Diraihnya guci porselin yang ada di atas meja, dibukanya tutup guci porselin itu. Aroma harum segar mewangi yang muncul dari dalam guci porselin itu beterbangan keluar, beberapa kali menyinggahi ujung hidung Sang Raja. Kemudian lipatan kapas bersisi tetesan bercak darah perawan suci dari Dyah Ayu Niken Gambirarum yang ada di dalam guci diambilnya. Lama diciuminya lembaran kapas yang harum itu beberapa kali, sampai air mata Sang Raja yang perkasa itu mengering.
“Aku akan hukum Wanita Serigala itu dan Pendeta sesat Raga Pitar! Tunggu saja,” kata Raja Pulebahas kepada dirinya sendiri. Dia mengeluarkan ancamannya sambil meninggalkan Pondok Tamanbidadari. Sebuah tandu penjemput dari Istana Raja yang sudah lama menunggunya, membawa Sang Raja kembali ke istananya.
Setelah peristiwa ritual malam tanggal empat belas bulan Kartika itu, Sang Raja jatuh sakit berhari-hari. Baru setelah sembuh tibalah kesempatan Sang Raja memanggil mereka menghadapnya untuk menerima murka Sang Raja.
***
Matahari pagi terus bergerak naik menuju puncak langit. Sinarnya yang cemerlang seperti kilauan lempengan perak yang menyilaukan mata, mulai memanggang Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Amarah Sang Raja Pulebahas juga terus naik menuju puncaknya. Hanya Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, yang sudah diberitahu lebih dulu keputusan penting apa yang akan diambil oleh Sang Raja pada hari itu. Karena itu, sebenarnya Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri lebih dari siap untuk mengambil tindakan mengamankan keputusan penting yang akan diambil Sang Raja.
“Adinda Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, dengarkan sabdaku Raja Pulebahas, Raja Kerajaan Nusakambangan yang telah kembali memeluk agama leluhurnya menyembah Sang Hyang Syiwa. Yang terkutuk adalah Nyai Gede Wulansari yang telah membunuh Permasuriku Ratu Ayu Niken Gambirarum. Yang terkutuk juga adalah Pendeta Sesat Raga Pitar! Engkau tahu Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, apa hukuman kepada orang yang dinyatakan terkutuk oleh Rajamu? Bertindaklah atas nama Rajamu dan Sang Hyang Dewa Syiwa!”
Mendengar perintah itu Patih Puletembini dan pembantunya Tumenggung Surajaladri segera bergerak untuk menangkap Nyai Gede Wulansari dan Pendeta Raga Pitar. Baik Nyai Gede Wulansari maupun Pendeta Raga Pitar sama sekali tidak menduga akan mengalami peristiwa yang tragis itu. Tetapi rupanya Nyai Gede Wulansari, jauh lebih siap dari Yang Suci Raga Pitar.
Ketika Patih Puletembini bergerak sendirian hendak menangkap Nyai Gede Wulansari, sesungguhnya dia melakukan tindakan yang ceroboh. Nyai Gede Wulansari cepat meloncat dan memasang posisi kuda-kuda. Wanita Serigala itu sadar akan bahaya yang mengancam dirinya. Dan baginya memang mati dengan bertarung mempertahankan nyawa lebih terhormat dari pada mati dengan menyerahkan lehernya untuk dipancung pedang Sang Raja.
Nyai Gede Wulansari, Si Wanita Serigala itu menantang duel Patih Puletembini di hadapan Sang Raja. Patih Puletembini mendekat, dengan sembrono melepaskan tamparan ke wajah Nyai Gede Wulansari. Tapi diluar dugaan Patih Puletembini, dengan mudah Nyai Gede Wulansari memiringkan wajahnya. Tamparan meleset menemui angin. Nyai Gede Wulansari yang pandai gulat itu, tidak menyia-nyiakan lengan Patih Puletembini yang lewat di depanya. Tangannya yang kekar bak tangkai penjepit, menangkap lengan Patih Puletembini. Dengan sentakan yang kuat luar biasa tubuh Patih Puletembini yang tinggi besar itu tertarik ke arah Serigala Wanita itu. Tubuh itu pun terhuyung-huyung bagaikan pohon kelapa yang akan tumbang.(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H