Setelah puas mengagumi kebesaran Sang Putra Sungai Rake Sanjaya dan Sungai Ciserayu, Raden Kamandaka menengok ke kiri dan ke kanan.Tidak jauh dari tempatnya berdiri, dilihatnya sebuah batu besar menggeletak bagaikan seekor anak kerbau sedang tiduran berjemur di bawah terik panas matahari. Raden Kamandaka mendekatinya, dengan mudah dia meloncat naik ke atas batu besar itu. Lalu dia merebahkan dirinya sambil mengeringkan baju dan tubuhnya yang basah kuyup.
Ketika Raden Kamandaka memandang ke atas, dilihatnya mega-mega putih seperti gumpalan kapas, bergerak berarak-arakan melayari langit biru. Bau batang-batang rumpun bambu yang tumbuh di pinggir sungai yang saling bergesekan karena ditiup angin, menyebar kian kemari terbawa angin gunung.
“Terimakasih, wahai Yang Maha Kuasa, Engkau telah menyelamatkan diri hambaMu ini,” kata Raden Kamandaka dalam hati.
Tiba-tiba wajah Dewi Ciptarasa terbayang kembali di depan mata Raden Kamandaka. Di rabanya selendang kuning pemberian Sang Dewi yang melilit di pinggangnya. Tentu saja selendang sutra kuning itu basah juga. Pelan-pelan dilepasnya, lalu diciuminya beberapa kali, seakan dia sedang menciumi Sang Dewi Dyah Ayu Ciptarasa. Kemudian selendang itu dibentangkannya di atas batu agar cepat kering. Kembali Raden Kamandaka berbaring di samping selendang sutra kuning yang tengah dibentangkannya itu. Diam-diam Raden Kamandaka membayangkan, dia tengah berbaring berdua berdampingan dengan Sang Dewi di atas batu di pinggir Sungai Ciserayu(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H