Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(48)

7 Oktober 2014   13:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:05 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SERI 48

Kanjeng Adipati menjelaskan posisi Kadipaten Pasirluhur di tengah-tengah konflik antara Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Hindu Kediri yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1478 M.

Ki Patih Reksanata mengangkat wajahnya dan bermaksud mengutarakan pendapatnya. Raden Silihwarna mendengarkan perbincangan dua tokoh utama Kadipaten Pasirluhur itu, yang menurut pendapat Raden Silihwarna cukup menarik. Memang, jika kelak Kanjeng Adipati menyetujui usul Ki Patih untuk mengangkat dirinya jadi  salah seorang tumenggung Kadipaten Pasirluhur, pokok-pokok yang tengah diperbincangkan itu, akan memudahkan Raden Silihwarna melaksanakan tugasnya.

Ki Patih berkata dengan suara merendah:

”Tetapi, Wirasaba juga harus berpikir beberapa kali jika ingin melakukan ekspansi ke barat melintasi Sungai Ciserayu, Kanjeng Adipati.  Wirasaba pasti tahu, Kadipaten Pasirluhur memiliki kemampuan untuk membuat-buat alat-alat perang.”

“Benar Ki Patih, tapi senjata juga tak banyak gunanya jika orang yang memegang senjata itu tak dapat menggunakannya dengan baik. Aku melihat daya tempur prajurit Kadipaten Pasirluhur sesungguhnya sedang menurun. Untungnya Wirasaba tidak mengetahui. Lagi pula mereka sedang sibuk menghadapi Demak,” kata Kanjeng Adipati dengan wajah  sedikit murung.

“Kita memerlukan ksatria yang cakap, untuk melatih dan menggembleng prajurit-prajurit kita, sehingga mereka memiliki semangat tempur yang tinggi. Kita harus ingat kita menghadapi ancaman potensial di masa depan dari dua arah,”  Kanjeng Adipati menjelaskan.” Ancaman pertama dari arah timur, dari Kadipaten Wirasaba. Ancaman kedua dari arah selatan, dari Kerajaan Nusakambangan yang baru muncul.”

“Eh, Raden mau minum apa?” tanya Kanjeng Adipati tiba-tiba , ketika muncul seorang pelayan wanita yang membawa baki bersisi minuman dan makanan olahan dari ketela pohon, dicampur parudan kelapa muda. ”Ini minuman dari  jahe rebus pakai gula aren. Kalau Raden menghendaki, arak juga ada? Arak dari Sunda Kelapa, mau Raden?”

“Cukup minuman wedang jahe  saja, Kanjeng Adipati. Tadi pagi sudah sarapan dengan minuman air nira di Dalem Kepatihan. Hebat juga Kanjeng Adipati punya simpanan arak Sunda Kelapa?” tanya Raden Silihwarna.

“Kiriman dari Adipati Imbanegara. Adipati Imbanegara itu masih kerabat dekat Uwa,” jawabnya kepada Raden Silihwarna.” Arak Sunda Kelapa paling bagus kualitasnya. Kabarnya banyak dicari pedagang-pedagang dari China, India, Parsi dan Arab yang singgah di Bandar Sunda Kelapa?”

“Betul sekali Kanjeng Adipati. Bandar Sunda Kelapa semakin ramai saja. Semakin banyak pedagang Asia yang singgah di Bandar Sunda Kelapa. Mereka gemar memborong arak dari Sunda Kelapa.  Manfaatnya banyak sekali. Berkhasiat obat. Di Padepokan Megamendung digunakan untuk obat patah tulang dan terkilir. Tetapi jika diminum bukan untuk obat, bisa membuat orang mabok. Makanya Ayahanda Sri Baginda, melarang para prajurit Pajajaran minum arak. Hanya diijinkan diminum jika untuk obat perut kembung, masuk angin, terkilir atau patah tulang. Orang China yang datang ke Sunda Kelapa  pandai mengolah lebih lanjut arak Sunda Kelapa itu menjadi anggur hitam,“  Raden Silihwarna menjelaskan.

“Arak Sunda Kelapa itu juga diolah dari air nira. Orang-orang China yang bermukim di sekitar Bandar Banten dan Sunda Kelapa banyak yang punya kepandaian mengolah air nira menjadi arak,” Raden Silihwarna melanjutkan kata-katanya. Dulu memang dia  sering hilir mudik Pakuan-Sunda Kelapa bersama adik tirinya Banyakbelabur.

“Di sini air nira dari pohon kelapa dan pohon aren,” kata Ki Patih memotong pembicaraan Raden Banyakngampar,” diolah jadi gula kelapa dan gula aren. Gunanya untuk penyedap sayuran, pemanis aneka jenis makanan olahan dari ketela dan keperluan lainnya lagi. Bisa juga untuk pemanis minuman, seperti pemanis rebusan jahe ini, Raden.”

“Di Pakuan Pajajaran juga ada orang yang mengolah nira. Di sana disebut lahang. Tetapi tidak banyak. Untuk pemanis minuman lebih sering digunakan gula dari batang tebu. Itu pun harus didatangkan dari Sunda Kelapa, karena kebanyakan orang-orang China juga yang pandai mengolah air tebu jadi gula merah dan gula batu,” kata Raden Silihwarna .

Perbincangan terhenti ketika Kanjeng Adipati mengajak Ki Patih dan Raden Silihwarna minum wedang jahe. Mereka pun minum bersama-sama. Kanjeng Adipati juga mengajak mereka menikmati makanan olahan dari ketela yang disebut kue  ciwel, hasil olahan juru masak Dalem Kadipaten Pasirluhur. Raden Silihwarna sangat menikmati kue ciwel yang disantap dengan parudan kelalapa muda itu. Tiba-tiba muncul pikiran  Raden Silihwarna kalau kelak kembali ke Pakuan akan membelikan oleh-oleh gula kelapa atau gula aren yang bisa dijadikan bahan pemanis air rebusan jahe itu.

“Hem, pastilah Dinda Ratna Pamekas senang sekali kalau kelak aku bawakan oleh-oleh gula kelapa dan gula aren dari Kadipaten Pasirluhur,” bisiknya di dalam hati. Sepintas kilas bayangan wajah adik tirinya yang cantik jelita  itu muncul di depan pelupuk matanya.

“Kanjeng Adipati, lezat benar minuman dengan pemanis gula kelapa. Adakah di pasar Kadipaten Pasirluhur, gula kelapa dan gula aren  mudah  didapat?,” tanya Raden Silihwarna. Bayangan adik tirinya pun lenyap.

“Di pasar Karanglewas dan pasar Pangebatan banyak dijual orang, Raden. Konon pemasoknya adalah….” Tiba-tiba Ki Patih ingat Nyai Kertisara dan Kamandaka yang mengganti namanya dengan Ki Sulap Pangebatan. Karena itu Ki Patih tidak melanjutkannya. Tetapi Kanjeng Adipati mampu menangkap apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran Ki Patih. Kanjeng Adipati segera berkata kepada Raden Silihwarna:

“Itulah Raden, betapa bahayanya Si Kamandaka yang telah mengubah namanya jadi Ki Sulap Pangebatan.  Dengan kekayaan yang diperolehnya dari gelanggang sabung ayam, dia mengajari Nyai Kertisara dan adiknya menjadi pengusaha gula kelapa dan gula aren. Ratusan pohon kelapa dan aren yang tumbuh di sepanjang tepi Sungai Ciserayu ke timur sampai Sungai Cingcinggoling yang bermuara di Sungai Ciserayu itu disewanya. Ratusan penyadap dari grumbul di wilayah segitiga Ciserayu-Cingcinggoling, dikerahkannya untuk menderes. Istri-istri mereka juga didorong untuk mengolahnya di rumah masing-masing jadi gula. Hasilnya dibeli oleh Nyai Kertisara dan dipasarkan bukan hanya ke pasar Pangebatan. Tetapi ke semua pasar yang ada di Kadipaten Pasirluhur. Bahkan gula aren dan gula kelapa yang dijual di pasar Karanglewas dan Pangebatan, sebagian besar dipasok Nyai Kertisara.” Kanjeng Adipati berkata  dengan nada suara mengandung kecemasan.

Raden Silihwarna langsung memotong,” Apakah gula aren dan gula kelapa yang Kanjeng Adipati beli dari pasar Karanglewas juga hasil olahan mereka?”

“Mungkin saja! Bukankah tidak mudah membedakannya jika sudah berada di pasar?” jawab Kanjeng Adipati.

“Menurut juru masak Kepatihan,” Ki Patih ikut menjelaskan,” Gula kelapa pasokan Ny Kertisara kualitasnya baik, warnanya lebih menarik. Tidak coklat tua, tetapi berwarna kuning seperti warna kuning kulit jahe,sehingga lebih menarik.”

“Kenapa penyadap itu mudah sekali ditarik ke dalam bisnis Nyai Kertisara?” tanya Raden Silih Warna penasaran.

“Ya, karena Kamandaka membagikan kepada mereka secara gratis semua peralatan untuk menderes. Penduduk yang berminat sudah cukup kalau memiliki ketampilan memanjat pohon kelapa. Pongkor, sabit sampai kain lancing, diberikan secara gratis. Nyai Kertisara juga aktif mengajari istri para penyadap itu cara-cara yang baik dan benar mengolah air nira jadi gula,” kata Ki Patih menjawab pertanyaan Raden Silihwarna.

“Apakah Kamandaka pernah tinggal di sekitar Pakuan Paman? Kalau tidak, agak mengherankan. Kenapa cara-cara yang dilakukan Kamandaka mendorong penduduk untuk giat dalam usaha produksi, mirip  dengan apa yang dilakukan Ayahanda Sri Baginda? Sri Baginda  saat itu mendorong para petani untuk menanam lada dan pala di ladang-ladang dan kebun mereka. Sri-Baginda juga menampung dan membeli hasil panen para petani. Demikian pula pemasarannya ditangani oleh petugas yang ditunjuk Sri Baginda. Bedanya hanya jenis barang yang dihasilkannya.”

“Sepengetahuan Paman Patih belum pernah. Memang pengakuannya sih berasal dari lereng Tangkuban Perahu. Tetapi Paman yakin, Kamandaka berbohong. Menurut dugaan Paman, Kamandaka itu pemuda yang berasal dari grumbul yang berada di sekitar Gunung Tugel, di sebelah utara Sungai Ciserayu . Bukankah pamannya Ki Kertisara berasal dari sana?”  berkata Ki Patih meyakinkan Raden Silihwarna.

“Asal usul Kamandaka masih belum jelas,” kata Raden Banyakngampar. “Ananda punya dugaan kuat Kamandaka mengenal dengan baik tradisi penduduk di Pakuan Pajajaran, Lereng Tangkuban Perahu dan tradisi penduduk disekitar Galuh. Misalnya di sekitar Sungai Citanduy, Cimuntur dan Cikijing sampai Kalipucang di bagian hilir Citanduy, di sana banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren. Tampaknya tidak jauh berbeda dengan keadaan di sepanjang Sungai Logawa dan Sungai Ciserayu. Penduduk di sekitar Sungai Citanduy, Cimuntur dan Cikijing, banyak yang pandai menyadap pohon kelapa dan pohon aren.”

“Jauh sebelum Kerajaan Galuh berdiri, banyak penduduk di sekitar Sungai Cimanuk, Citanduy, Cimuntur dan Cikijing yang sudah memiliki ketrampilan  mencari nafkah sebagai penyadap,” lanjut Raden Banyakngampar. ”Di samping sebagai penyadap para penduduk di sekitar sungai-sungai di Galuh itu, juga mencari nafkah dengan menggeluti usaha sebagai peladang, pemburu dan pedagang. Menurut ceritera penduduk, menjadi penyadap pada saat itu merupakan usaha mencari nafkah yang terhormat juga. Mereka belajar kepada seorang putra raja yang bernama Sang Katungmaralah. Dia lima bersaudara, putra ke-tiga Sang Raja Kandiawan di Medangjati. Dari kelima putra Raja Kandiawan itu, hanya Si Bungsu Wretikandayun yang bersedia membantu Ayahandanya Raja Kandiawan. Kakak Sang Katungmaralah yang sulung, Sang Mangkukuhan, lebih senang mencari nafkah sebagai peladang. Kakaknya yang nomor dua, Sang Karungkalah, lebih suka mencari nafkah dengan menjadi pemburu.Dan adiknya, Sang Sandanggreba, kakak Si Bungsu Wrtikandayun, lebih suka mencari nafkah sebagai pedagang.”

“Wajar jika tahta Raja Kandiawan di Medangjati akhirnya diserahkan kepada Si Bungsu Wretikandayun. Dialah yang membangun Kerajaan Galuh Kawali yang terletak di antara Sungai Citanduy dan Cimuntur yang merupakan kelanjutan kerajaan Medangjati. Sang Katungmaralah  itulah yang dianggap sebagai Sang Guru  pelindung para penyadap di lembah Sungai Citanduy, Cimuntur, Cikijing sampai Kalipucang. Nampaknya Kamandaka dengan cerdik menempatkan diri sebagai pelindung para penyadap di Sungai Ciserayu, mengikuti jejak Sang Katungmaralah, putra Raja Medangjati Sang Kandiawan. Jika dugaan Ananda benar, berarti Kamandaka memang pernah bermukim di sebelah barat Sungai Citanduy. Entah di Galuh, entah di Tangkuban Perahu. Atau bisa jadi malah pernah bermukim di Pakuan Pajajaran” kata Raden Banyakngampar mencoba menyimpulkan.

“Aku dengan Ki Sulap Pangebatan pernah memborong ratusan sabit dari pasar Karanglewas, betulkah Ki Patih,”  tanya Kanjeng Adipati, masih mempersoalkan kegiatan Ki Sulap Pangebatan.

“Benar Kanjeng Adipati. Sabit yang dibelinya buatan tukang pandai besi dari Kadipaten Pasirluhur juga. Semua sabit diberikan secara gratis pada para penyadap,” jawab Ki Patih dengan nada suara yang datar dan sedikit getir.

“Memang berita terakhir dari kegiatan Kamandaka itu sangat mencemaskan,” kata Kanjeng Adipati dengan nada murung. “Jika tidak dicegah, Kamandaka bisa jadi penguasa di wilayah segitiga Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu. Para penduduk Kadipaten Pasirluhur yang tingal di Kaliwedi, hampir semua jadi pendukung setia Kamandaka.”

“Bahkan hasil penyelidikan terakhir dari Ngabehi Nitipraja, setiap hari ada saja penduduk yang bergabung melamar jadi penyadap. Sebagian besar mereka berasal dari penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Tugel ke timur sampai grumbul Kaliori, Srowot,Tularan dan Kalianja. Jika suatu saat Kamandaka membentuk pasukan sabit, dan bekerja sama dengan Wirasaba, tentu akan sangat berbahaya. Wilayah segitiga dua sungai itu, bisa lepas dari Kadipaten Pasirluhur yang berarti juga lepas dari Kerajaan Pajajaran,”  kata Kanjeng Adipati memberikan peringatan, masih dengan nada murung.

Raden Silihwarna dan Ki Patih terdiam merenungkan kekhawatiran Kanjeng Adipati.(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun