Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rendra dalam Kereta Kencana

11 November 2009   01:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Puisi-puisinya yang berbau politik, seperti dalam antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi”, memang terkesan lugas dan memerahkan telinga penguasa. Begitu juga penampilan terakhirnya dalam deklarasi pencalonan pasangan Mega-Pro di Bantar Gebang beberapa waktu lalu, memang terkesan memihak salah satu kelompok dan menyerang kelompok lain. Akan tetapi, apabila ditelaah secara arif, ada elemen lain yang sejatinya lebih menyentuh kedalaman, yaitu yang membangkitkan daya hidup.

Seperti halnya pamflet dan selebaran Jhon Dryden di Inggris pada pertengahan abad ke-17 yang meskipun sarat dengan kata-kata yang keras dan lugas, estetika sastra yang ada di dalamnya tetap terasa. Letak keindahan karya-karya Rendra justru terletak pada kelugasan, ketegasan, dan kejelasan pesan. Kalaupun ada yang sakit hati dengan kata-kata yang disampaikan Rendra maka dengan sendirinya yang bersangkutan telah membuat pengakuan bahwa dirinyalah yang sedang menjadi objek imajinasi karya-karya Rendra.

Dalam karya-karyanya, Rendra acapkali membanggakan dirinya sebagai pencipta kepastian (Danarto, 2001). Sebagai seniman, Rendra sadar bahwa kebutuhan mendesak masyarakat Indonesia adalah kepastian. Tapi, dalam karya-karyanya secara lugas rasa herannya menyaksikan pemimpin, pemuka agama, maupun elemen masyarakat lain yang juga memegang kanal informasi justru cenderung menciptakan ketidakpastian-ketidakpastian. Melalui “Kereta Kencana” karya Eugene Ionescou, Rendra mampu menerangkannya tanpa muslihat. Kepastian terungkap dengan jelas, tanpa penonton merasa tertipu. Ia mengungkapkan hal-hal yang kedengarannya asing tapi sebenarnya itulah yang senantiasa terjadi di lingkungan kita, dari waktu ke waktu.

Sepotong sajak tentang ronin di atas yang tidak pernah didokumentasikan, kecuali oleh Danarto, telah secara gamblang menampilkan sosok Si Burung Merak, seniman besar Indonesia yang merdeka yang tetap setia mengunjungi masyarakat Indonesia, mengabarkan kemerdekaan berpikir, berkehendak, dan melakukan segala sesuatu. Namun, di detik-detik menjelang ke-64 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, sang ronin harus mengakhiri pengembaraannya, dalam kereta kencana, dirinya pasrah menemui kemerdekaan sejati bersama Sang Majikan (Tuhan).

Selamat Jalan Si Burung Merak.

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun