Pemilu 2019 sudah didepan mata dan sepertinya seluruh rakyat Indonesia sudah tak sabar untuk mengetahui pemenangnya. Walau ramai lembaga survey sudah memberikan gambaran, tetapi jika belum hitungan real, rasanya semua belum bisa dipercaya.Â
Dua Paslon saling beradu simpati ditiap daerah, menjual program dan janji. Pemilu kali ini bagai sequel dari pemilu sebelumnya, dengan dua tokoh yang sama namun beda pendamping.Â
Lakon Pemilu tentu pada Capresnya tapi bukan berarti Cawapres hanya pemanis belaka. Hitung-hitungan peluang pun akan membawa Cawapres sebagai unsur pengait suara. Pemilu yang lalu layak untuk disimak kembali dengan Cawapres sebagai objek perhatian.
Pemilu 2004
Di Pemilu 2004 terdapat 5 Paslon yaitu Wiranto-Salahudin Wahid, Megawati-Hasyim Muzadi,Amien Rais-Siswono Y Husodo, Susilo Bambang Y-Jusuf Kalla dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Megawati-Hasyim dan SBY-JK harus bertarung kembali diputaran kedua, dan hasilnya SBY-JK lah pemenangnya.
Kemenangan SBY-JK menggunakan strategi playing victim, telah mendapat simpati luas dari rakyat Indonesia. Namun jangan dianggap remeh juga peran Jusuf Kalla. Sebagai orang Bugis, tentu JK mewakili suara dari wilayah timur Indonesia. Selain itu, JK sebagai fungsionaris Partai Golkar membuat suara SBY-JK semakin moncer saat pemilu waktu itu.Â
Pemilu 2004 harus mengalami 2 kali putaran dengan Megawati-Hasyim sebagai rival untuk SBY-JK. Walaupun sikap Megawati yang menurunkan simpati masyarakat tetapi majunya beliau ke putaran kedua tidak lepas dari pengaruh KH.Hasyim Muzadi sebagai ketua NU yang pastinya membawa gerbong suara para Nahdiyin.Â
Jika boleh mengenyampingkan peran  Megawati dan SBY, maka keuntungan suara ada di JK. Bukan tanpa sebab, JK sebagai wakil dari timur yang dibandingkan dengan Kyai Hasyim dari Jawa tentu akan menjadi keuntungan politik bagi JK untuk meraih simpati dari masyarakat di luar Pulau Jawa. Sementara suara di Pulau Jawa sudah terpecah pada simpati SBY dan Megawati. Perolehan suara SBY-JK adalah sebesar 60,62 %.
Pemilu 2009
Di Pemilu 2009, JK mencoba untuk bersebrangan dengan SBY sebagai petahana. Tetapi pada Pemilu kali ini SBY yang berpasangan dengan Budiono menang dengan telak atas dua lawan politiknya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Cawapres Budiono bukanlah orang politik, beliau adalah seorang dosen yang telah matang di dunia birokrasi dan ekonomi.
 Banyak tudingan yang dituduhkan kepadanya bahwa beliau adalah agen asing yang pro neo-liberal, namun tidak sedikit juga yang membela dan memuji kapasitas beliau sebagai ekonom.Â
Peran Budiono pada Pemilu 2009 tidaklah sebesar pengaruh JK pada pemilu sebelumnya. Peran beliau telah tertutup oleh simpati pada SBY dan antipati rakyat pada Megawati dan Jusuf Kalla.Â
Kesan Megawati sebagai seseorang yang mendendam pada SBY, membuat sebagian masyarakat menganggapnya terlalu baper. Sedangkan majunya JK sebagai Capres diartikan sebagai seseorang yang penuh ambisi. Selain itu juga fakta bahwa SBY adalah petahana membawa keuntungan teknis pada beliau.
Pemilu 2009 bisa dikatakan adalah pemilu tanpa magnet Cawapres. Dari ketiga Cawapres yang ada, nampak hanya Budiono yang memiliki karir yang lama dipemerintahan selepas era reformasi.Â
Sedangkan dua Cawapres lainnya, Prabowo dan Wiranto, minim bahkan tidak sama sekali menduduki kursi pemerintahan selepas reformasi. Belum lagi kedua Cawapres ini diterpa dengan isu pelanggaran HAM dimasa lalu. Jadi tak salah kiranya jika SBY-Budiono menang telak dengan sekali putaran, dengan perolehan suara sebesar 60,8%.
Pemilu 2014
Selepas SBY berkuasa, Pemilu di 2014 menampilkan tokoh baru untuk Capresnya, walau sebenarnya Prabowo dan JK adalah muka-muka lama dalam Pemilu. Pada Pemilu ini hanya terdapat 2 pasang kandidat saja, Probowo-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hasil Pemilu menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenangnya dengan perolehan suara sebesar 53%.
 Angka kemenangan tipis ini mengindikasikan persaingan yang ketat antara kedua Paslon. Kubu Jokowi yang menarik kembali JK bisa jadi mengadopsi cara-cara SBY untuk menang di Pemilu 2004, walau banyak isu beredar bahwa nominasi cawapres yang sebenarnya adalah Abraham Samad.Â
Baik JK ataupun Samad sama-sama wakil dari Sulawesi yang digunakan untuk meraih kantong suara di wilayah timur. Sementara Prabowo menggandeng Hatta dengan tujuan yang hampir sama, yaitu menarik simpati dari luar Pulau Jawa.Â
Jika dibandingkan dengan dua kali kemenangan SBY yang meraih angka dikisaran 60% dengan dua wakil yang berbeda. Maka angka 53% pada kemenangan Jokowi menjadi indikasi bahwa pengaruh JK sebagai Cawapresnya waktu itu tidak sekuat saat Pemilu 2004.Â
Pemilu 2014 bisa dikatakan lebih karena faktor Jokowi dan Prabowo, namun Prabowo melakukan blunder dengan memilih Hatta. PAN dan Demokrat sedang melemah di Pemilu 2014, sehingga faktor Hatta sebagai tokoh PAN dan besan SBY tidak bisa menaikan pamornya.Â
Selain itu, publik masih ingat dengan kesalahan Hatta saat menginformasikan Kecelakaan Adam Air serta bebasnya putra Hatta Rajasa dalam kasus kecelakaan maut.Â
Walaupun ketokohan JK tidak sekuat 2004, tetapi sekali lagi bahwa JK sebagai penarik suara dari luar Pulau Jawa dapat menggungguli Hatta Rajasa yang berasal dari Sumatera. Mungkin akan berbeda hasilnya jika waktu itu Prabowo menarik suara dari tokoh Nahdiyin semisal Cak Imin, karena saat pemilu 2014 PKB meraih suara yang signifikan.Â
Pemilu Sekarang
Pemilu 2019 adalah ulangan pemilu 2014 minus cawapres yang berbeda. Dengan Capres yang masih sama, maka kunci penarik massa ada pada Cawapresnya. Jokowi yang selalu diserang dengan sentimen agama manggandeng KH Ma'ruf Amin untuk meredam isu agama sekaligus menggaet suara kaum sarungan terutama para Nahdiyin. Walau beredar keras bahwa Mahfud MD lah calon kuat Cawapres Jokowi, tetapi tetap saja antara KH Ma'ruf Amin dan Prof. Mahfud MD memiliki target suara yang sama.Â
Penunjukan KH Ma'ruf Amin penuh akan risiko, dengan performa pak Kyai yang sudah tak lagi muda ditambah seorang pemuka agama Islam, bisa jadi menjauhkan suara massa menggambang dari unsur kaum millenial dan non-muslim. Selain itu realita bahwa 01 adalah pasangan dari Jawa mungkin menimbulkan antipati dari masyarakat luar Jawa.Â
Pemilihan KH Ma'ruf Amin sebagai pasangan Jokowi dimanfaatkan betul oleh 02. Santer kabar bahwa pendamping Prabowo di 2014 adalah AHY, namun dimenit-menit akhir digantikan oleh Sandiaga Uno. Pemilihan Uno tidak lepas dengan performanya yang menjadi kuda hitam saat Pilkada Jakarta 2017 dan melihat suara AHY yang jeblok di Pilkada yang sama.Â
Sandiaga Uno juga memiliki pesona anak muda yang segar, sukses, santun dan sedap dipandang mata diharapkan menjadi daya pikat untuk para milenis dan emak-emak. Selain itu, asal Uno yang berasal dari luar Pulau Jawa memberikan alternatif lain dalam dukungan pemilu.
Jika melihat bahwa petahana selalu mendapatkan keuntungan teknis dalam Pemilu, maka haruslah melihat pada Pemilu 2004, saat Megawati sang petahana dikalahkan oleh penantangnya SBY. Walau memang antara Pemilu 2004 dengan Pemilu sekarang berbeda keadaan serta situasinya, tetapi kondisi tersebut cukup membuktikan bahwa dukungan simpati dapat mengalahkan keuntungan teknis.
Pada Pemilu 2019, sang Petahana harus benar-benar memanfaatkan semua sumber daya untuk kemenangannya, melihat selisih kemenangan Jokowi terhadap Prabowo di Pemilu 2014 hanya sekitar 3% (Saat SBY menang,selisihnya 10%).Â
Angka 3% sangatlah riskan, apalagi dengan kehadiran Sandiaga Uno yang sukses di Pilkada DKI. Serta jangan lupa PKS sebagai mesin suara 02 yang telah teruji di Pilkada Jabar 2018 dengan menempatkan Sudrajat-Syaiqu yang tidak popiler diurutan kedua hasil Pilkada.
Walau secara survey 01 selalu unggul atas 02, tapi Pemilu kali ini bak pertandingan sepakbola. Kemenangan ditentukan dibabak Pilpres, bukan diatas kertas.Kalaulah pemilih hanya melihat pada Capresnya saja, maka 01 memiliki peluang besar untuk menang. Tetapi jika sang pemilih menjadikan Cawapres sebagai rujukannya, 02 memiliki peluang lebih untuk menang.Â
Jadi sekuat apa Jokowi sebagai petahana melawan pesona Sandiaga Uno sebagai idola emak-emak? Jawabannya harus ditunggu setelah tanggal 17 April 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H