Putra Sungai tak pernah takut .....
“Hem, Tumenggung sombong. Istrimu akan segera menjadi janda. Sudah tidak usah banyak omong. Aku ingin tahu berapa banyak jurus harimau putih yang kamu kuasai,” kata Raden Kamandaka, yang langsung menyerang Tumenggung Silihwarna dengan melancarkan jurus pertama. Dengan mudah dia berkelit. Setiap kali Raden Kamandaka melancarkan serangan, selalu saja meleset. Nampaknya Tumenggung Silihwarna mampu menebak arah gerakan. Jurus pertama harimau putih berakhir tanpa hasil. Kini ganti Tumenggung Silihwarna yang mengambil inisiatip melancarkan jurus kedua harimau putih untuk melumpuhkan Raden Kamandaka. Raden Kamandaka dengan mudah melepaskan diri dari serangan jurus kedua. Demikianlah kedua ksatria itu terus berkelahai mengadu ketrampilan masing-masing dalam seni ilmu bela diri tingkat tinggi. Mereka saling menendang, saling memukul, saling menggunakan tenaga dalam. Jika yang satu meloncat untuk menerkam lawannya, yang diterkam dengan lincah mampu melepaskan diri dari terkaman.
Para prajurit yang menyaksikan duel tingkat tinggi itu kagum bukan main menyaksikan keahlian mereka berdua dalam seni berkelahai. Mereka nampak seimbang dan belum ada satu pun yang berhasil melukai lawannya. Apa lagi mampu melumpuhkannya satu sama lain. Sementara itu, waktu pun terus berlalu. Matahari berjalan menuruni kaki langit menukik menuju tempatnya terbenam.
Menyaksikan gerakan Kamandaka yang sangat gesit itu, Tumenggung Silihwarna merasa takjub. Ternyata Raden Kamandaka bisa berkelahai dengan tenaga yang luar biasa, seakan-akan luka tikaman senjata pusaka kujang tidak berbekas sama sekali.
“Ksatria dari mana Kamandaka ini? Tidak mempan tikaman senjata kujang Kencana Shakti Pajajaran? Padahal darah merah sudah sempat mengucur dari lambungnya?” kata Tumenggung Silihwarna dalam hati terheran-heran.
”Dari Majapahitkah? Tidak mungkin. Jurus harimau putih jurus andalan Padepokan Sangkuriang!”.
Kini matahari sudah hampir menyentuh kaki langit. Kedua ksatria yang belum saling tahu siapa lawannya yang sebenarnya itu, sudah berkelahai dengan menggelar jurus harimau putih sampai jurus pamungkas, jurus ke-45. Tetapi keduanya belum juga ada yang mampu merobohkan lawannya masing-masing. Padahal keringat sudah menganak sungai membasahi sekujur tubuh mereka berdua. Semburat warna senja sudah mulai menghiasi kaki langit tempat matahari akan terbenam.
“Berhenti!” kata Tumenggung Silihwarna.” Hai Kamandaka, aku tadi siang menyaksikan kamu menggunakan jurus monyet putih yang berhasil membuatku pingsan. Kalau sekarang aku juga menggunakan jurus monyet putih, pasti tidak akan selesai karena malam segera tiba. Para ksatria dilarang oleh dewa bertanding pada waktu malam hari. Karena itu kita tunda sampai besok, sesuai dengan permintaanmu tadi. Sebelum berpisah, aku bertanya, pernahkah kamu berguru di Padepokan Megamendung di lereng Gunung Gede?”.
“Silihwarna, kamu ini aneh, kapan mertuamu Adipati Dayeuhluhur pernah mengirim kamu ke Padepokan Megamendung?”
Tumenggung Silihwarna tertawa, karena Kamandaka tidak tahu bahwa sesungguhnya dirinya belum pernah bertemu dengan Adipati Dayeuhluhur. Apalagi menjadi menantunya. Itu hanyalah akal-akalan Kanjeng Adipati Pasirluhur agar Tumenggung Maresi tidak tersinggung karena tugas untuk menangkap Kamandaka dialihkan kepadanya. Melihat Silihwarna tertawa, Raden Kamandaka langsung tersinggung, karena dia menganggap Silihwarna tengah mentertawakan dirinya.
“Sudahlah tidak usah tertawa. Kita lanjutkan saja besok. Sebentar lagi malam akan tiba,” kata Raden Kamandaka yang langsung berbalik kembali masuk ke dalam hutan. Sedangkan Tumenggung Silihwarna bersama anak buahnya memilih membangun perkemahan di tanah lapang tidak jauh dari hutan di tepi Sungai Banjaran itu. Maksud mereka sebenarnya adalah untuk mengurung Raden Kamandaka.
***
Fajar baru saja menyingsing, tetapi Raden Kamandaka dan Rekajaya sudah berdiri di tepi Sungai Banjaran. Kabut putih yang bergulung-gulung dan nampak seperti melayang-layang di atas sungai itu semakin lama semakin menipis, hingga permukaan air sungai yang semula remang-remang itu semakin jelas kelihatan.
Raden Kamandaka melihat air sungai yang jernih itu mengalir berebut cepat ke hilir setiap melewati sela-sela batu yang muncul di dasar sungai. Maklumah musim kemarau, sehingga Raden Kamandaka dengan mudah menemukan batu-batu untuk meyeberang. Di bagian hilir yang agak dalam, permukaan air sungai itu nampak bagaikan cermin datar menghadap langit yang memanjang akhirnya melengkung dan lenyap di sebuah kelokan.
“Silihwarna dan pengiringnya pasti masih mimpi di tendanya. Paling nanti siang baru mengejar kita. Cukup waktu bagi kita untuk membersihkan badan, sebelum kita menemukan tempat berlindung yang nyaman,” kata Raden Kamandaka sambil duduk di atas batu datar setelah berhasil menyeberangi sungai. Mereka berdua menyempatkan diri untuk mandi. Rekajaya bahkan berani merendamkan dirinya dan beberapa kali menyelam. Padahal pagi itu air sungai dinginnya bukan main.
“Raden, masuk saja berendam sebentar. Ikatan selendang sutra tidak usah dilepas. Justru jika kena air, ramuan di dalam selendang sutra itu akan cepat meresap ke dalam tubuh Raden lewat kulit. Bukan saja luka Raden akan cepat sembuh, tetapi stamina Raden pun akan diperbaharui berkat ramuan yang ada pada selendang sutra itu,” kata Rekajaya ketika melihat Raden Kamandaka ragu-ragu untuk terjun ke dalam sungai. Raden Kamandaka segera mengikuti saran Rekajaya dan langsung terjun ke sungai.
“Hem, benar Kakang Rekajaya, Putra Sungai tidak pernah takut air. Ah, alangkah segarnya. Kemarin sore mandi keringat, sekarang semua sisa-sisa keringat pergi semua. Semoga pergi juga semua racun yang ada dalam tubuhku,” kata Kamandaka tanpa ragu-ragu lagi mengikuti jejak Rekajaya terjun ke dalam sungai yang jernih itu dan menyelam beberapa kali.
Usai mandi, mereka berdua menggingil kedinginan. Rekajaya merasa segar badannya. Sedang Raden Kamandaka, merasakan tenaga dan semangatnya pulih kembali.
“ Hebat benar Dinda Dewi. Selendang sutra kuning ini mengeluarkan bau harum yang melumuri seluruh tubuhku, Kakang Rakajaya.”
“He..he..he..siapa dulu Sang Dewi? Calon permaisuri putra mahkota Kerajaan Pajajaran!” puji Rekajaya sambil tertawa. Raden Kamandaka pun ikut tertawa karena Sang Dewi dipuji Rekajaya.
“Ayohlah Kakang, kita lanjutkan perjalanan kita dengan berjalan agak cepat agar tubuh kita menjadi hangat,” ajak Raden Kamandaka sambil melangkah menaiki tebing beranjak meninggalkan sungai.
Kini mereka tiba di sebuah jalan panjang yang mengikuti aliran Sungai Banjaran dari arah hulu menuju hilir. Di sebelah timur jalan itu membentang padang rumput dan ilalang yang terhampar ke arah matahari terbit dan berakhir di sebuah hutan yang sangat lebat. Raden Kamandaka dan Rekajaya berdiri di bawah pohon jati yang secara kebetulan tumbuh di tepi jalan itu sambil memandang ke arah timur.
Mereka berdua menyaksikan panorama yang indah sekali saat alam yang semula diam dicekam sepi itu, tiba-tiba mulai berdenyut dan menggeliat. Aneka macam burung hutan mulai kelihatan keluar satu demi satu mengarungi langit dan membentuk titik-titik hitam yang makin lama makin banyak. Mereka berbondong-bondong keluar dari sarangnya untuk mencari mangsa di tempat yang jauh entah di mana. Burung-burung itu bermunculan dari pohon-pohon raksasa yang tumbuh di hutan itu, seakan-akan bergembira ria mengiringi munculnya semburat warna merah jingga di kaki langit sebelah timur.
Kemudian pada jalan yang membentang dari utara ke selatan itu, satu persatu mulai muncul pula para pejalan kaki laki-laki maupun perempuan bagaikan mahluk-mahluk yang tiba-tiba saja bermunculan dari perut bumi. Mereka adalah para petani yang tinggal berjauhan di sepanjang Sungai Banjaran yang sepagi itu sudah menggendong dan memikul barang hasil ladangnya dan ternaknya untuk di bawa ke pasar. Tidak lama lagi memang matahari akan segera terbit.
“Kakang Rekajaya, lihatlah hutan yang lebat itu. Kita akan berlindung di sana. Aku pikir akan lebih aman di sana, jika kelak prajurit Pasirluhur yang mengejarku membawa senjata. Tahukah Kakang, hutan apakah itu?” tanya Raden Kamandaka sambil menunjuk hutan di timur laut yang ada di seberang padang ilalang yang luas itu.
“Hamba tidak tahu namanya Raden. Yang hamba tahu, di situ banyak aneka macam satwa termasuk binatang buas. Ada harimau, banteng, kijang, rusa, babi hutan, monyet, lutung, serigala, ular dan kentus. “
“Apa itu kentus?”
“Pelanduk bertanduk, Raden,”
“ O iya? Aku belum pernah melihat kentus.”
“Ya, kalau sedang mujur, Raden bisa menangkapnya. Biasanya orang-orang menangkap kentus dengan memasang alat perangkap. Sebenarnya di pasar hewan Pangebatan ada juga yang menjualnya, Raden,”
“Ada yang sudah mencoba beternak?”
“Sepertinya belum ada.”
“Wah, sayang sekali. Jika terus-menerus ditangkap lama-lama pasti punah.”
“Ya itulah. Sayangnya Kanjeng Adipati sendiri gemar berburu. Hutan itu adalah salah satu hutan yang menjadi kegemaran Kanjeng Adipati untuk berburu binatang buas,” kata Rekajaya menyesalkan Kanjeng Adipati Kandhadaha yang memiliki kebiasaan berburu. ”Tentu saja rakyatnya lalu ikut-ikutan.”
“Kalau begitu ada jalan menuju hutan itu?”
“Betul Raden, tapi kita harus memutar ke selatan sana mengikuti jalan ini, nanti ada jalan ke kiri menuju hutan itu.”
“Apakah Jalan memutar tidak terlalu jauh dari sini? Untuk mempercepat menuju hutan itu, kita sebaiknya membuat jalan terobosan melewati padang ilalang lurus ke arah hutan di timur laut itu, Kakang.”
“Liwat tengah-tengah padang ilalang, Raden? Bagaimana kalau di tengah sana ada lumpur, ada ular, ada harimau? Kita akan mudah diterkam jika ada harimau hutan yang melihatnya,” kata Rekajaya setengah keberatan, bila harus menerobos padang ilalang yang sangat luas itu.
“Putra Sungai tak pernah takut membuat jalan terobosan. Jangan takut dengan binatang buas, Kakang. aku punya mantra Ciung Wanara yang bisa menjinakkan binatang apa saja, termasuk binatang buas,” kata Raden Kamandaka meyakinkan.
“Oh, iya. Hamba lupa, Raden. Kapan hamba diajari mantra itu? Bukankah dahulu Raden pernah berjanji akan mengajari hamba mantra penjinak bintang?”
Raden Kamandaka tertawa mendengar Rekajaya menagih janjinya untuk mengajari mantra penjinak binatang buas.
”Masalahnya sebenarnya begini, Kakang. Pertama, aku belum mendapat ijin dari guruku untuk mengajarkan mantra tadi kepada orang lain. Kedua usia Kakang sudah lewat 30 tahun, tidak mudah untuk mempelajari jurus-jurus moyet putih. Padahal mantra tadi bagian dari padanya. Ketiga, Kakang sebaiknya kelak memusatkan diri mengembangkan bisnis Nyai Kertisara saja. Lagi pula jika dewa mengijinkan, dan Kakang jadi memperistri Khandeg Wilis, toh tidak diperlukan mantra untuk menjinakkan Emban Khandeg Wilis, bukan?” kata Raden Kamandaka, memberi alasan sambil tersenyum. Di ujung kalimat, dia menggoda Rekajaya.
“Ah, Raden ada-ada saja. Soalnya bukan itu Raden. Alangkah baiknya kalau ilmu tadi bisa disebarkan dan diwariskan kepada penduduk Kadipaten Pasirluhur. Pasti akan banyak manfaatnya.”(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H