Darah Muda Darahnya Para Remaja
Yang Slalu Merasa Gagah Dan Tak Pernah Mau Mengalah….
(Darah Muda, Rhoma Irama)
Menyaksikan rangkaian demonstrasi menyambut genap 100 hari pemerintahan SBY jilid II 28 Januari 2010 kemarin, saya melihat fenomena yang kontradiktif. Kontras sekali antara pesan dan atribut yang digunakannya dengan kuantitas maupun kualitas demonstran itu sendiri. Tentu saja saya melihatnya dari perspektif wilayah Indonesia secara holistik. Jadi, parameter situasi dan kondisi demonstrasi di ibukota Jakarta terlalu lemah jika diposisikan sebagai parameter tunggal.
Kontradiktif tersebut dari cara serta mekanisme demonstrasi yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Berbeda dengan demonstrasi 'penghujatan penguasa' yang terjadi pada era '66 dan '98 dimana strategi, cara, koordinasi, maupun tema yang diangkat nampak sekali berada dalam satu kesesatuan suara. Maka dapat diprediksikan jauh-jauh hari kalau demonstrasi jelang 100 hari kemarin sepi dari efek serta tanggapan dari publik.
Mengingat umumnya demonstran adalah orang muda/generasi muda (anak-anak ingusan) maka satu pertanyaan yang mencuat ke permukaan ada apa dengan orang muda Indonesia? Mungkinkah mereka lebih senang mengalah sekarang? Kalaupun demonstrasi dan orang muda benar-benar identik dengan perubahan, apakah orang muda Indonesia sekarang tidak berhasrat lagi untuk melakukan perubahan?
Lalu dimanakah intelektual dan politikus muda Indonesia hari ini?
Pada prinsipnya, politik adalah suatu wahana untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik. Tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi dan persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan,” tulis Arendt Di dalam tradisi masyarakat Yunani, memaksa orang lewat kekerasan, kebiasaan mengomando ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara primitif dan tidak beradab. Vonis primitif dan tidak beradab ini disematkan di dada masyarakat yang hidup di luar polis. Kata politik, pada dasarnya menggambarkan suatu peri-kehidupan ideal yang diimpikan oleh masyarakat. Namun, kondisi saat ini, memposisikan politik (baik secara etimologis maupun individu yang bergerak di dalamnya) menjadi idiomatika yang ‘negatif’, berlumuran caci maki dan terkesan amoral. Mengingat paradoks tersebut, sebuah pertanyaan mencuat; ‘Ada apa dengan sejarah kehidupan politik kita?’
Apabila politik memiliki kdekatan makna dengan moral imperatives, maka perjuangan moral yang mewadahi kebenaran, keadilan dan rasio (meminjam kosakata Julien Benda). Seperti halnya perjuangan-perjuangan lainnya maka politik juga besinggungan dengan kekuasaan. Dan setiap bentuk kekuasaan, secara tak terhindarkan, memiliki dimensi dan esensi politik yang beraneka ragam. Realitasnya, moralitas bukanlah kualitas-kualitas ideal-abstrak yang bersifat transendental, melainkan sesuatu yang lebih nyata (worldly) yang harus diperjuangkan. Moralitas tidak hanya berhenti pada tataran habblum minnallah melainkan juga harus diimplementasikan secara langsung dengan sesame manusia (habblum minnanash). Meminjam ungkapan Foucault (1979: 46), “Truth is of the world; it is produced there by virtue of multiple constrains…Each society has its regime of truth, it is ‘general politics’ of truth…” Dengan kata lain, sekali klaim moralitas diperjuangkan, bahkan untuk tujuan-tujuan non-politik maka akan mengundang “pergulatan perebutan kekuasaan”. Oleh karena itu, tiada berlebihan apabila gerakan moral kemudian menjelma menjadi gerakan politik, yang tentu saja mengejar kekuasaan.
Meminjam kosakata Bastion Tito dalam Wiro Sableng, gerakan politik seyogyanya dipangil dengan sebutan ‘Hantu Muka Dua’. Hal ini dilatarbelakangi realitas bahwa gerakan politik bisa berbentuk partai politik, kepentingan kelompok (interest group), atau ‘gerakan sosial’ (social movement). Ekspresi wajah dan akting politik dari partai politik lebih menekankan pada aspek pembinaan dan monopoli sumber daya kekuasaan dengan dukungan sistem pengorganisasian yang terpusat dan hierarkhis. Sedangkan, kepentingan kelompok (interest group) lebih berorientasi pada upaya mempengaruhi kebijakan publik para pengambil keputusan (decision maker) melalui serangkaian pendekatan bilateral, kerjasama non-formal, maupun aksi-aksi di media massa. Sedangkan yang paling mengenaskan di Indonesia adalah gerakan sosial (social movement), dimana gerakan ini hanya beorientasi pada upaya memperjuangkan agenda-agenda sosial tertentu dengan cara-cara mobilisasi massa yang kurang terstruktur dengan artikulasi yang tidak baku dan cenderung insidental.
Generasi muda di Indonesia (semoga tidak termasuk politisi mudanya) lebih sering menunjukkan karakteristik sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Insidental, datang dan pergi, kemudian berlalu tanpa kejelasan dan kepastian. Dimana sekarang gerakan kaum muda yang ikut berperan menjungkirkan Rejim Orde Lama, gerakan yang di buku sejarah anak-anak kita di sekolah menengah pertama disebut sebagai Angkatan 66 ini sekarang malih rupa menjadi politikus-politikus tua yang melupakan esensi perjuangan gerakannya dulu. Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Bustanul Arifin, dll mengalami degradasi penghayatan pada perjuangannya di tahun 1960-an dulu. Hal yang sama juga terjadi pada generasi muda pengguling Rejim Orde Baru, sekarang mereka tercerai-berai berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik yang tanpa membawa esensi dan semangat perjuangannya dulu. Budiman Sudjatmiko, Yenni Rosa Damayanti, serta aktifis-aktifis korban penculikan Tim Mawar Kopassus yang sekarang malah bergabung dengan Gerindra, adalah perwajahan ‘gerakan sosial’ kaum muda Indonesia; insidental, kurang terstruktur, dan minim kebakuan artikulasi.
Menurut Donatella della Porta dan Mario Diani (1999), karakteristik ‘gerakan sosial’, menyangkut empat hal, yakni : Pertama, aksi bersamanya merupakan hasil dari jaringan interaksi informal yang melibatkan keragaman individu, kelompok dan atau organisasi. Suatu jaringan yang sanggup mempromosikan kerangka interpretasi (systems of meaning) beserta segala sumber daya yang ada bagi sebuah aksi bersama. Kedua, adanya solidaritas dan keyakinan yang sama sebagai sumber dari kehendak dan identitas bersama. Ketiga, gerakan sosial menceburkan diri pada situasi konflik, baik konflik sosial, politik, ekonomi, kultural, bahkan kadang terlibat dalam konflik berbau anarkhis. Keempat, gerakan sosial mengadopsi pola-pola ekspresi politik yang tidak lazim (unusual approach). Berbeda dari ekspresi partai politik yang terstruktur, serta artikulasi kolektif ‘gerakan sosial’ kaya akan improvisasi bahkan melampaui batas-batas konvensional. Adu muktamar di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Muhaimin dan Gus Dur, adalah contoh konkret gerakan sosial yang diadopsi dalam gerakan partai politik. Duel paman dan keponakan yang diramaikan oleh sepupu serta handai tolan dan berimbas pada massa partai di akar rumput.
Berdasarkan studi Eyerman dan Jamesson (1991:56) ditemukan pola perkembangan gerakan sosial sebagai berikut : (a) Gerakan sosial tumbuh melalui semacam siklus hidup (life cycle), dari tahap persiapan (gestation), disusul oleh tahap pembentukan (formation), menuju tahap konsolidasi (consolidation). Gerakan sosial jarang muncul secara spontan; tetapi tetap memerlukan rentang waktu persiapan. (b) Tidak ada gerakan sosial yang berhasil tanpa tersedianya ‘kesempatan politik’ (political opportunity). Konteks ketidaktertampungan masalah-masalah sosial serta konteks miskomunikasi yang membuka kemungkinan bagi artikulasi masalah dan penyebarluasan gagasan adalah ‘kesempatan politik’ yang renyah dan gurih bagi gerakan sosial. (c) Gerakan sosial tidak dapat hadir hingga adanya individu-individu yang siap ambil bagian di dalamnya, bersedia mentransformasikan masalah pribadi menjadi masalah publik, serta mau terlibat dalam proses pembentukan identitas kolektif. Mungkin, pola gerakan sosial yang ketiga ini yang sedang dilakukan Muhaimin Iskandar dan Gus Dur dalam intrik politik PKB.
Apabila kita arif memahami tetapan teoritis di atas, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Di dalam ‘gerakan sosial’, aktor dengan beragam latar belakang, identitas, maupun orientasi, bersedia berbagi sistem keyakinan dan kehendak bersama melampaui sekat-sekat keyakinan bahkan kepentingan masing-masing -baik secara pribadi, kelompok, juga organisasi- namun tetap mempertahankan perbedaan dan kekhasan perilaku kultural masing-masing. Dengan kata lain, partisipasi dan otonomi merupakan hal yang esensial dari keberlangsungan gerakan sosial. Salah satu karakteristiknya adalah perasaan terlibat (handarbeni, hangrungkebi, serta hangrasa wani) dalam proyek bersama, tanpa melebur menjadi bagian dari suatu organisasi secara terstruktur. Pengadaan kartu anggota dan pemahaman Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) menjadi konsumsi yang tidak layak dinikmati karena bersifat administratif semata. Suatu gerakan sosial akan musna diterpa angin laksana impian anak dalam Blossom In The Wind manakala ada pemusatan suara, atau dominasi salah satu komponen yang melakukan pembunuhan keragaman artikulasi dalam gerakan sosial. Gerakan nasionalisme Bung Karno menemui kebuntuan saat publik yang terlanjur mengamini menemui fakta bahwa Bung Karno membangun kultus individual dengan penobatan diri sebagai presiden seumur hidup.
Pentingnya ketersediaan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), studi della Porta dan Diani (1999) menunjukkan perlunya kerjasama strategis antara aksi dan aktor gerakan sosial dengan aktor-aktor kelembagaan politik formal. Lebih lanjut dikatakan, keberhasilan suatu gerakan sosial ada kaitannya dengan faktor-faktor ketersediaan aliansi yang berpengaruh pada toleransi bagi protes di kalangan elit, derajat keterbukaan atau ketertutupan akses politik formal, derajat stabilitas atau instabilitas aliansi politik, ketersediaan potensi kerjasama strategis, serta konflik politik di antara dan di dalam elit partai politik. Kebutuhan untuk mencari struktur kesempatan politik inilah yang meluluhlantakkan gerakan sosial itu sendiri. Amien Rais dikenal masyarakat sebagai tokoh Gerakan Reformasi. Ketika Amien Rais meleburkan diri dalam Partai Amanat Nasional (PAN) dan membangun toleransi dengan kalangan elit partai-partai politik maka tanggul gerakan sosial yang diusungnya jebol oleh kepentingan-kepentingan politik partai. Kita diberi prerogatif penuh untuk menilai; Apakah Gerakan Reformasi sebagai gerakan sosial sudah menemui keberhasilan atau belum? Silahkan untuk untuk memberikan penilaian?
Di dalam konteks masyarakat plural yang ditandai oleh kelangkaan ‘kehendak bersama’ (common will), tentu saja ada banyak sistem keyakinan, sistem identitas dan multiple-aliansi, yang menyediakan lahan subur bagi kemungkinan terjadinya polarisasi (antar ‘gugus identitas’) maupun fragmentasi (di dalam suatu ‘gugus identitas’) gerakan sosial. Dalam konteks Indonesia, keterpecahan dan bentrokan identitas itu diperparah oleh ketidakhadiran negara sebagai The Essential Outsider yang mampu mengambil jarak yang sama terhadap semua gugus identitas. Problem mendasar dari politik Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan negara pasca-kolonial yang tidak tegak atas dasar prinsip-prinsip supremasi hukum, serta tidak sanggup memberikan perlindungan keamanan dan keadilan bagi segenap elemen kebangsaan dan seluruh tumpah darah Indonesia. Di dalam ketidakpastian hukum, perlindunan keamanan dan keadilan, masyarakat lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (paguyuban komunal berbau premanisme) ketimbang warga negara (citizen). Dalam lemahnya formasi kewarga-negaraan (citizenship), gerakan kaum muda pun terjebak ke dalam bentrokan identitas seperti dialami oleh para intelektual terdahulu. Di Jakarta, masyarakat merasa nyaman berlindung di bawah bendera Front Betawi Rempug (FBR), Front Pembela Islam (FPI), dll.
Edward Shils (1972) mengatakan bahwa: “Meskipun intelektual di negara-negara pasca kolonial telah memiliki ide kebangsaan di dalam negerinya sendiri, mereka toh belum berhasil menciptakan sebuah bangsa. Malahan, mereka menjadi korban idenya sendiri, ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewarga-negaraan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan rasa pertautan dengan orang-orang lain yang sama-sama membentuk bangsa. Hal ini juga memerlukan rasa kemitraan, dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, melunakkan dan menyerahkannya secara toleran terhadap tertib sipil, menganggap hal itu sebagai kurang signifikan ketimbang kepentingan komunitas bangsa secara keseluruhan. Dalam kehidupan politik, watak serupa itu membentuk apa yang disebut sebagai ‘kebajikan sivilitas’ (the virtue of civility).” Sayang sekali, kebajikan seperti itu bukan merupakan gambaran umum dari kaum intelektual-politik di Indonesia. Yang berkembang di Indonesia adalah suatu kecenderungan ‘padat politisasi’ (intense politicization) yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah suatu masyarakat politik (polity). Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan dan dipisahkan oleh sekat dan jurang yang terjal.
Dalam kecenderungan masyarakat untuk melakukan proses pengalihan terhadap identitas yang berbeda dan melebur bersama mempertautkan beragam corak simponi gugus identitas ke dalam satu barisan, hanya dimungkinkan jika terdapat musuh bersama (common enemy) dan adanya pola kepemimpinan moral dan intelektual (hegemony) yang berkualitas. Jika terbentuknya hegemoni merupakan respon serempak atas suatu krisis sosial yang akut, sebagai akibat “retaknya lingkungan sosial serta meruyaknya ketidakpastian di dalam suatu situasi sejarah yang genting” (the fracture of the social sphere and the irruption of contingency within category of ‘historical necessity), maka gerakan sosial merupakan gerakan politik yang tumbuh subur di masa krisis, seperti Indonesia saat ini. Idiomatika ‘krisis’ yang dimaksud dalam tulisan ini mengacu pada paradigma yang digunakan Gramsci (1971:267), yaitu suatu situasi dan kondidi ketika “yang lama tengah sekarat, dan yang baru tak kunjung lahir”. Dalam anomali situasi dan kondisi seperti inilah, aksi kolektif yang tidak terstruktur menjadi tumpuan harapan bagi aksi dan solidaritas kolektif. Kehadiran suatu gerakan sosial dalam konteks ini memiliki dua makna, yaitu: Pertama, merefleksikan ketidakmampuan institusi sosial dan mekanisme kontrol sosial dalam mereproduksi kohesi dan koherensi sosial; Kedua, mencerminkan usaha masyarakat untuk bereaksi terhadap situasi-situasi krisis melalui penumbuhkembangan keyakinan dan identitas bersama sebagai landasan solidaritas kolektif.
Peran gerakan sosial pada umumnya cenderung mengalami kemunduran seiring dengan makin berfungsinya kelembagaan politik formal. Fenomena politik di Negara-negara Amerika Latin dalam melewati masa transisi menuju demokratisasi, menunjukkan melemahnya progresivitas gerakan sosial ketika partai-partai politik dan kelembagaan negara lainnya mampu mengambil alih agenda demokratisasi. Apakah gegap-gempita aksi mahasiswa Indonesia masih akan memberikan warna dalam perpolitikan nasional, karena institusi politik formal tidak menunjukkan kesungguhan apalagi kesanggupan untuk memperjuangkan agenda-agenda reformasi? Apakah kaum muda harus berguru kepada ulama-ulama dengan meleburkan diri dalam tubuh institusi politik formal guna memperjuangkan kemaslahatan Indonesia?
Ataukah kita harus menunggu lebih lama lagi hadirnya generasi perubahan di Indonesia?
***********
Catatan singkat untuk anak-anak yang tengah belajar di Lembaga Baca-Tulis Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H