Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Harga Mahal Sebuah Pesta

27 April 2019   08:38 Diperbarui: 27 April 2019   08:54 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
regional.kompas.com

Perhelatan Pemilu 2019 sudah selesai dan perhitungan masih dilakukan oleh KPU. Sembari menunggu hasil KPU, analisis perhitungan cepat dari banyak lembaga survey ramai menghiasi media. Saling klaim kemenangan kedua kubu dan rasa was-was para caleg sepertinya akan terus menghiasi hari-hari kedepan hingga pengumuman resmi hasil perhitungan suara KPU. 

Terlepas dari hingar bingar Pemilu 2019 yang telah dilaksanakan dan juga penungguan rekapitulasi suara secara resmi, Pemilu kali ini menyisakan duka disebagaian masyarakat Indonesia. Hajatan negara lima tahunan ini ternyata meminta korban nyawa dari para petugas pelaksana pemilu. 

Bukan karena bencana alam apalagi kekerasan macam terorisme atau sparatisme, tapi lebih karena faktor kesehatan dari para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Tercatat korban jiwa mencapai 230 orang untuk seluruh Indonesia. 

Sebenarnya ditiap Pemilu ataupun Pilkada selalu tercatat korban jiwa, tetapi untuk Pemilu kali ini koban yang mencapai dua ratus lebih dirasa tidak termasuk dalam kewajaran. Jika melihat sejarah Pemilu di Indonesia, Pemilu pertama di tahun 1955 adalah salah satu Pemilu dengan korban karena tindak kekerasan lumayan tinggi dibandingkan dengan pemilu-pemilu setelahnya. 

Keadaan ini sangat dimungkinkan oleh karena pada tahun tersebut DI/TII masih menjadi momok pemberontakan dibeberapa daerah terutama di Jawa Barat. Para gerombolan tersebut acap kali melakukan penyerangan-penyerangan pada wilayah kantong suara PKI. 

Disamping pemberontakan, persaingan antar Parpol pun kian meruncing terutama di daerah, ditambah ketidaknetralan TNI/Polri semakin memperkeruh keadaan pada Pemilu pertama tersebut. 

Namun sebagian para ahli sejarah menyimpulkan secara garis besar Pemilu di Tahun 1955 adalah sukses dilaksanakan, bahkan menjadi salah satu Pemilu yang paling demokratis sepanjang NKRI berdiri.

Enam puluh empat tahun berselang, Pemilu 2019 sudah sukses terlaksana, walau hasilnya masih menunggu perhitungan resmi dari KPU. Pemilu tahun ini pun merupakan pemilu pertama yang menggabungkan Pilpres serta Pilleg. 

Meskipun sukses terlaksana, ada sisi keprihatinan yang menjadi sorotan atas pelaksanaannya. Banyaknya korban jiwa dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini tentu menyebabkan tanya akan kesiapan negara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum selaku pelaksana kegiatan.

Dalam Pemilu 2019 diperlukan sekitar 5,6 juta petugas KPPS untuk melayani 190 juta pemilih diseluruh Nusantara dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh KPU. Dari semua syarat yang tetapkan KPU, meskipun ada syarat untuk sehat secara jasmani dan rohani, sepertinya KPU lupa mengenai pentingnya ketentuan teknis akan sehat secara jasmani dan rohani. 

Sebenarnya untuk mengantisipasi hal-hal buruk tentang kesehatan seharusnya KPU menetapkan batasan umur maksimal calon KPPS, serta tidak lupa juga melampirkan surat kesehatan dari intansi kesehatan yang kredibel. Memang jumlah 5,6 juta jiwa sebagai anggota KPPS sangatlah besar, sehingga proses seleksi tidak menyeluruh, oleh karenanya terjadi hal buruk yang mengakibatkan korban jiwa. 

Selain solusi teknis bagi para petugas KPPS, ada solusi lain yang bisa digunakan oleh pemerintah agar Pemilu bisa berjalan dengan aman dan nyaman. Yaitu memanfaatkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selain TNI/Polri untuk membantu proses pemilu. Seharusnya PNS sebagai abdi negara tidak memiliki hak untuk memilih sebagaimana TNI/Polri. 

Jika TNI/Polri memiliki fungsi sebagai stabilitas keamanan negara, maka PNS memiliki fungsi untuk memperlancar roda pemerintahan dengan melayani masyarakat, sehingga baik TNI/Polri dan juga PNS sama-sama bertanggung jawab kepada rakyat. 

Bukankah PNS diharuskan untuk netral dengan tidak mengikuti politik praktis, tetapi dengan memiliki hak pilih tentu menjadi tidak netral. Dengan jumlah PNS mencapai 4,1 juta jiwa, jika setengahnya saja diwajibkan untuk membantu proses Pemilu, bukan tidak mungkin tingkat kesuksesan pemilu akan semakin tinggi.

Suka atau tidak suka, Pemilu di Indonesia masih jauh dari kata siap untuk dilakukan secara e voting. Luasan daerah yang berpulau-pulau, sarana dan prasarana informasi yang belum maksimal, hingga belum meratanya melek informasi dimasyarakat Indonesia akan menjadi hambatan yang sangat besar dalam pelaksanaan pemilu yang Jurdil dengan menggunakan sistem e voting. 

Belum lagi ketidakdewasaan dari pihak yang kalah akan mengkambinghitamkan teknologi dalam pemungutan suara. Maka Pemilu dengan cara mencoblos kertas dan dihitung manual ditiap-tiap daerah adalah pilihan yang terbaik walaupun pahit bagi bangsa ini.

Sebenarnya berapapun angka korban jiwa, tetaplah sebuah nyawa tidak bisa dihitung nilainya. Namun apa yang terjadi pada Pemilu kali ini, itu merupakan risiko dari sebuah pesta demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun