Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel : Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(65)

10 Februari 2015   19:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:29 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putra Sungai tak pernah takut .....

“Hem, Tumenggung sombong. Istrimu akan segera menjadi janda. Sudah tidak usah banyak omong. Aku ingin tahu berapa banyak jurus  harimau  putih yang kamu kuasai,” kata Raden Kamandaka, yang langsung menyerang Tumenggung Silihwarna dengan melancarkan jurus pertama. Dengan mudah dia berkelit. Setiap kali Raden Kamandaka melancarkan serangan, selalu saja meleset. Nampaknya Tumenggung Silihwarna mampu menebak arah gerakan. Jurus pertama harimau putih berakhir tanpa hasil. Kini ganti Tumenggung Silihwarna yang mengambil inisiatip melancarkan jurus kedua harimau putih untuk melumpuhkan Raden Kamandaka. Raden Kamandaka dengan mudah melepaskan diri dari serangan jurus kedua. Demikianlah kedua ksatria itu terus berkelahai mengadu ketrampilan masing-masing dalam seni ilmu bela diri tingkat tinggi. Mereka saling menendang, saling memukul, saling menggunakan tenaga dalam. Jika yang satu meloncat untuk menerkam lawannya, yang diterkam dengan lincah mampu melepaskan diri dari terkaman.

Para prajurit yang menyaksikan duel tingkat tinggi itu kagum bukan main menyaksikan  keahlian mereka berdua dalam seni berkelahai. Mereka nampak seimbang dan belum ada satu pun yang berhasil melukai lawannya. Apa lagi mampu melumpuhkannya satu sama lain. Sementara itu, waktu pun terus berlalu. Matahari berjalan menuruni kaki langit menukik menuju tempatnya terbenam.

Menyaksikan gerakan Kamandaka yang sangat gesit itu, Tumenggung Silihwarna merasa takjub. Ternyata Raden Kamandaka bisa berkelahai dengan tenaga yang luar biasa, seakan-akan luka tikaman senjata pusaka kujang tidak berbekas sama sekali.

“Ksatria dari mana Kamandaka ini? Tidak mempan tikaman senjata kujang Kencana Shakti Pajajaran? Padahal darah merah sudah sempat mengucur dari lambungnya?” kata Tumenggung Silihwarna dalam hati terheran-heran.

”Dari Majapahitkah? Tidak mungkin. Jurus harimau putih jurus andalan Padepokan Sangkuriang!”.

Kini matahari sudah hampir menyentuh kaki langit. Kedua ksatria yang belum saling tahu siapa lawannya yang sebenarnya itu, sudah berkelahai dengan menggelar jurus harimau putih sampai jurus pamungkas, jurus ke-45. Tetapi keduanya belum juga ada yang mampu merobohkan lawannya masing-masing. Padahal keringat sudah menganak sungai membasahi sekujur tubuh mereka berdua. Semburat warna senja sudah mulai menghiasi kaki langit tempat matahari akan terbenam.

“Berhenti!” kata Tumenggung Silihwarna.” Hai Kamandaka, aku tadi siang menyaksikan  kamu menggunakan jurus monyet putih yang berhasil membuatku pingsan. Kalau sekarang aku juga menggunakan jurus monyet putih, pasti tidak akan selesai karena malam segera tiba. Para ksatria dilarang oleh dewa bertanding pada waktu malam hari. Karena itu kita tunda sampai besok, sesuai dengan permintaanmu tadi. Sebelum berpisah, aku bertanya, pernahkah kamu berguru di Padepokan Megamendung di lereng Gunung Gede?”.

“Silihwarna, kamu ini aneh, kapan mertuamu Adipati Dayeuhluhur pernah mengirim kamu ke Padepokan Megamendung?”

Tumenggung Silihwarna tertawa, karena Kamandaka tidak tahu bahwa sesungguhnya dirinya belum pernah bertemu dengan Adipati Dayeuhluhur. Apalagi menjadi menantunya. Itu hanyalah akal-akalan Kanjeng Adipati Pasirluhur agar Tumenggung Maresi tidak tersinggung karena tugas untuk menangkap Kamandaka dialihkan kepadanya. Melihat Silihwarna tertawa, Raden Kamandaka langsung tersinggung, karena dia menganggap Silihwarna tengah mentertawakan dirinya.

“Sudahlah tidak usah tertawa. Kita lanjutkan saja  besok. Sebentar lagi malam akan tiba,” kata Raden Kamandaka yang langsung berbalik kembali masuk ke dalam hutan. Sedangkan Tumenggung Silihwarna bersama anak buahnya memilih membangun perkemahan di tanah lapang tidak jauh dari hutan di tepi Sungai Banjaran itu. Maksud mereka sebenarnya adalah untuk mengurung Raden Kamandaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun