Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rektor, Mimpi Besar Para Dosen

21 Maret 2019   09:50 Diperbarui: 21 Maret 2019   10:19 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : http://jambi.tribunnews.com

Tertangkapnya Romy (Romahurmuziy, Ketum PPP) oleh KPK seperti mematik permasalahan lain diluar korupsi. Romi ditenggarai memperjualbelikan kedudukan pada dinas-dinas di Departemen Agama. 

Selepas OTT-nya, ada sebuah cuitan dari seorang mantan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai sepak terjang Romi sebagai calo jabatan rektor dibeberapa Universitas Islam Negeri di Indonesia. 

Cuitan tersebut mengungkap peran Romi sebagai penjual jasa posisi rektor universitas dibawah naungan Depag. Tentu cuitan ini harus dibuktikan agar tidak menjadi fitnah belaka. 

Selain dari cuitan, dalam acara ILC (19/3) terungkap pula bagaimana keculasan pemilihan dan penunjukan rektor dibeberapa UIN. Terlepas dari benar tidaknya cuitan dan narasi tersebut, ada satu hal yang dapat disoroti dari efek tertangkapnya Romi, yaitu pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) yang lekat dengan kekuasaan pusat.

Bagi sebagian orang, mungkin pemilihan dan penunjukan seorang rektor sebagai pimpinan tertinggi di universitas tidak lebih seperti halnya penunjukan seorang kepala dinas atau sekelas kepala sekolah saja. 

Anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya salah, karena memang pemilihan rektor tidak memiliki euforia sebuah Pilkada, bahkan seheboh pemilihan Kepala Desa pun tidak. Rektor selaku pimpinan adalah jabatan struktural tertinggi pada suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN). 

Jika dikaitkan dengan wilayah, maka bisa setara Gubernur, Kapolda di kepolisian atau Pangdam di militer. Hal itu sangat beralasan, mengingat sebuah PTN adalah kumpulan para mahasiswa dari berbagai daerah yang dianalogikan sebagai calon penerus dengan prilaku intelek, dinamis dan kritis. 

Sejarah republik ini mengingat bahwa dua kekuasaan telah diruntuhkan oleh semangat mereka. Tentu disinilah terlihat bagaimana posisi strategis jabatan rektor, bisa sebagai penggerak mahasiswa atau malah penghalang mahasiswa terhadap suatu rezim.

Periode jabatan seorang rektor persis sama seperti presiden, yaitu selama 5 tahun dan dibatasi hanya 2 periode jika terpilih kembali. Jabatan rektor PTN dapatlah dikatakan sebagai jabatan struktural yang unik. 

Seorang rektor berasal dari dosen dan setelah tidak menjabat lagi sebagai rektor, maka ia akan kembali menjadi dosen biasa serta kemungkinan sang mantan rektor tersebut akan dipimpin oleh juniornya, baik itu oleh kepala jurusan, dekan atau rektor yang baru di universitasnya.

Bisa saja sang mantan rektor tadi adalah seorang profesor, tetapi pimpinan yang barunya (Kepala jurusan,dekan, rektor) hanyalah seorang doktor. Serta tidak menutup kemungkinan sang mantan rektor tadi turun jabatan, terpilih menjadi Kepala Jurusan atau Dekan. 

Persis sebagaimana seorang mantan gubernur/walikota akan kembali menjadi warga biasa, namun ini berada pada lingkup tempat kerja/profesi, akibatnya seorang mantan rektor harus memiliki mental yang kuat, jika tidak, dapat terkena post power syndrome.

Jabatan struktural rektor berbeda dengan instansi di Pemda, kepolisian atau militer; paling mudah menganalogikannya bisa dilihat pada instansi kepolisian, biasanya jika seorang polisi telah menjadi Kapolda, maka dia akan meniti karir pada tingkat yang lebih tinggi atau sederajat, tidaklah mungkin kembali mundur menjadi Kapolres apalagi menjadi penyidik biasa. Tidak mungkin juga seorang polisi berpangkat bintang menjadi bawahan seorang Kombes.

Bagi civitas akademik (dosen, tenaga administrasi dan mahasiswa) suatu perguruan tinggi, Pemilihan Rektor (Pilrek) memiliki kesan bagai pesta demokrasi. Hal ini terjadi karena Pilrek tidak ubahnya sebuah pilkada, walaupun mekanisme pemilihannya berbeda. 

Pada Pilrek terdapat kandidat yang dapat diisi siapa saja dengan syarat-syarat khusus administrasi dan akademik tanpa melihat senioritas. Pilrek bagai pemilu zaman orde baru, rektor dipilih berdasarkan senat guru besar (para profesor) sebagai wakil dari civitas akademi, jika PTNnya belum berstatus Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH) atau oleh Majelis Wali Amanat (yang berisi wakil-wakil dari civitas) bila PTN telah memiliki status PTN-BH seperti misalnya Universitas Indonesia atau Institut Teknologi Bandung. 

Lalu ada kewenangan menteri pendidikan atau menteri agama untuk memberikan suara dan menyetujui hasil Pilrek sebesar 35% dari total suara Pilrek, bagian inilah yang rawan akan percaloan dan sengkarut kepentingan seperti yang disangkakan kepada Romi. 

PTN tak ubahnya bagai ladang untuk mengais pengaruh, simbiosis mutualisme antar rektor dengan para pemegang kekuasaan acap kali terlaksana. Bagi seorang rektor, dikenal oleh para pembesar membuka peluang dekat dengan istana, jabatan menteri atau sekelas Dirjen tentu menjadi kedudukan yang lumayan. 

Keuntungan lain menjadi seorang rektor dapatlah dikonotasikan sebagai pemilik kekuasaan, ambil contoh bagaimana pengaruh rektor Universitas Negeri Jakarta (IKIP Jakarta) periode 2014-2018, Prof.Dr.H.Djaali, yang memiliki sanak famili dalam lingkar kampusnya.

Keuntungan bagi suatu rezim berpihak pada seorang rektor bisa dikatakan untuk "berjaga-jaga dan berlindung" dari sikap kritis mahasiswa. Diwarsa tahun 70-80an saat orde baru menguat, sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintahan diberangus dengan kekuatan militer. 

Para rektor yang memiliki idealisme, tentu tidak tinggal diam, mereka berusaha sekuat tenaga melindungi para mahasiswanya dari cara-cara militer. Akibatnya banyak rektor PTN yang diganti secara sepihak oleh penguasa waktu itu, seperti misalnya rektor ITB, Prof.Dr.Iskandar Alisjahbana, yang secara terang "berdiri" dibelakang mahasiswa saat protes terhadap rezim saat itu. 

Sejak itulah rezim daripada Soeharto melakukan "pendekatan" bagi para calon rektor, dan pendekatan dalam penentuan calon rektor masihlah ada hingga kini dengan bentuk yang berbeda-beda.

Selain untuk "pengamanan", fungsi simbiosis tersebut adalah untuk mendulang simpati bagi para pembesar, sebab rektor-rektor PTN ditiap daerah adalah representasi dari tokoh pendidikan pada daerahnya masing-masing yang posisinya bisa disetarakan dengan tokoh agama atau tokoh adat daerah setempat. 

Maka dari itu, terdapat aturan tidak tertulis bahwa seorang rektor PTN biasanya berasal dari komunitas warga atau suku pada wilayah PTN itu berada.

Kedudukan rektor acapkali bertautan dengan fungsi kekuasaan di pusat atau daerah. Pemimpin daerah biasanya akan menggandeng rektor PTN didaerahnya untuk pembangunan, karena dari universitas sumberdaya manusia terdidik bisa didapatkan. Seorang dosen yang menjadi rektor, dengan gelar minimal Doktor atau Profesor, tentu kapabilitas keilmuannya sudah mencapai tingkat tinggi, disinilah seorang rektor dituntut untuk mendorong riset-riset di universitasnya agar dapat diterapkan untuk kesejahteraan negara ini. 

Rektor universitas harus juga dapat mewadahi sikap kritis para mahasiswanya, baik kritis terhadap keilmuan atau juga terhadap kondisi bangsa. Sebagaimana bekas mahasiswa, rektor selayaknya memiliki idealisme yang tidak pernah pudar. Sikap idealisme dan kritis seorang rektor terhadap kondisi masyarakat tentu akan menjadi contoh bagi mahasiswanya. 

Selain Prof.Dr.Iskandar Alisjahbana yang memilih bersebrangan dengan Soeharto, bisa diambil contoh juga sikap Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang mengkritik kebijakan Soekarno, atau bahkan pengorbanan nyawa Prof Safwan Idris, rektor aktif UIN ar-Raniry  ditahun 2000, yang ditembak di rumahnya. Penembakan ini ditenggarai sebagai buntut konflik Aceh pada waktu itu.

Sekiranya seorang rektor bukan saja pemimpin disebuah universitas, tetapi juga representasi dari ketokohan seseorang yang berilmu tinggi, apalagi dengan gelar Profesor didepannya. Representasi tersebut membawa penilaian dan harapan masyrakat akan pencetakan generasi muda dan sarjana serta gelar pendidikan lainnya yang unggul, tidak hanya dari segi keilmuan tetapi juga dari sisi akhlaknya. 

Tapi bagaimana akan timbul kepercayaan dari masyarakat, jika pemilihan rektor saja sudah menggunakan makelar oleh orang-orang macam Romi. Semoga percaloan seperti yang diungkap pada twit dan pernyataan pak Mahfud hanya ada pada segelintir kampus saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun