Oleh : Anjrah Lelono Broto*)
‘Cicak’ dan ‘Buaya’ mendadak menjadi istilah yang kerap dilontarkan oleh media massa dalam kemasan pemberitaan menyoal konflik di antara dua lembaga pemerintah, Polri dan KPK. Tingginya frekuensi penggunaan dua istilah yang secara literer mengacu pada hewan melata satu genus beda habitat ini hingga membuat Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, meminta agar media massa mengurangi aksi pengidentikkan Polri sebagai ‘Buaya’ dan KPK sebagai ‘Cicak’. Padahal, publik tidak melupakan sejarah bahwa aksi pengidentikkan Polri dan KPK sebagai ‘Buaya’ dan ‘Cicak’ diawali oleh petinggi Polri sendiri yaitu Susno Duaji.
Lalu mengapa interaksi komunikasi massa menggunakan dua istilah ini begitu hangat? Apakah karena dua hewan yang menjadi induk aksi pengidentikkan tergolong sebagai hewan berdarah panas? Ataukah karena akar konflik di antara dua institusi ini begitu kontroversial? Bahkan, ada sinyalemen bahwa apabila Presiden sebagai representasi pemerintahan tidak segera mengambil langkah tegas dalam penanganan konflik ini maka Indonesia akan mengulang sejarah ‘People Power’, sebagaimana tahun 1998.
People Power
Ramainya apresiasi publik terhadap fenomena penahanan dua petinggi KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, oleh Polri dengan dugaan penyalahgunaan wewenang tertuang dalam beragam bahasa dan media. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan banyak kemudahan bagi publik untuk menuangkan pendapat, gagasan, ataupun kekecewaan terhadap fenomena apa saja. Ketika penahanan dua tokoh KPK yang sejak awal mengundang kontroversi (karena bersifat tumpang-tindih antar lembaga negara berikut segala kewenangan yang ada), publik pun berapresiasi. Dari tulisan opini di media cetak dan online, celoteh dan comment di dinding Facebook, Twitter, Friendster, Yahoo Mesenger, Blackberry Mesenger, hingga obrolan warung kopi dari Sabang sampai Merauke. Bagai bola salju, apresiasi tersebut menggelinding dan menggunung hingga hari ini menjadi sebuah bom berdaya ledak tinggi yang ledakannya bisa jadi berupa people power yang mampu memporak-porandakan tatanan struktur pemerintahan yang telah ‘mapan’.
People power merupakan aksi massa riil revolusioner menumbangkan kekuasaan yang dianggap sebagai tiran (Neil Smelser, 2001). Sejarah Indonesia mencatat ada dua jilid gerakan people power untuk menumbangkan pemerintah yang sedang berkuasa. Pertama adalah penggulingan Presiden Soekarno yang mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sedangkan, jilid keduanya adalah penggulingan Presiden Soeharto yang menata mekanisme pemilihan umum agar memilihnya menjadi presiden seumur hidup.
Sebuah evolusi maupun revolusi bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran generasi muda. Begitu pula dengan riuh-rendah apresiasi publik menyikapi fenomena penahanan Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang secara gamblang merupakan bagian dari skenario melemahkan KPK. Ketika Sang Ketua, Antasari Azhar, dinonaktifkan akibat ‘dugaan’ terlibat dalam kasus pembunuhan bermotif asmara otomatis vitalitas kinerja KPK mengalami penurunan. Hingga presiden ‘menunjuk’ seseorang untuk menduduki posisi ketua tersebut tanpa melewati mekanisme hukum yang semestinya. Salahkah jika publik yang didominasi generasi muda memberikan apresiasi dukungan terhadap KPK yang petinggi-petingginya coba dimutilasi jabatan dan kewenangannya?
Mari kita tengok sejarah detik-detik proklamasi. Apabila para pemuda yang dipimpin Sukarni tidak menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, besar kemungkinan kita tidak akan menikmati proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehingga Bung Karno pun berujar "Berikan aku 10 orang pemuda untuk membangun negara ini." 10 orang pemuda yang dimaksud oleh Bung Karno, tentu saja tidak kita pahami secara harfiah. Maksudnya, pemuda dengan jumlah yang sedikit namun berkualitas, mumpuni sehingga akan memudahkan proses-proses pembangunan ketatanegaraan Indonesia. Sehingga tujuan negara yang tercermin dalam Preambule UUD 1945 akan mudah dicapai dalam genggaman.
Di tahun 1998-1999, gerakan pemuda berhasil menurunkan rezim Soeharto. Fakta ini memberikan cerminan bahwa gerakan pemuda yang berkolaborasi dengan kaum tertindas melahirkan kedasyatan langkah perjuangan. Sugeng, dalam "Quo Vadis Kelas Menengah", mengatakan bahwa "Gerakan kaum intelektual berkolaborasi dengan masyarakat kelas bawah akan mengakibatkan kegundahan sosial". Begitu juga dengan Neil Smelser dalam "Movement Social and Revolutions" mengatakan, ada enam tahap yang menyatukan gerakan pemuda dengan masyarakat secara menyeluruh, yaitu: (a) struktur birokrasi yang korup, (b) munculnya ketertindasan global, (c) transformasi konsep yang jelas antar elemen yang melahirkan kesepahaman, (d) adanya unsur pemicu, (e) mobilisasi, dan (d) adanya pihak-pihak yang menghambat gerakan tersebut secara represif.
Adanya unsur pemicu merupakan elemen yang memungkinkan gerakan pemuda menggerakkan people power. Adanya sinyalemen kriminalisasi KPK oleh Polri sebagai lembaga negara yang sekarang petinggi-petingginya menjadi target penyidikan KPK menjadi unsur pemicu yang rentan terhadap terjadinya People Power Jilid III. Mungkinkah dalam beberapa hari mendatang akan terjadi gerakan menurunkan presiden yang baru saja dilantik untuk kali kedua?