Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karya Menjadikan Ada

1 April 2016   13:07 Diperbarui: 2 April 2016   10:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Anjrah Lelono Broto

 

      ‘Aku menulis, maka aku ada’, nampaknya pelesetan dari ‘cogito ergo sum’-nya Rene Descartes (1596-1650) ini kiranya patut menggambarkan apa yang menjadi bahan bakar pendorong lahirnya karya-karya dari tangan-hati-logika seorang ST. Sri Emyani, termasuk yang sekarang berada di depan kita; antologi geguritan “Ogal Agel Buntut Kebo” (Sembilan Mutiara Publishing, 2015) ini. Walau, saya sendiri masih meyakini bahwa bukanlah eksistensi pribadi yang menjadi tujuan utama proses kreatifnya dalam dunia kepenulisan yang tak kalah berdarah-darahnya dengan dunia persilatan, mengingat selalu ada pengorbanan dalam setiap perjalanan proses kreatif. 

[/caption]

 [caption caption="Penulis, pembedah buku, moderator, Bpk Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kab. Mojokerto beserta segenap hadirin Terminal Sastra ke-21"

     Pun begitu, salah satu efek samping yang tidak boleh dianggap remeh dari proses kreatif di dunia kepenulisan adalah eksistensi pribadi sang penulisnya. Karena Suripan Sadi Hutomo pernah melakukan riset dan menulis tentang seni tradisi Kentrung secara ilmiah, beliau eksis sebagai “Profesor Kentrung”. Sama halnya dengan Chairil Anwar Si Binatang Jalang, Umar Khayam Sang Burung-Burung Manyar, ataupun Rendra dengan burung meraknya.

     Keyakinan saya bahwa lahirnya buku kumpulan geguritan “Ogal Agel Buntut Kebo” bukan karena semata eksistensi pribadi dikuatkan oleh pemilihan judul yang dilakukan sdr. ST Sri Emyani yang cenderung kurang menarik jika kemudian diidentikkan dengan dirinya sebagai penulis. Mengingat ‘kebo’ (Kerbau, bhs. Indonesia) adalah nama binatang, serta diikuti dengan pemaknaan yang telah kaprah bahwa ‘kebo’ merupakan binatang yang identik dengan karakter bodoh, dungu, lugu, diam saja menerima nasib, dan berlaksa lainnya, yang semuanya tidaklah ‘mboys’ atau ‘keren’

     Sebut saja, salah satu peribahasa dalam bahasa Indonesia; “seperti kerbau dicocok hidungnya”, “kerbau pulang kandang”, ataupun “kalau kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya. Juga tengok unen-unen seperti “kebo nyusu gudel”, “kebo kabotan sungu”, maupun “gela-gelo kaya kebo”. Peribahasa maupun unen-unen ini memberikan gambaran betapa ‘kebo’ merupakan simbol subordinasi dalam sistem kultur yang berlaku dalam masyarakat kita. ‘Kebo’ merupakan petanda kelas masyarakat yang lemah, terpinggirkan, tidak berdaya, dan cenderung teraniaya. Meski juga binatang, coba kita bandingkan dengan ‘macan’, ‘singa’, ‘sima’ ataupun yang sama-sama herbivora dan bertanduk seperti halnya ‘kebo’, yaitu ‘bantheng’. Superioritas justru seringkali disimbolkan oleh binatang-binatang ini.

     Sdr. Sumono Sandy Asmoro dalam pengantarnya juga menyinggung sedikit tentang diksi dalam judul buku antologi geguritan ini. ‘Buntut’ yang hanya bisa ‘ogal agel’ secara gamblang disebutnya sebagai gambaran konkret betapa mayoritas geguritan dalam buku ini menuturkan kritik-kritik sosial dari sudut pandang wong cilik. Geguritan “Raseksa Ngadeg Raja” menandaskan gambaran tersebut. Raksasa, tokoh antagonis dalam kisah-kisah pewayangan yang senantiasa dibariskan di sisi kiri dhalang, digambarkan mampu berdiri sebagai penguasa.

     Tersurat telah di dalamnya betapa sesuatu yang dibawa oleh gelombang modernisasi (ala Barat) hari ini meminggirkan segala sesuatu yang menjadi buah pikir putra-putra terbaik peradaban kita. Sehingga kesejatiandiri kita sebagai manusia Jawa-manusia Indonesia sekarang disamarkan oleh ombak dan buih gelombang modernisasi. Saya sendiri sekarang menyebutnya sebagai hilangnya sekat pembeda antara masyarakat kita dengan masyarakat Korea, Amerika, Eropa, bahkan akhir-akhir ini India dan Turki.

     Rendra, Taufik Ismail, Iwan Fals, N. Riantiarno, Putu Wijaya, (maaf, saya tidak menyebut Ratna Sarumpaet, karena bagi saya dia bukan seniman namun aktifis LSM yang mempergunakan karya seni sebagai corongnya) dan sekian banyak seniman negeri ini juga menyuarakan kritik sosial, namun mereka terdengar lantang karena mereka berada di Jakarta dan tidak berbicara sebagai objek yang termarjinalkan (baca ‘wong cilik’). Mereka berbicara sebagai pengamat, kritikus, dewa-dewi yang peduli, dan memandang realitas sosial sebagai komoditas kreatif seperti halnya acara “My Trip, My Adventure” yang memandang alam sebagai komoditas pariwisata bukan sebagai ibu, sahabat, bahkan kawan curhat sebagaimana Soe Hok Gie.

    Ketika sdr. ST. Sri Emyani menyuarakan kritik sosial dalam buku kumpulan geguritan “Ogal Agel Buntut Kebo” ini saya melihatnya laksana kelahiran kembali seorang Wiji Tukul, yang menuliskan kritik sosial dari ceruk rumah sempitnya dan dari minimnya penghasilan profesi tukang becak yang digelutinya. Sdr. ST Sri Emyani berbicara tentang terhempasnya serta harapan tentang kebudayaan Jawa dari kaca mata dirinya sendiri, seorang putra Purung-Panggul-Trenggalek yang ‘cedhak watu adoh ratu’ yang mana merasakan sendiri bagaimana kegetiran dan masih besarnya harapan terhadap kebudayaan Jawa kita.

     Kebersediaannya untuk masih terus menulis karya-karya mempergunakan bahasa Jawa merupakan perwujudan dari masih besarnya harapan tersebut. Jika kemudian usaha untuk menghadirkan harapan tersebut ke realitas berefek samping eksistensi diri, sekali lagi, itu bagi saya hanyalah efek samping semata dan bukanlah tujuan utama. 

Usaha yang telah dirajutnya sejak era tak-tik-tik mesin ketik dengan wesel pos menjadi salah satu ‘dampak’nya hingga era internet dewasa ini dengan surel serta nomor rekening menjadi ‘bumbu penyedapnya’nya. Tentu bukan waktu yang pendek, apalagi jika hanya dibandingkan dengan Tere Liye ataupun Raditya Dika. Hingga bagi saya pribadi, “Ogal-Agel Buntut Kebo” itu lebih adiluhung daripada “Hafalan Surat Delisa”nya Tere Liye ataupun “Marmut Merah Jambu’nya Raditya Dika. Karena ada kegelisahan mendalam yang menemani proses berpikirnya ST. Sri Emyani, sementara hanya ada kecerdasan menjadikan momentum sebagai komoditas pada Tere Liye dan ke’alay’an bertutur pada Raditya Dika.

     Menulis dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantarnya memang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, itu pula yang menjadi alasan saya menuliskan makalah pendek ini mempergunakan bahasa Indonesia. Membaca “Ogal Agel Buntut Kebo” serta hadir dalam acara bedah bukunya di Perpustakaan Kabupaten Mojokerto, 20 Maret 2016, akan menjadi gerbang untuk menginventarisasi kelebihan dan kekurangan tersebut.


********

 

makalah bedah buku “Ogal-Agel Buntut Kebo” karya ST Sri Emyani
TERMINAL SASTRA Ke-21 “3 Menguak Tanda”
Perpustakaan Kab. Mojokerto, 20-03-2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun