Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menunggu Generasi Perubahan

29 Januari 2010   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Darah Muda Darahnya Para Remaja

Yang Slalu Merasa Gagah Dan Tak Pernah Mau Mengalah….

(Darah Muda, Rhoma Irama)

Menyaksikan rangkaian demonstrasi menyambut genap 100 hari pemerintahan SBY jilid II 28 Januari 2010 kemarin, saya melihat fenomena yang kontradiktif. Kontras sekali antara pesan dan atribut yang digunakannya dengan kuantitas maupun kualitas demonstran itu sendiri. Tentu saja saya melihatnya dari perspektif wilayah Indonesia secara holistik. Jadi, parameter situasi dan kondisi demonstrasi di ibukota Jakarta terlalu lemah jika diposisikan sebagai parameter tunggal.

Kontradiktif tersebut dari cara serta mekanisme demonstrasi yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Berbeda dengan demonstrasi 'penghujatan penguasa' yang terjadi pada era '66 dan '98 dimana strategi, cara, koordinasi, maupun tema yang diangkat nampak sekali berada dalam satu kesesatuan suara. Maka dapat diprediksikan jauh-jauh hari kalau demonstrasi jelang 100 hari kemarin sepi dari efek serta tanggapan dari publik.

Mengingat umumnya demonstran adalah orang muda/generasi muda (anak-anak ingusan) maka satu pertanyaan yang mencuat ke permukaan ada apa dengan orang muda Indonesia? Mungkinkah mereka lebih senang mengalah sekarang? Kalaupun demonstrasi dan orang muda benar-benar identik dengan perubahan, apakah orang muda Indonesia sekarang tidak berhasrat lagi untuk melakukan perubahan?

Lalu dimanakah intelektual dan politikus muda Indonesia hari ini?

Pada prinsipnya, politik adalah suatu wahana untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik. Tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi dan persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan,” tulis Arendt Di dalam tradisi masyarakat Yunani, memaksa orang lewat kekerasan, kebiasaan mengomando ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara primitif dan tidak beradab. Vonis primitif dan tidak beradab ini disematkan di dada masyarakat yang hidup di luar polis. Kata politik, pada dasarnya menggambarkan suatu peri-kehidupan ideal yang diimpikan oleh masyarakat. Namun, kondisi saat ini, memposisikan politik (baik secara etimologis maupun individu yang bergerak di dalamnya) menjadi idiomatika yang ‘negatif’, berlumuran caci maki dan terkesan amoral. Mengingat paradoks tersebut, sebuah pertanyaan mencuat; ‘Ada apa dengan sejarah kehidupan politik kita?’

Apabila politik memiliki kdekatan makna dengan moral imperatives, maka perjuangan moral yang mewadahi kebenaran, keadilan dan rasio (meminjam kosakata Julien Benda). Seperti halnya perjuangan-perjuangan lainnya maka politik juga besinggungan dengan kekuasaan. Dan setiap bentuk kekuasaan, secara tak terhindarkan, memiliki dimensi dan esensi politik yang beraneka ragam. Realitasnya, moralitas bukanlah kualitas-kualitas ideal-abstrak yang bersifat transendental, melainkan sesuatu yang lebih nyata (worldly) yang harus diperjuangkan. Moralitas tidak hanya berhenti pada tataran habblum minnallah melainkan juga harus diimplementasikan secara langsung dengan sesame manusia (habblum minnanash). Meminjam ungkapan Foucault (1979: 46), “Truth is of the world; it is produced there by virtue of multiple constrains…Each society has its regime of truth, it is ‘general politics’ of truth…” Dengan kata lain, sekali klaim moralitas diperjuangkan, bahkan untuk tujuan-tujuan non-politik maka akan mengundang “pergulatan perebutan kekuasaan”. Oleh karena itu, tiada berlebihan apabila gerakan moral kemudian menjelma menjadi gerakan politik, yang tentu saja mengejar kekuasaan.

Meminjam kosakata Bastion Tito dalam Wiro Sableng, gerakan politik seyogyanya dipangil dengan sebutan ‘Hantu Muka Dua’. Hal ini dilatarbelakangi realitas bahwa gerakan politik bisa berbentuk partai politik, kepentingan kelompok (interest group), atau ‘gerakan sosial’ (social movement). Ekspresi wajah dan akting politik dari partai politik lebih menekankan pada aspek pembinaan dan monopoli sumber daya kekuasaan dengan dukungan sistem pengorganisasian yang terpusat dan hierarkhis. Sedangkan, kepentingan kelompok (interest group) lebih berorientasi pada upaya mempengaruhi kebijakan publik para pengambil keputusan (decision maker) melalui serangkaian pendekatan bilateral, kerjasama non-formal, maupun aksi-aksi di media massa. Sedangkan yang paling mengenaskan di Indonesia adalah gerakan sosial (social movement), dimana gerakan ini hanya beorientasi pada upaya memperjuangkan agenda-agenda sosial tertentu dengan cara-cara mobilisasi massa yang kurang terstruktur dengan artikulasi yang tidak baku dan cenderung insidental.

Generasi muda di Indonesia (semoga tidak termasuk politisi mudanya) lebih sering menunjukkan karakteristik sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Insidental, datang dan pergi, kemudian berlalu tanpa kejelasan dan kepastian. Dimana sekarang gerakan kaum muda yang ikut berperan menjungkirkan Rejim Orde Lama, gerakan yang di buku sejarah anak-anak kita di sekolah menengah pertama disebut sebagai Angkatan 66 ini sekarang malih rupa menjadi politikus-politikus tua yang melupakan esensi perjuangan gerakannya dulu. Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Bustanul Arifin, dll mengalami degradasi penghayatan pada perjuangannya di tahun 1960-an dulu. Hal yang sama juga terjadi pada generasi muda pengguling Rejim Orde Baru, sekarang mereka tercerai-berai berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik yang tanpa membawa esensi dan semangat perjuangannya dulu. Budiman Sudjatmiko, Yenni Rosa Damayanti, serta aktifis-aktifis korban penculikan Tim Mawar Kopassus yang sekarang malah bergabung dengan Gerindra, adalah perwajahan ‘gerakan sosial’ kaum muda Indonesia; insidental, kurang terstruktur, dan minim kebakuan artikulasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun