Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka (59)

24 Desember 2014   21:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:32 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419405849260561370

Diraihnya guci porselin yang ada di atas meja, dibukanya tutup guci porselin itu. Aroma harum segar mewangi yang muncul dari dalam guci porselin itu beterbangan keluar, beberapa kali menyinggahi ujung hidung Sang Raja. Kemudian lipatan kapas bersisi tetesan bercak darah perawan suci dari Dyah Ayu Niken Gambirarum yang ada di dalam guci diambilnya. Lama diciuminya lembaran kapas  yang harum itu beberapa kali, sampai air mata Sang Raja yang perkasa itu mengering.

“Aku akan hukum Wanita Serigala itu dan Pendeta sesat Raga Pitar! Tunggu saja,”  kata Raja Pulebahas kepada dirinya sendiri. Dia mengeluarkan ancamannya sambil meninggalkan Pondok Tamanbidadari. Sebuah tandu penjemput dari Istana Raja yang sudah lama menunggunya, membawa Sang Raja kembali ke istananya.

Setelah peristiwa ritual malam tanggal empat belas bulan Kartika itu, Sang Raja jatuh sakit berhari-hari. Baru setelah sembuh tibalah kesempatan Sang Raja memanggil mereka menghadapnya untuk menerima murka Sang Raja.

***

Matahari pagi terus bergerak naik menuju puncak langit. Sinarnya yang cemerlang  seperti kilauan lempengan perak yang menyilaukan mata, mulai memanggang Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Amarah Sang Raja Pulebahas juga terus naik menuju puncaknya. Hanya Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, yang sudah diberitahu lebih dulu keputusan penting apa yang akan diambil oleh Sang Raja pada hari itu. Karena itu, sebenarnya Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri lebih dari siap untuk mengambil tindakan mengamankan keputusan penting yang akan diambil Sang Raja.

“Adinda Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, dengarkan sabdaku Raja Pulebahas, Raja Kerajaan Nusakambangan yang telah kembali memeluk agama leluhurnya menyembah Sang Hyang Syiwa. Yang terkutuk adalah Nyai Gede Wulansari yang telah membunuh Permasuriku Ratu Ayu Niken Gambirarum. Yang terkutuk juga adalah Pendeta Sesat Raga Pitar! Engkau tahu Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, apa hukuman kepada orang yang dinyatakan terkutuk oleh Rajamu? Bertindaklah atas nama Rajamu dan Sang Hyang Dewa Syiwa!”

Mendengar perintah itu Patih Puletembini dan pembantunya Tumenggung Surajaladri segera bergerak untuk menangkap Nyai Gede Wulansari dan Pendeta Raga Pitar. Baik Nyai Gede Wulansari maupun Pendeta Raga Pitar sama sekali tidak menduga akan mengalami peristiwa yang tragis itu. Tetapi rupanya Nyai Gede Wulansari, jauh lebih siap dari Yang Suci Raga Pitar.

Ketika Patih Puletembini bergerak sendirian  hendak menangkap Nyai Gede Wulansari, sesungguhnya dia melakukan tindakan yang ceroboh.  Nyai Gede Wulansari cepat meloncat dan memasang posisi kuda-kuda. Wanita Serigala itu sadar akan bahaya yang mengancam dirinya. Dan baginya memang mati dengan bertarung mempertahankan nyawa lebih terhormat dari pada mati dengan menyerahkan lehernya untuk dipancung pedang Sang Raja.

Nyai Gede Wulansari, Si Wanita Serigala itu menantang duel Patih Puletembini di hadapan Sang Raja. Patih Puletembini mendekat, dengan sembrono melepaskan tamparan ke wajah Nyai Gede Wulansari. Tapi diluar dugaan Patih Puletembini, dengan mudah Nyai Gede Wulansari memiringkan wajahnya. Tamparan meleset menemui angin. Nyai Gede Wulansari yang pandai gulat itu, tidak menyia-nyiakan lengan Patih Puletembini yang lewat di depanya. Tangannya yang kekar bak tangkai penjepit, menangkap lengan Patih Puletembini. Dengan sentakan yang kuat luar biasa tubuh Patih Puletembini yang tinggi besar itu tertarik ke arah Serigala Wanita itu. Tubuh itu pun terhuyung-huyung bagaikan pohon kelapa yang akan  tumbang.(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun