Kesan Megawati sebagai seseorang yang mendendam pada SBY, membuat sebagian masyarakat menganggapnya terlalu baper. Sedangkan majunya JK sebagai Capres diartikan sebagai seseorang yang penuh ambisi. Selain itu juga fakta bahwa SBY adalah petahana membawa keuntungan teknis pada beliau.
Pemilu 2009 bisa dikatakan adalah pemilu tanpa magnet Cawapres. Dari ketiga Cawapres yang ada, nampak hanya Budiono yang memiliki karir yang lama dipemerintahan selepas era reformasi.Â
Sedangkan dua Cawapres lainnya, Prabowo dan Wiranto, minim bahkan tidak sama sekali menduduki kursi pemerintahan selepas reformasi. Belum lagi kedua Cawapres ini diterpa dengan isu pelanggaran HAM dimasa lalu. Jadi tak salah kiranya jika SBY-Budiono menang telak dengan sekali putaran, dengan perolehan suara sebesar 60,8%.
Pemilu 2014
Selepas SBY berkuasa, Pemilu di 2014 menampilkan tokoh baru untuk Capresnya, walau sebenarnya Prabowo dan JK adalah muka-muka lama dalam Pemilu. Pada Pemilu ini hanya terdapat 2 pasang kandidat saja, Probowo-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hasil Pemilu menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenangnya dengan perolehan suara sebesar 53%.
 Angka kemenangan tipis ini mengindikasikan persaingan yang ketat antara kedua Paslon. Kubu Jokowi yang menarik kembali JK bisa jadi mengadopsi cara-cara SBY untuk menang di Pemilu 2004, walau banyak isu beredar bahwa nominasi cawapres yang sebenarnya adalah Abraham Samad.Â
Baik JK ataupun Samad sama-sama wakil dari Sulawesi yang digunakan untuk meraih kantong suara di wilayah timur. Sementara Prabowo menggandeng Hatta dengan tujuan yang hampir sama, yaitu menarik simpati dari luar Pulau Jawa.Â
Jika dibandingkan dengan dua kali kemenangan SBY yang meraih angka dikisaran 60% dengan dua wakil yang berbeda. Maka angka 53% pada kemenangan Jokowi menjadi indikasi bahwa pengaruh JK sebagai Cawapresnya waktu itu tidak sekuat saat Pemilu 2004.Â
Pemilu 2014 bisa dikatakan lebih karena faktor Jokowi dan Prabowo, namun Prabowo melakukan blunder dengan memilih Hatta. PAN dan Demokrat sedang melemah di Pemilu 2014, sehingga faktor Hatta sebagai tokoh PAN dan besan SBY tidak bisa menaikan pamornya.Â
Selain itu, publik masih ingat dengan kesalahan Hatta saat menginformasikan Kecelakaan Adam Air serta bebasnya putra Hatta Rajasa dalam kasus kecelakaan maut.Â
Walaupun ketokohan JK tidak sekuat 2004, tetapi sekali lagi bahwa JK sebagai penarik suara dari luar Pulau Jawa dapat menggungguli Hatta Rajasa yang berasal dari Sumatera. Mungkin akan berbeda hasilnya jika waktu itu Prabowo menarik suara dari tokoh Nahdiyin semisal Cak Imin, karena saat pemilu 2014 PKB meraih suara yang signifikan.Â
Pemilu Sekarang
Pemilu 2019 adalah ulangan pemilu 2014 minus cawapres yang berbeda. Dengan Capres yang masih sama, maka kunci penarik massa ada pada Cawapresnya. Jokowi yang selalu diserang dengan sentimen agama manggandeng KH Ma'ruf Amin untuk meredam isu agama sekaligus menggaet suara kaum sarungan terutama para Nahdiyin. Walau beredar keras bahwa Mahfud MD lah calon kuat Cawapres Jokowi, tetapi tetap saja antara KH Ma'ruf Amin dan Prof. Mahfud MD memiliki target suara yang sama.Â