Ketika Raden Kamandaka tiba ditempat semula, Rekajaya sudah ada di situ membawa sejumlah perbekalan yang berhasil dibelinya. Raden Kamandaka melihat sebuah kurungan ayam yang sangat bagus dan si Mercu sudah tinggal di dalamnya. Rekajaya terkejut saat Raden Kamandaka membopong seekor lutung yang cukup besar.
“Hei, Kakang, kita punya sahabat baru nih. Namanya Lutung Kasarung. Ayo salaman dengan Kakang Rekajaya,” perintah Raden Kamandaka. Si Lutung segera meloncat ke hadapan Rekajaya dan mengajak salaman. Lalu si Lutung itu meloncat dan duduk di atas kurungan baru si Mercu. Rekajaya tertawa sekaligus kagum kepada ketrampilan lutung hutan yang baru dikenalnya itu. Dalam waktu singkat Raden Kamandaka sudah bisa mengajarkan sejumlah ketrampilan pada si Lutung.
“Nampaknya si Lutung Kasarung belum sarapan nih. Beli pisang tidak tadi, Kakang?” tanya Raden Kamandaka.Rekajaya menggeleng.
“Lupa Raden. Hanya kupat, lontong dan pepes ayam dan jagung rebus. Padahal tadi ada juga kacang rebus di pasar.”
“ Yah, tidak apa dikasih lontong dan jagung rebus juga mau kok. Ayoh kita makan ramai-ramai. Perutku pun sudah minta diisi,” kata Raden Kamandaka.
Pagi itu, sinar matahari pagi sudah menerobos ranting, dahan dan daun-daun pohon hutan yang besar dan yang menjulang ke langit biru. Raden Kamandaka, Rekajaya, si Lutung Kasarung dan si Mercu sibuk mengisi perutnya masing-masing.
Pelan tetapi pasti, pagi telah bertukar dengan siang. Angin hutan bertiup lembut menimbulkan rasa nyaman dan sejuk bagi mereka yang ada di dalam hutan, sekalipun sesungguhnya sinar matahari sangat menyilaukan mata.
Ketika Raden Kamandaka dan Rekajaya sedang menyiapkan berbagai keperluan untuk bertahan dan berlindung di dalam hutan itu, tiba-tiba si Mercu menjadi gelisah. Si Lutung Kasarung ikut gelisah. Dia naik keatas pohon dan di sana ribut, seakan-akan hendak memberi tahu adanya orang-orang yang berkumpul di pinggir hutan yang lebat itu.
“Eh, mereka kesiangan rupanya. Tengah hari begini baru datang mau menyusul kita,” kata Raden Kamandaka.
Tiba-tiba Raden Kamandaka mendengar suara anjing pelacak yang menyalak keras sekali mendekati tempat Raden Kamandaka dan Rekajaya berlindung.
“Biar saja. Tenang Kakang, tidak usah takut. Mereka tak akan berani masuk,” kata Raden Kamandaka menyakinkan Rekajaya yang mukanya pucat pasi karena ketakutan.