Tak Terpungkiri
Ramainya apresiasi publik terhadap penahanan dua petinggi KPK, Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dengan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Polri, sebenarnya sangat logis terjadi. Mengingat unsur penyalahgunaan wewenang yang dituduhkan Polri pada mereka dilakukan ketika KPK tengah sibuk melakukan penyelidikan kasus Bank Century. Lolosnya tersangka kasus tersebut, Anggoro Widjoyo, beberapa jam sebelum jatuhnya putusan MK menyisakan syak wasangka publik yang telah lama menjelma menjadi distrust society terutama menyikapi penanganan hukum di Indonesia. Dalam penyelidikannya KPK melakukan penyadapan tersembunyi pada beberapa petinggi Polri, MA, MK, dan Kejaksaan Agung yang diduga terkait dalam kasus Bank Century. Pada momentum inilah, Polri menilai bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan aksi sadap-menyadap pejabat-pejabat negara.
Tentang penilaian pihak mana yang benar dan yang salah tentu menjadi sebuah PR tersendiri, tetapi mengapa dua petinggi KPK tersebut ‘buru-buru’ dijebloskan ke dalam bilik tahanan Mabes Polri?
Beberapa petinggi KPK lainnya maupun tokoh-tokoh nasional pun bertandang ke Mabes Polri menjenguk dua orang teraniaya tersebut. Herannya mereka mendapatkan larangan dari Polri dengan dalih tidak melewati prosedur yang berlaku. Bahkan permohonan penangguhan penahanan dari tim pengacara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun tidak mendapatkan tanggapan serius dari Polri. Hingga 27 lebih tokoh nasional secara sukarela menjaminkan dirinya agar penangguhan penahanan tersebut dikabulkan. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantipres) Bidang Hukum, Todung Mula Lubis Ketua Dewan Pengurus Transparancy International on Indonesia (TII), mantan presiden RI Gus Dur, mantan petinggi KPK Erry Riyana Harjapamekas, dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi.
Apresiasi yang tinggi dari publik menyikapi fenomena penahanan dua petinggi lembaga yang diidentikkan dengan binatang cicak ini pun terus mengalir dari seluruh penjuru tanah air. Beberapa kelompok mahasiswa mengadakan aksi mogok makan di depan gedung KPK sebagai bentuk dukungan moril. Sedangkan, di daerah masing-masing, mahasiswa juga melakukan aksi-aksi senada sebagai bentuk tuntutan agar presiden sebagai representasi pemerintah mengambil tindakan tegas dalam konflik cicak vs buaya ini. Bahkan “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Rianto” yang memanfaatkan jejaring Facebook pun sudah mendapatkan confirm lebih dari 300 ribuan. Satu hal yang membanggakan adalah mayoritas facebookers yang memberikan confirm adalah pejabat pemerintah dan anggota DPR/DPRD yang baru dilantik beberapa hari yang lalu.
Apresiasi publik yang bisa jadi dianggap ‘berlebihan’ oleh beberapa pihak ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh karena Presiden SBY telah beberapa kali memanggil kapolri ke istana negara. Pasca pemanggilan, biasanya kapolri kemudian menggelar jumpa pers dan melaunching statemen terbaru tentang kasus penahanan dua petinggi KPK ini. Bahkan, presiden juga mendadak memanggil Adnan Buyung Nasution, Anies Baswedan, Todung Mulya Lubis, Komaruddin Hidayat, Teten Masduki, Hikmahanto Juwana, serta beberapa anggota Wantipres yang lain. Pasca pertemuan dengan tokoh-tokoh tersebut, Presiden meluncurkan lokomotif bernama Tim Pencari Fakta (TPF) KPK.
Bukankah ini salah satu gejala kebelingsatan yang tak terpungkiri presiden terhadap adanya sinyalemen people power?
Hikmahanto Juwana, Mantan Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007-2011 dan Guru Besar Fakultas Hukum UI, sebelum bertemu dengan Presiden SBY mengatakan bahwa pernyataan Presiden SBY terkait penahanan Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto tidak mampu menyurutkan dukungan masyarakat terhadap keduanya. Begitu juga dengan pledoi Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, mengenai tindakan kepolisian tidak membuat publik puas, bahkan justru mereka meraih lebih banyak dukungan. Masyarakat telah menjadikan keduanya sebagai simbol. Presiden SBY harus mewaspadai gejala dukungan rakyat berubah menjadi kekuatan rakyat (Media Indonesia, 31/10/09).
Lokomotif TPF KPK
Aksi sukarela beberapa tokoh nasional untuk menjaminkan dirinya agar penahanan kedua petinggi KPK ini ditangguhkan, pasca pertemuan, dijawab presiden dengan merekrut mereka dalam lokomotif TPF KPK. Lokomotif yang berkantor di Menkopohukam ini terkesan sebagai upaya menutup mulut mereka agar tidak merapatkan barisan dengan masyarakat di bundaran HI ataupun tempat-tempat yang lain menuntut ketegasan pemerintah dalam penyeleseian kasus ini.
Catatan penegakan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa pembentukan TPF merupakan antiklimaks dan semata retorika untuk membentuk opini atau pencitraan. Apalagi presiden SBY memang secara pribadi dikenal publik sangat piawai dalam memainkan politik pencitraan. Benar dan tidaknya kalau TPF KPK semata dibentuk sebagai piranti penutup mulut serta bagian dari devide et impera tokoh-tokoh nasional dengan masyarakat tentu akan segera terjawab dalam target dua minggu yang diberikan sebagai tenggat pada lokomotif bentukan presiden ini. Dus, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto harus menikmati dua minggu lagi menginap dalam bilik tahanan Mabes Polri.