Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Adipati Wirasaba VI Wafat Tahun 1570 M?(05)

5 Desember 2015   14:24 Diperbarui: 5 Januari 2016   10:59 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang dalam sistem Negara Kolonial Hindia Belanda, Patih adalah kepanjangan tangan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengontrol Sang Bupati. Konflik antara Patih dengan Raja dan Patih dengan Bupati pada masa itu merupakan suatu hal yang lazim terjadi dimana-mana.

Bahkan Bupati Cakranegara II ( 1864 – 1878 ), Bupati Banyumas ayah Kanjeng Purwokerto sempat terlibat konflik dengan Residen Banyumas, yang menyebabkan Bupati Cakranegara II memilih mengajukan pensiun dini dan tinggal di dusun Gendayakan, desa Pasinggangan yang tidak jauh dari makam Adipati Mrapat di Dawuhan. Karena tinggal di dusun Gendayakan, rakyat Banyumas yang masih menghormatinya, menyebutnya sebagai Bendara Kanjeng Gendayakan.

Tetapi rivalitas Patih Arya Wiryaatmaja dengan Sang Bupati Kanjeng Purwokerto Cakrakesuma, tidak muncul secara terang-terangan. Konflik itu hanya berkembang dibawah permukaan. Kelompok Kanjeng Purwokerto ini tentu merasa punya kewajiban untuk mengagungkan dan memuliakan leluhur mereka, yakni Adipati Mrapat dengan cara mereka sendiri.

Salah satunya ialah dengan menulis kitab babad. Kanjeng Purwokerto yang menduduki kursi bupati, dan berada dalam bayang-bayang kebesaran dan popularitas patihnya itu, memanfaatkan waktu yang ada untuk menyalin kitab Babad Banyumas. Kanjeng Purwokerto pun terus menerus menyalin, menggubah, menambah dan menyempurnakan versi kitab babad Banyumas di luar arus utama yang ditulisnya, sampai akhirnya salinannya menjadi kitab Babad Banyumas Kranji-Kedungwoeloeh yang ditemukan Sugeng Priyadi.

Tentu saja cara yang ditempuh dalam menulis kitab babad ialah dengan cara mengikuti tradisi penulis babad yang lain yang sudah lazim, yaitu dengan pinjam sewa, kutip sana-kutip sini, dan memasukkan angka-angka yang penting yang berkaitan dengan perjalanan hidup Sang Tokoh yang dipujanya, Adipati Mrapat. Hasil  dari pinjam sana, pinjam sini, kutip sana, kutip sini itu, akhirnya muncul angka 1570 M, sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI dan tahun 1571 sebagai tahun Bupati Mrapat pindah ke Banyumas.

Angka 1570 itu tidak tercantum dalam naskah Babad Wiryaatmajan. Padahal Patih Aria Wiryaatmaja, hidup sejaman dengan Kanjeng Purwokerto. Lalu dari mana Kanjeng Purwokerto itu mencantumkan angka 1570 pada naskah babad yang ditulisnya?

Sugeng Priyadi berargumen bahwa naskah Kranji-Kedungwoeloeh itu tergolong tua. Tetapi setua-tuanya teks babad di Banyumas hampir mustahil ada teks babad yang lebih tua dari Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa Pakubuwono I (1703 – 1719 ). Atau tak akan ada teks babad di Banyumas yang lebih tua dari Babad Mataram yang sudah ditulis pada masa Sultan Agung( 1613 – 1645 M). Hal ini mengandung arti, bahwa semua Babad Banyumas baik versi Wiryaatmajan, versi Kranji - Kedungwoeloeh maupun versi Kalibening semuanya dipengaruhi oleh Babad Tanah Jawi yang merupakan induk semua kitab babad di tanah Jawa. Naskah Kranji-Kedoengwoeloeh dan Kalibening juga mustahil lebih tua dari Babad Banten-Sajarah Banten yang ditulis tahun 1662 M dan disempurnakan pada tahun 1732 M. Dan juga mustahil lebih tua dari Babad Cirebon –Babad Tanah Sunda yang baru ditulis pada tahun 1859 M.

Karena Daerah Banyumas sebelum dibawah kendali Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, ada dibawah kendali Demak, Pajang, Mataram, Kartasura dan Surakarta, dapat dipastikan para Adipati Banyumas telah memiliki salinan kitab Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi yang telah disalin dan dimiliki para Adipati Banyumas itulah yang dijadikan bahan Kanjeng Purwokerto menyusun kitab babad Banyumasnya yang salinan- salinannya akhirnya jatuh ke tangan Wiryasenjaya dan akhirnya jatuh juga ke tangan peneliti, Sugeng Priyadi. Siapa yang memasukkan angka 1570 dan 1571 ke dalam naskah Kranji Kedungwuluh?. Bisa jadi Kanjeng Purwokerto atau orang yang kemudian melakukan penyalinan naskah yang disusun Kanjeng Purwokerto.

Patih Purwokerto Aria Wiryaatmaja, seperti halnya Kanjeng Purwokerto juga melakukan hal yang sama. Ketika Patih Aria Wiryaatmaja menulis Babad Banyumas, dia pun menggunakan Babad Tanah Jawi sebagai bahan untuk menulis kerajaan-kerajaan yang lebih tua. Hanya Patih Aria Wiryatmaja tidak memasukkan satu angka pun.

 

Makam Sunan Gunungjati, ramai dikunjungi para peziarah, termasuk peziarah dari Banyumas-Purwokerto(Sumber Gambar-Wikipedia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun