“Tak apalah, ambilkan, Adindaku sayang.”
Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum bangkit untuk mengambil cangkir perak berisi minuman. Ketika Sang Raja meneguknya separuh isi cangkir, tak lama kemudian tubuhnya terkulai dan pingsan seketika. Sang Permaisuri cepat-cepat mengembalikan cangkir ke tempatnya semula. Setelah dia kembali ke ranjang ritual, diselimutinya Sang Raja. Sang Permaisuri menduga Sang Raja pingsan karena kelelahan. Dia berpikir, nanti toh akan sadar kembali. Sang Permaisuri masuk ke dalam selimut, berbaring di samping Sang Raja, kemudian dipeluknya dengan segenap kasih sayang Sang Raja yang sedang tidak sadarkan diri itu.
Lama-lama Sang Ratu Ayu Niken Gambirarum yang tidak menyadari bahaya yang tengah mengancam dirinya itu, tidur terlelap juga.
***
Pada saat itulah berkelebat tiga bayangan yang dengan leluasa bergerak masuk ke dalam ruangan dan mendekati ranjang ritual. Mereka segera bergerak cepat. Dipeganginya ke dua kaki Ratu Ayu Niken Gambirarum, dipeganginya pula kedua tangannya dan kepalanya. Mulutnya tiba-tiba dibuka secara paksa. Ketika dia sadar dimulutnya sudah terkumpul minuman yang tersisa dari cangkir perak yang dituangkan secara paksa pula.
Terpaksa cairan itu langsung ditelannya. Sejak itu dia tak ingat apa-apa lagi. Ya, dia Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum pingsan selamanya. Pingsan yang tak akan pernah bangun lagi. Karena tidak lama lagi nyawanya akan dipaksa lepas dan meninggalkan raganya tanpa bisa meninggalkan pesan kepada siapa saja. Bahkan juga tidak bisa meninggalkan pesan kepada Sang Raja Pulebahas yang telah menjadi suami tercintanya dan tambatan hatinya. Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, telah jatuh ke tangan wanita serigala yang siap menerkamnya, demi keyakinan sebuah agama yang telah diselewengkan dan disalahgunakan.
Wanita serigala itu, Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan Sekarmelati, segera menggotong keluar kamar tubuh Ratu Ayu Niken Gambirarum yang telah dibalut dengan pakaian putih bersih. Ditinggalkannya Sang Raja yang tergolek pingsan tak berdaya sendirian di bawah selimut yang menutupi tubuhnya.
Di luar ruang sanggar ritual tiga orang utusan Yang Suci Pendeta Raga Pitar sudah tidak sabar menunggu di atas dua kudanya. Tubuh Ratu Ayu Niken Gambirarum, segera dinaikkan ke atas kuda, diapit dua orang utusan. Kedua kuda itu pun cepat melesat beriring-iringan dipacu menuju pantai timur Nusakambangan, berkejar-kejaran dengan fajar pagi yang tidak lama lagi akan segera menyingsing.
Sejak itu tubuh Ratu Ayu Niken Gambirarum, yang sempat menjadi Permaisuri Raja Pulebahas kurang dari satu malam itu, lenyap tak pernah diketahui di mana rimbanya. Yang tertinggal di Tamanbidadari hanyalah darah perawan sucinya yang sempat diselamatkan di dalam guci porselin milik Raja Pulebahas.
Ketika Sang Raja bangun dari pingsannya pada pagi harinya, dia mendapatkan firasat yang tidak baik. Tapi segalanya serba terlambat, Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, telah lama dibawa ke pantai timur Pulau Nusakambangan untuk melewati prosesi lebih lanjut yang sama sekali tidak mungkin dicegahnya. Pagi itu, air mata Sang Raja bercucuran terkenang kenang akan wanita cantik yang cerdas luar biasa, mumpuni segala bisa.
“Hem, Adindaku Ratu Ayu Niken Gambirarum, istri tercintaku, maafkan akan keteledoranku tidak menjagamu dengan baik dari maut yang setiap saat mengintaimu. Maafkan aku Adindaku. Semoga Sang Hyang Syiwa menyelamatkan sukmamu, karena pengorbanan Adindaku yang besar dan luar biasa kepadaku.”