Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karya Menjadikan Ada

1 April 2016   13:07 Diperbarui: 2 April 2016   10:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Ketika sdr. ST. Sri Emyani menyuarakan kritik sosial dalam buku kumpulan geguritan “Ogal Agel Buntut Kebo” ini saya melihatnya laksana kelahiran kembali seorang Wiji Tukul, yang menuliskan kritik sosial dari ceruk rumah sempitnya dan dari minimnya penghasilan profesi tukang becak yang digelutinya. Sdr. ST Sri Emyani berbicara tentang terhempasnya serta harapan tentang kebudayaan Jawa dari kaca mata dirinya sendiri, seorang putra Purung-Panggul-Trenggalek yang ‘cedhak watu adoh ratu’ yang mana merasakan sendiri bagaimana kegetiran dan masih besarnya harapan terhadap kebudayaan Jawa kita.

     Kebersediaannya untuk masih terus menulis karya-karya mempergunakan bahasa Jawa merupakan perwujudan dari masih besarnya harapan tersebut. Jika kemudian usaha untuk menghadirkan harapan tersebut ke realitas berefek samping eksistensi diri, sekali lagi, itu bagi saya hanyalah efek samping semata dan bukanlah tujuan utama. 

Usaha yang telah dirajutnya sejak era tak-tik-tik mesin ketik dengan wesel pos menjadi salah satu ‘dampak’nya hingga era internet dewasa ini dengan surel serta nomor rekening menjadi ‘bumbu penyedapnya’nya. Tentu bukan waktu yang pendek, apalagi jika hanya dibandingkan dengan Tere Liye ataupun Raditya Dika. Hingga bagi saya pribadi, “Ogal-Agel Buntut Kebo” itu lebih adiluhung daripada “Hafalan Surat Delisa”nya Tere Liye ataupun “Marmut Merah Jambu’nya Raditya Dika. Karena ada kegelisahan mendalam yang menemani proses berpikirnya ST. Sri Emyani, sementara hanya ada kecerdasan menjadikan momentum sebagai komoditas pada Tere Liye dan ke’alay’an bertutur pada Raditya Dika.

     Menulis dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantarnya memang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, itu pula yang menjadi alasan saya menuliskan makalah pendek ini mempergunakan bahasa Indonesia. Membaca “Ogal Agel Buntut Kebo” serta hadir dalam acara bedah bukunya di Perpustakaan Kabupaten Mojokerto, 20 Maret 2016, akan menjadi gerbang untuk menginventarisasi kelebihan dan kekurangan tersebut.


********

 

makalah bedah buku “Ogal-Agel Buntut Kebo” karya ST Sri Emyani
TERMINAL SASTRA Ke-21 “3 Menguak Tanda”
Perpustakaan Kab. Mojokerto, 20-03-2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun