Mohon tunggu...
Andre Kevin
Andre Kevin Mohon Tunggu... Engineer -

belajar sambil menulis sambil belajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan featured

"Commuting", Pulang Pergi Kerja

2 November 2017   18:55 Diperbarui: 17 Desember 2020   09:42 3558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barusan saya membaca artikel mengenai commuting dan efeknya terhadap manusia. Di artikel tersebut, dikatakan bahwa waktu yang digunakan untuk pulang dan pergi kerja berbanding terbalik dengan job satisfaction anda, atau dalam bahasa Indonesianya, kepuasan kerja. 

Dikatakan bahwa 20 menit tambahan waktu untuk commute tiap hari mengurangi 19% kepuasan kerja. Bukan hanya itu, efek lainnya adalah perasaan kesepian, stress dan gelisah.

Lalu, saya teringat dengan beberapa pengalaman saya commuting.

Bekasi - Jakarta (Sekolah)

Saya tinggal di Bekasi dan sejak SMP saya harus pulang-pergi ke Jakarta. Sekolah saya berada di Jakarta pusat, jalan salemba raya. Berangkat antara pukul 5.00 dan 5.15 sangatlah wajar bagi saya di umur 12 tahun saat itu. 

Bangun pagi pukul 4.00 dan mandi dengan mata setengah terbuka setengah tertutup sangatlah wajar. Untungnya, saya berangkat dengan orang tua yang juga harus melawan sang waktu untuk menghindari kemacetan. 

Bisa dikatakan saya selalu sampai di sekolah pukul 6.00 dan biasanya saya dan ayah saya tidur lagi di mobil atau mencari sarapan di sekitar. Jam 6.15 ayah saya lanjut ke kantornya. 

Tetapi dengan realita kehidupan Jakarta, saya bukan orang pertama yang sampai di sekolah. Banyak sekali murid lain yang tiba jam yang kurang lebih sama. 

Di sisi lain, kami yang sampai di sekolah pukul 6.15 punya banyak waktu untuk menyalin PR sebelum bel pelajaran pertama berbunyi. Hihi..

Bekasi -- Jakarta (Kerja)

gambar: businessinsider.com
gambar: businessinsider.com
Commute untuk bekerja dan sekolah di Jakarta, tentu berbeda. Kerja kantor ngga mulai jam 7.00 kayak jam sekolah. Terlalu pagi bagi saya kalau pergi jam 5.00 dari rumah. 

Ayah dan ibu saya tetap pergi jam 5.00 karena biasanya mereka pergi dengan mobil dan ibu saya lebih selalu sedia makan pagi dan siang dari rumah, yang mana lebih enak bawanya dengan kendaraan pribadi. Dan juga peralatan lainnya yang repot jika harus dibawa dengan kendaraan umum. 

Tapi, saya memilih untuk naik kereta saja. Jam berapa saya harus berangkat? Tidak begitu berbeda ternyata, jam 6 saya harus berangkat dari rumah, menuju stasiun dan jam 7.30 saya sudah sampai di kantor. 

Yap, satu setengah jam. Ini dikarenakan saya harus naik angkot dan masih berjalan kaki setelah sampai di stasiun terdekat. Jam 7.30 cukup cocok bagi saya, karena saya masih bisa membeli sarapan dan membaca email pribadi atau membaca berita-berita sebelum mulai bekerja 100%.

Jakarta -- Kerja (Kos)

Saya juga pernah mencoba untuk kos di dekat kantor, karena waktu itu saya sangat capek untuk menghabiskan waktu 1.5 jam pagi hari dan 1.5 -- 2 jam di sore hari hanya untuk commute. 

Saya merasa masa muda saya terlalu berharga untuk dihabiskan di jalan. Dan banyak pekerjaan pribadi yang tidak bisa diurus karenanya. Dengan nge-kos di Jakarta, saya juga bisa cari pekerjaan sampingan, ya untuk tambah uang jajan harian. 

Tapi kadang tidak masuk akal juga, karena setiap weekend saya kembali ke Bekasi dan kos kosong. Tapi inilah hidup di ibu kota. 

Banyak kenalan saya, yang juga sudah berada di posisi mid-managerial, yang harus rela terpisah dari keluarga selama weekday karena rumah dan kantor berada di kota berbeda. Yup, Jakarta keras bung.

Untuk pengalaman commute saya di luar Indonesia, akan saya tulis di tulisan berikutnya. Tentunya, sangat berbeda dan menarik.

Intinya, memang benar commute time dapat mempengaruhi seseorang. Saya bisa katakana bahwa kebahagiaan saya di pekerjaan memang lebih meningkat saat saya tinggal kos di Jakarta daripada pulang-pergi Bekasi. 

Tetapi, itu karena saya masih single dan tentu saya tahu semuanya akan berbeda ketika kita punya keluarga. 

Yang saya bisa katakana adalah, selalu aware dengan pilihan-pilihan hidup kita, karena semuanya tentu ada pengaruh ke diri kita. 

Dan ketika kita sudah memilih sesuatu, jalanilah pilihan tersebut dan berusahalah untuk tetap menjadi contoh yang baik dimanapun kita berada. Kita bekerja untuk hidup bukan hidup untuk bekerja. Pada akhirnya, apakah kita menghidupi hidup yang hidup?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun