kranji-Kedungwoeloeh? Analisa historis harus dilakukan dengan mencermati konflik dan ketegangan politik apa yang terjadi antara Wirasaba dan Pajang pada tahun 1570.

Sebagaimana kita ketahui, Adipati Wirasaba VI, wafat akibat pembunuhan yang dilakukan gandek raja atas perintah Adiwijaya yang dikenang dengan rasa getir oleh rakyat Banyumas dengan menciptakan kisah tragedi Sabtu Pahing. Dalam kisah tragedi Sabtu Pahing, dikisahkan seolah-olah Raja Pajang Adiwijaya melakukan perintah pembunuhan terhadap Adipati Wirasaba VI itu, hanya karena Sang Raja telah khilaf atau lalai.

Padahal dalam konsep kekuasaan Jawa, tidak pernah dikenal ada raja dan penguasa yang lalai atau khilaf. Sebab raja adalah citra dewa di dunia dalam konsep Hindu-Budha atau wakil Tuhan dalam konsep Islam. Raja yang lalai atau khilaf, selalu ditengarai oleh rakyat Jawa, sebagai pertanda mulai akan perginya wahyu kedaton dari Sang Raja dan juga pertanda akan munculnya dinasti baru dan raja baru yang lebih menjanjikan bagi terwujudnya keadilan dan kebenaran. Namun apa pun alasannya, pembunuhan atas Yang Dipertuan Wirasaba oleh Raja Pajang Adiwijoyo, membuktikan terjadinya konflik Pajang –Wirasaba. Paling tidak Raja Pajang meragukan kesetiaan Adipati Wirasaba VI kepada Pajang, adalah alasan yang paling kuat yang menjadi penyebab terjadinya tragedi Sabtu Pahing.

Bagaimanakah hubungan Pajang dengan Cirebon? Cirebon adalah Kerajaaan Islam yang secara geografis lebih dekat ke Banyumas dari pada ke Pajang.

Sekalipun hubungan Pajang dengan Cirebon tidak serasi, karena dua alasan:

  1. Pajang kecewa dengan Cirebon dan Banten yang semula berada di bawah pengaruh Demak. Alih-alih mau mengakui kedaulatan Pajang atas Cirebon dan Banten. Cirebon dan Banten di bawah pengaruh Sunan Gunung Jati, melepaskan diri dari Pajang, menyatakan sebagai wilayah yang berdaulat sendiri.
  2. Adiwijaya, Raja Pajang, tidak bisa melupakan Sunan Gunung Jati yang telah menghabisi nyawa guru spiritualnya Syekh Siti Jenar pada tahun 1545 M.

Tetapi Adiwijaya tetap menaruh hormat pada Sunan Gunungjati, sehingga pelan-pelan merelakan Cirebon dan Banten melepaskan diri dari Demak dan Pajang.

Karena tahun 1570 adalah tahun wafatnya Wali Kramat Sunan Gunung Jati, mustahil Adiwijaya membuka konflik dengan Wirasaba pada tahun itu. Paling tidak tahun 1570 merupakan masa tenang tanpa konflik antara Kerajaan Pajang dengan kadipaten bawahan mana pun yang dianggapnya tidak setia kepada Pajang.

Tahun 1568 adalah tahun Adiwijaya memproklamirkan berdirinya Kerajaan Pajang sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebelumnya, telah berlangsung perang perebutan tahta yang berlangsung cukup lama, yakni hampir dua dasa warsa ( 1549 – 1567 ).

Selesai perang, Pajang juga harus kehilangan Pati dan Mataram sebagai hadiah kepada Panjawi dan Pamanahan yang telah berhasil mengalahkan Adipati Jipang Aryo Penangsang. Panjawi mendapat Pati dan membebaskan Pati dari kewajiban membayar upeti kepada Pajang selama beberapa tahun. Demikian pula Mataram yang berdiri pada tahun 1575, harus dibebaskan dari kewajiban membayar upeti kepada Pajang jauh lebih lama dari Pati, karena bumi Pati lebih subur dan makmur dari bumi Mataram. Mataram sebelumnya masih berupa hutan Mentawis. Usai perang, memang Pajang memperoleh kemenangan, tetapi sumber daya ekonomi kerajaan yang baru muncul itu nyaris terkuras habis.

Praktis antara tahun 1568 – 1575, Raja Adiwijaya hanya bisa memanfaatkan periode waktu tujuh tahun itu untuk memulihkan sumber daya ekonomi Pajang. Sementara itu, para adipati pesisir utara Jawa Timur mantan anggota koalisi pendukung Jipang, masih belum mau mengakui kedaulatan Kerajaan Pajang. Namun untuk daerah pesisir Jawa Tengah dan pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri dan sejumlah daerah lainnya lagi, Raja Pajang memperoleh pengakuan dari penguasa lokal.

Dengan demikian berdasarkan analisa historis, pada tahun 1570 M tidak mungkin terjadi konflik antara Pajang dengan Wirasaba. Konflik Pajang-Wirasaba baru muncul setelah Mataram yang masih berstatus bawahan Pajang berdiri pada tahun 1575 M. Oleh karena itu wafatnya Adipati Wirasaba VI yang dalam tradisi lokal dikenal sebagai tragedi Sabtu Pahing, tidak mungkin terjadi antara tahun 1568 – 1575 M.

Tragedi Sabtu Pahing hanya mungkin terjadi antara tahun 1575 – 1582 M, yaitu tahun-tahun mulai terjadinya konflik Mataram vs Pajang yang disebabkan pembangkangan Mataram di bawah Senapati melawan Adiwijaya, mantan ayah angkat Senapati. Dan pada tahun itu sumber daya ekonomi Pajang memang mulai pulih, sehingga tibalah saat yang dipandang tepat untuk melakukan ekspansi membendung pengaruh Mataram dan mempertahankan kadipaten-kadipaten bawahan Pajang dengan menuntut kesetiaan yang ketat para bupati bawahan itu kepada Pajang.

Akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa data sejarah yang tercantum di dalam naskah Kranji-Kedungwoeloeh, bahwa Adipati Wirasaba VI wafat pada tahun 1570 M dan Adipati Mrapat membangun Kabupaten Banyumas pada tahun 1571 M, merupakan data sejarah yang lemah tingkat kredibilitasnya untuk dapat dipercaya sebagai fakta sejarah hari jadi Kabupaten Banyumas.

Dugaan penyusun naskah Kranji-Kedungwoeloeh, bahwa Adipati Wirasaba VI wafat pada tahun 1570 M, berdasarkan analisa historis, tidak terbukti. Demikian pula tentunya, dugaan Adipati Mrapat membangun Kabupaten Banyumas pada tahun 1571 M juga tidak terbukti.

 Wallahualam[]

 Baca artikel berkaitan selanjutnya:

http://www.kompasiana.com/anklbrat/legenda-kiyai-tolih-dalam-naskah-kalibening_5689affc337b61e81092fcfa

Terimakasih.Selamat membaca artikel lanjutannya.Salam Kompasiana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun