Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(36)

18 Agustus 2014   22:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14083165841896435928

SERI 36

Tetapi karena Dewa Rahu sempat minum air suci  yang dicurinya, maka kepala Sang Rahu masih tetap hidup melayang-layang di angkasa dengan membawa dendam kesumat kepada Dewa Matahari. Sebab Dewa Mataharilah yang memberitahu kepada Dewa Wisynu pada saat Sang Rahu sedang enak-enaknya minum air suci yang berhasil dicurinya itu.

Namun para penguasa Kerajaan Galuh dan Pajajaran, tetap memberi nama gunung yang terbesar di Pulau Sunda atau Pula Jawa itu Gunung Agung. Ternyata  Senna, cucu Maharaja Wretikandayun, akhirnya memang berhasil mengambil alih kembali Lembah Sungai Logawa yang subur itu dan mengusir para pemuja Dewa Matahari. Maharaja Wretikandayun, kakek Senna adalah penguasa dan pendiri Kerajaan Galuh Kawali.

Senna naik tahta Kerajaan Galuh Kawali menggantikan ayahnya Amara yang mendapat julukan Mandiminyak, karena wajahnya yang tampan dan kulitnya yang kekuning-kuningan bercahaya. Sayangnya Senna digulingkan oleh Purbasora, putra paman Senna, Sampakwaja. Senna melarikan diri ke timur sampai kelembah Sungai Baghalin.

Dari sana muncullah Rake Sanjaya, putra Senna yang berhasil membangun Kerajaan Mataram yang menganut agama Syiwa. Kerajaan Mataram Hindu ini didirikan  di hulu Sungai Ciserayu, di sisi selatan Gunung Dieng.

Rake Sanjaya Putra Senna segera memperlihatkan keperkasaannya. Dia bisa menaklukkan Kerajaan Kalingga yang berada di sisi timur Sungai Baghalin. Bahkan Kerajaan Galuh Kawali yang saat itu dikuasai oleh Purbasora, berhasil ditaklukannya juga. Setelah Rake Sanjaya berhasil menguasai kembali kerajaan warisan ayahnya itu, dia segera menyatukan wilayah Kerajaan Galuh yang ada di sebelah barat Sungai Bhagalin dengan wilayah Kerajaan Kalingga yang ada di sisi timur Sungai Bhagalin.

Kekuasaan Rake Sanjaya dengan Kerajaan Mataramnya, bukan hanya dari ujung barat sampai ujung timur pulau ini. Rake Sanjaya, juga berkuasa atas kerajaan-kerajaan yang ada di dua pulau besar lainnya, yakni Kalimantan dan Sumatra. Maka Dia mendapat gelar Maharaja. Karena Maharja Rake Sanjaya adalah putraGaluh, dia menyebut pulai ini sebagai Pulau Sunda. Para pedagang dari India, China, Arab, Romawi, juga menyebutnya pulau ini sebagai Pulau Sunda. Bersama pulau Sumatra dan Kalimantan, disebutnya sebagai Kepulauan Sunda Besar.

“Tahukah kalian apa arti kata Sunda?” tanya Sang Baginda Prabu Siliwangi ketika itu kepada keempat putranya yang duduk mengelilinginya. Ke empat putranya itu, semuanya  menggelengkan kepalanya.

“Sunda itu berasal dari kata sindai yang berarti emas. Pulau Sunda artinya Pulau Emas. Memang di bagian barat Pulau Sunda ini banyak sekali menghasilkan emas, terutama di hulu Sungai Cimanuk dan hulu Sungai Cisadane. Itulah salah satu pertimbangan kenapa  kakekmu dulu  Rahyang Dewa Niskala  memindahkan pusat Kerajaan Galuh dari Kawali ke Pakuan Pajajaran yang berada di hulu Sungai Ciliwung dan tidak jauh dari kaki Gunung Gede dan Gunung Salak yang subur itu,” jelas Sang Raja Baginda Prabu Siliwangi.

Kerajaan Kalingga yang berhasil ditaklukkan oleh Maharaja Rake Sanjaya itu, sebenarnya didirikan juga oleh para pengungsi gelombang susulan yang datang dari Lembah Sungai Sutra. Karena itu mereka kadang-kadang disebut bangsa Galuh Lor atau Galuh Utara. Hanya saja kepercayaan mereka berbeda. Mereka menyembah Dewa Wisynu sedang Kerajaan Galuh Purba dan Galuh Kawali menyembah Dewa Syiwa.

Sang Maharaja Rake Sanjaya juga mendapat gelar Sang Maha Resi dan Sang Maha Yogi, karena dialah yang menggagas adanya toleransi dan kebebasan beragama   di antara agama-agama yang ada di wilayah kekuasaannya. Agama Hindu Syiwa adalah agama resmi Kerajaan Mataram Hindu. Tetapi agama lainnya seperti agama Hindu Wisynu atau Waisnawa dan agama Buddha dibiarkannya hidup dan berkembang.

Sayang dua abad setelah  Maharaja Rake Sanjaya mangkat, kerajaannya kembali terpecah-pecah. Di sisi barat Sungai Bhagalin, kembali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Kawali. Sedangkan wilayah di sisi timur Sungai Bhagalin, kembali dikuasai oleh para raja yang menganut agama Buddha dan Waisnawa. Mereka adalah para keturunan Dinasti Syailendra yang leluhurnya berasal dari Palembang dengan dinasti raja-raja dari Galuh Lor. Memang sebelum mendarat sebagai pengungsi di pulau ini, bangsa Galuh Lor itu mendarat lebih dulu di muara Sungai Musi. Sisanya melanjutkan perjalannya ke arah tenggara. Akhirnya mereka mendarat di muara sungai Lampir yang berhulu di kaki Gunung Perahu.

“Keturunan mereka itulah yang kelak dikenal oleh para pedagang dari luar Nusantara ini  sebagai Bangsa Jawa. Mereka berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan besar juga. Antara lain Kerajaan Wangsa Isyana yang didirikan oleh Dharmawangsa, Kerajaan Kahuripan di bawah Erlangga yang menyembah Dewa Wisynu, dan Kerajaan Kediri yang juga menyembah Wisynu. Kemudian  Kerajaan Singasari yang menyembah Dewa Syiwa tetapi mengakui agama Buddha Tantrayana dan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu aliran  Syiwa-Budha Tantrayana,” kata Sri Baginda saat itu kepada ke empat putranya. Semua penjelasan ayahnya itu masih diingatnya dengan baik oleh Raden Kamandaka.

“Kini Majapahit sudah runtuh dan muncul dua kerajaan baru yang saling bersaing. Pertama Kerajaan Hindu  Kediri yang merupakan penenerus Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan yang telah runtuh. Kerajaan Hindu Kediri ini, seperti halnya Majapahit, beragama Hindu aliran Syiwa-Buddha Tantrayana. Rajanya bernama Rana Wijaya, keturunan terakhir Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Rana Wijaya ini, dikenal oleh rakyatnya sebagai Raja Brawijaya,” kata Sri Baginda saat itu .

“Kerajaan kedua yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah Kerajaan Demak yang berdiri di dekat pantai utara, tidak jauh dari Gunung Muria,” lanjut Sri Baginda. “Kerajaan Demak ini, menganut agama Islam. Jika agama Hindu dan Buddha berasal dari tanah India atau Hindustan, maka agama Islam berasal dari tanah Jazirah Arab. Baik Kerajaan Islam Demak maupun Kerajaan Hindu Kediri, saling bersaing memperebutkan wilayah-wilayah peninggalan Kerajaan Majapahit yang telah runtuh itu. Rupanya perebutan pengaruh dan wilayah antara kedua kerajaan itu juga melebar sampai masuk ke wilayah Lembah Ciserayu yang berada di sisi barat Sungai Bhagalin.”

“Kadipaten Pasirluhur adalah kadipaten yang sempat dibangun kembali oleh Kerajaan Galuh Kawali setelah kerajaan peninggalan  Maharaja Rake Sanjaya itu pecah. Kini Kadipaten Pasirluhur  itu menjadi satu-satunya ujung tombak untuk menghadapi ekspansi perluasan wilayah dua kerajaan yang saling bersaing , yakni Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Hindu Kediri,” ujar Sri Baginda Prabu Siliwangi mengakhiri ceriteranya.

Kisah yang diceriterakan ayahandanya itu segera lenyap , ketika dalam perjalannya menyelusuri lorong rahasia bawah tanah,  tiba-tiba Raden Kamandaka  sampai  di ujung lorong yang semakin menyempit. Akhirnya Raden Kamandaka melihat  sebuah sungai.

“Sungai apakah itu?” tanya Raden Kamandaka sambil menduga-duga.  ”Sungai Ciserayukah? Tidak mungkin. Sungai Ciserayu harus lebih besar dari Sungai Logawa.”

Dugaan Raden Kamandaka ternyata benar. Sungai itu bukan Sungai Ciserayu. Sungai itu adalah sungai Banjaran yang bermuara di Sungai Logawa. Raden Kamandaka segera meloncat terjun ke dalamnya meninggalkan  mulut lorong rahasia. Dari sana Raden Kamandaka terus berenang ke muara Sungai Banjaran yang  membawanya tiba kembali di Sungai Logawa.

“Tidak lama lagi pasti  Sungai Logawa ini akan berakhir di Sungai Ciserayu,” kata Raden Kamandaka di dalam hati. Dia melihat sinar matihari  diatasnya. Nampak bayangan dirinya sendiri bergoyang-goyang di dalam air sungai yang jernih itu. Raden Kamandaka membiarkan dirinya hanyut terbawa aliran air ke arah hilir. Sebagai seorang perenang hebat, baginya bukan persoalan sulit  berenang dengan gaya punggung mengikuti aliran sungai, sampai akhirnya  Raden Kamandaka tiba di muara Sungai Logawa. Raden Kamandaka segera menepi. Dia telah tiba di tepi sungai besar.

“Inilah dia Sungai Ciserayu. Sungai terpanjang di Jawa yang mengalir ke lautan paling selatan, Lautan Nusantara,” kata  Raden Kamandaka sangat yakin dengan pendapatnya.

Dengan mudah Raden Kamandaka berjalan ke arah timur dan sampailah  di tempat terbuka. Dipandangnya air  Sungai Ciserayu yang mengalir tak beriak di depannya. Pada saat menatap sungai yang ada didepannya yang lebar, besar, panjang dengan struktur tebing-tebingnya yang nampak kokoh dan kuat itu, Raden Kamandaka segera ingat kepada Maharaja Rake Sanjaya. Dialah Sang Putra Sungai yang membangun Kerajaan Mataram yang besar, di hulu Sungai Ciserayu yang besar yang airnya tak kenal lelah menyusuri jalan yang panjang menuju lautan yang besar, pikir Raden Kamandaka.

Setelah puas mengagumi kebesaran Sang Putra Sungai Rake Sanjaya dan Sungai Ciserayu, Raden Kamandaka menengok ke kiri dan ke kanan.Tidak jauh dari tempatnya berdiri, dilihatnya sebuah batu besar menggeletak bagaikan seekor anak kerbau  sedang tiduran berjemur di bawah terik panas matahari. Raden Kamandaka mendekatinya, dengan mudah dia meloncat naik ke atas batu besar itu. Lalu dia merebahkan dirinya sambil mengeringkan baju dan tubuhnya yang basah kuyup.

Ketika Raden Kamandaka memandang ke atas, dilihatnya mega-mega putih seperti gumpalan kapas, bergerak berarak-arakan melayari langit  biru. Bau batang-batang rumpun bambu yang tumbuh di pinggir sungai yang saling bergesekan karena ditiup angin, menyebar kian kemari terbawa angin gunung.

“Terimakasih, wahai Yang Maha Kuasa, Engkau telah menyelamatkan diri hambaMu ini,” kata Raden Kamandaka dalam hati.

Tiba-tiba wajah Dewi Ciptarasa terbayang kembali di depan mata Raden Kamandaka. Di rabanya selendang kuning pemberian Sang Dewi yang melilit di pinggangnya. Tentu saja selendang sutra kuning itu basah juga. Pelan-pelan dilepasnya, lalu diciuminya beberapa kali, seakan dia sedang menciumi Sang Dewi Dyah Ayu Ciptarasa. Kemudian selendang itu dibentangkannya di atas batu agar cepat kering. Kembali Raden Kamandaka berbaring di samping selendang sutra kuning yang tengah dibentangkannya itu. Diam-diam Raden Kamandaka membayangkan, dia tengah berbaring berdua berdampingan dengan Sang Dewi di atas batu di pinggir Sungai Ciserayu(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun