Dalam sejarah penampilan pertamanya di panggung teater bersama Umar Kayam, mementaskan repertoar “Hanya Satu Kali” karya Jhon Galsworthy, Rendra mengatakan, “Wah saya malu. Ada hal-hal yang tidak mengenakkan saya, pertama, make-up itu dan menjadi orang lain itu. Kedua, layar yang harus dibuka dan ditutup itu.” (Rendra Berkisah Tentang Teaternya, 1983). Dari tulisannya ini kita semua dapat memahami bahwa pada dasarnya Rendra juga awam dengan dunia teater berikut madzab keseniannya seperti yang dicanangkan Antonin Artaud, Stanilavsky, Bertolt Brecht, maupun Grotowsky. selayaknya kesejatian berkesenian dan berkebudyaan, Rendra menggagas kebaruan, menjauhi tradisi make-up, menjadi orang lain, maupun naik-turunnya layar. Bahkan dengan bangga, dalam beberapa repetoar yang digelarnya, Rendra bersuka hati menjadi dirinya sendiri dan menampilkan bot-repote penataan properti yang sebelumnya tabu menjadi materi tontonan.
Dalam tulisannya tersebut Rendra juga mengatakan, “Teater modern tidak punya kekuatan ekonomi dan tidak punya tempat sosial yang jelas. Jadi ini harus dicapai, kita harus punya kekuatan ekonomis. Sumber dana harus datang dari kita sendiri. Karena itu, kami menolak subsidi”. Posisi kesenian teater yang terpinggirkan karena dominasi kesenian yang berorientasi pasar menyebabkan seorang seniman teater kurang mendapatkan income yang layak dari ranah yang digelutinya. Bahkan untuk biaya produksinya saja terkadang harus merogoh kocek pribadi dan atau mengharapkan donasi pihak-pihak tertentu yang terkadang menitipkan sesuatu. Pernyataan Rendra di atas memang cenderung nampak sebagai tantangan kepada semua elemen, termasuk dirinya sendiri, untuk menjalankan kredo berkesenian dan berkebudayaan yang independent, seni untuk seni.
Tanpa pretensi untuk mendiskreditkan kelompok teater lain, dalam salah satu sajaknya, Rendra secara lantang mengatakan “Kita menolak menjadi koma,”. Hal ini mengukuhkan dirinya sebagai seniman yang no regret and no return untuk melakukan kerja seni dan menghasilkan karya-karya yang independen dan berwibawa.
Kebaruan yang digagas oleh Rendra sangat menonjol ketika dirinya memperkenalkan konsep drama mini-kata, yang miskin dialog, menonjolkan aspek gerak, dan cenderung memberi ruang bagi beragam intrepretasi penontonnya. Namun, sebagaimana lazimnya kebaruan, segala sesuatu yang tidak sejalan dengan kemapanan tradisi cenderung ditanggapi secara negatif. Almarhum Trisno Sumardjo pun meragukannya sebagai sebuah teater. Repertoar “Bip-Bop” oleh beberapa mahasiswa psikologi UI dianggap sebagai permainan orang gendheng, bahkan di Yogyakarta disambut dengan lemparan-lemparan batu.
Ironis memang, tanggapan keras berupa lemparan batu tersebut muncul dari kalangan masyarakat Yogyakarta yang pernah menjadi habitat proses kreatifnya dan identik sebagai kota pelajar (kaum intelektual) dan kota priyayi. Namun, Rendra menanggapi fenomena tersebut lebih sebagai aksi brutal yang tidak berpijak pada pandangan estetika kesenian, melainkan moralitas semata. Bagi Rendra, hal itu hanya reaksi khas masyarakat agraris, feodalistis, dan konservatif, yang enggan menemui perubahan (kebaruan).
Dalam sejarah seni avant-garde, tanggapan negatif yang mengikuti kemunculan sesuatu yang baru adalah lumrah. Sebab, sesungguhnya, teater avant-garde membawa serta dalam dirinya semangat menantang seluruh masyarakat (Bakdi Soemanto, 2000). Namun, menghadapi tentangan semacam ini Rendra tidak tidaklah surut. Ia bahkan menantang mereka berdiskusi. Kita semua menyadari bahwa keberanian Rendra ini bertolak pada pemikiran bahwa konsep yang lahir dari pergulatan intens harus diperjuangkan.
Almarhum Wahyu Sihombing ketika mengkritisi repertoar Rendra yang berjudul “Hamlet” mengatakan, “WS Rendra telah membuka kartunya: mengada atau tidak mengada itulah soalnya. Dari sini Rendra berangkat memanggungkan ‘Hamlet’. Kemudian, dalam percakapan singkat di depan siswa-siswa LPKD baru-baru ini, Rendra menjelaskan lagi, dari soliluqui tokoh Hamlet ini ia melihat persoalan manusia yang abadi: kelemahan, kefanaan, dan usaha manusia bertanya.” (Hamlet = Rendra, 1969).
Sebagai manusia cerdas, Rendra senantiasa mengajak orang lain untuk bertanya dan mempertanyakan kembali. Alfons Taryadi menyebutnya sebagai ‘questioning’. Padahal apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata ‘questioning’ sangat dekat pengertiannya dengan ‘menggugat’. Menggugat adalah sebuah roh berkesenian dan berkebudayaan yang diusung oleh Si Burung Merak ini. Seperti halnya dalam repertoar “Kaum Urakan” yang digelar di Pantai Parangtritis Yogyakarta, Rendra menggugat kemapanan yang menjadikan manusia bermetamorfosis menjadi individu yang mlempem.
Dengan mempertanyakan kembali dan menggugat, Rendra menantang. Termasuk menantang dirinya sendiri. Hal ini membuat kekuatan karya-karya teaternya bertumpu pada kondisi tragis manusia. Setiap kali manusia berhadapan dengan pola-pola kebudayaan dan tradisi, bahkan nasib yang dituliskan-Nya, mereka cenderung untuk terpaku dalam ketidakberterimaan, mempertanyakan, bahkan menggugat. Ketika Rendra mempertanyakan nasib, mengapa manusia harus hidup, melakoni sesuatu, kemudian mati, Rendra tengah berefleksi layaknya seorang filsuf.
Lalu mengapa Rendra yang hanya mempertanyakan kembali segala sesuatu dalam kehidupan harus masuk daftar hitam pemerintahan Orde Baru?
Rendra dianggap memiliki komitmen yang kuat kepada politik, repertoarnya yang berjudul “Perjuangan Suku Naga” dianggap pemerintah Orde Baru sebagai bentuk aksi seni yang dapat mengundang ‘kegelisahan’ masyarakat. Padahal menurut Alfons Taryadi (1994:157), dalam “Perjuangan Suku Naga”, Rendra tidak ingin menampilkan permainan kekuasaan berikut segala intrik yang ada di dalamnya. Namun Rendra lebih memandangnya dari perspektif disharmoni kehidupan, keterbelengguan kemerdekaan dalam dimensi kebudayaan.