***
Fajar baru saja menyingsing, tetapi Raden Kamandaka dan Rekajaya sudah berdiri di tepi Sungai Banjaran. Kabut putih yang bergulung-gulung dan nampak seperti melayang-layang di atas sungai itu semakin lama semakin menipis, hingga permukaan air sungai yang semula remang-remang itu semakin jelas kelihatan.
Raden Kamandaka melihat air sungai yang jernih itu mengalir berebut cepat ke hilir setiap melewati sela-sela batu yang muncul di dasar sungai. Maklumah musim kemarau, sehingga Raden Kamandaka dengan mudah menemukan batu-batu untuk meyeberang. Di bagian hilir yang agak dalam, permukaan air sungai itu nampak bagaikan cermin datar menghadap langit yang memanjang akhirnya melengkung dan lenyap di sebuah kelokan.
“Silihwarna dan pengiringnya pasti masih mimpi di tendanya. Paling nanti siang baru mengejar kita. Cukup waktu bagi kita untuk membersihkan badan, sebelum kita menemukan tempat berlindung yang nyaman,” kata Raden Kamandaka sambil duduk di atas batu datar setelah berhasil menyeberangi sungai. Mereka berdua menyempatkan diri untuk mandi. Rekajaya bahkan berani merendamkan dirinya dan beberapa kali menyelam. Padahal pagi itu air sungai dinginnya bukan main.
“Raden, masuk saja berendam sebentar. Ikatan selendang sutra tidak usah dilepas. Justru jika kena air, ramuan di dalam selendang sutra itu akan cepat meresap ke dalam tubuh Raden lewat kulit. Bukan saja luka Raden akan cepat sembuh, tetapi stamina Raden pun akan diperbaharui berkat ramuan yang ada pada selendang sutra itu,” kata Rekajaya ketika melihat Raden Kamandaka ragu-ragu untuk terjun ke dalam sungai. Raden Kamandaka segera mengikuti saran Rekajaya dan langsung terjun ke sungai.
“Hem, benar Kakang Rekajaya, Putra Sungai tidak pernah takut air. Ah, alangkah segarnya. Kemarin sore mandi keringat, sekarang semua sisa-sisa keringat pergi semua. Semoga pergi juga semua racun yang ada dalam tubuhku,” kata Kamandaka tanpa ragu-ragu lagi mengikuti jejak Rekajaya terjun ke dalam sungai yang jernih itu dan menyelam beberapa kali.
Usai mandi, mereka berdua menggingil kedinginan. Rekajaya merasa segar badannya. Sedang Raden Kamandaka, merasakan tenaga dan semangatnya pulih kembali.
“ Hebat benar Dinda Dewi. Selendang sutra kuning ini mengeluarkan bau harum yang melumuri seluruh tubuhku, Kakang Rakajaya.”
“He..he..he..siapa dulu Sang Dewi? Calon permaisuri putra mahkota Kerajaan Pajajaran!” puji Rekajaya sambil tertawa. Raden Kamandaka pun ikut tertawa karena Sang Dewi dipuji Rekajaya.
“Ayohlah Kakang, kita lanjutkan perjalanan kita dengan berjalan agak cepat agar tubuh kita menjadi hangat,” ajak Raden Kamandaka sambil melangkah menaiki tebing beranjak meninggalkan sungai.
Kini mereka tiba di sebuah jalan panjang yang mengikuti aliran Sungai Banjaran dari arah hulu menuju hilir. Di sebelah timur jalan itu membentang padang rumput dan ilalang yang terhampar ke arah matahari terbit dan berakhir di sebuah hutan yang sangat lebat. Raden Kamandaka dan Rekajaya berdiri di bawah pohon jati yang secara kebetulan tumbuh di tepi jalan itu sambil memandang ke arah timur.