Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Politik

Otonomi Daerah

11 November 2009   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otonomi dan Realita Pilkada

Namun dalam realitanya, otonomi daerah menjadi wahana pertarungan kepentingan pribadi maupun kelompok yang memiliki kekuatan politik di masing-masing daerah. Aspirasi dan kepentingan masyarakat secara umum cenderung diabaikan. Masing-masing kekuatan di level daerah memandang otonomi sebagai peluang untuk menggenggam kekuasaan, serta membangun aristokrasi-polarisasi yang berpijak pada kepentingan pribadi dan kelompok. Akibatnya, secara politis, masyarakat tersekat-sekat dalam kelompok afilian secara stratifisial-diferensial, sehingga rawan konflik-konflik sosial.

Semisal pertarungan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada merupakan fenomena konkret yang menggambarkan benturan-benturan kepentingan pribadi dan kelompok. Pelaksanaan pilkada yang sarat dengan konflik kepentingan menciptakan signifikansi pengaruh pada kehidupan sosial ekonomi yang tidak kecil. Apalagi jika penyelenggaraan “pesta demokrasi” tersebut tidak dijalankan secara sehat, yang berdampak terciptanya iklim yang kurang kondusif, mencekam, dan menghambat dinamika sosial-ekonomi di tingkat lokal. Faktanya, Pemerintah pusat cenderung gagap mengambil sikap. Alih-alih mengupayakan sebuah langkah solutif, pemerintah pusat justru terlibat dan berpartisipasi dalam pertarungan kepentingan di level daerah tersebut. Keterlibatan elit politik di level pusat ini disinyalir sebagai langkah awal menebar benih kekuatan massa guna kepentingan pribadi mereka, yang dapat dipanen saat pemilu dan pilpres kemarin.

Silang sengkarut penyelenggaraan pilkada di Morowali, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur, merupakan cerminan faktual dan faktisitas pemerintah pusat penyaluran kepentingan pribadi dalam konflik-konflik di level daerah. Kasus daftar pemilih tetap (DPT) yang bergulir dari Pilkada Jatim ternyata juga terjadi di beberapa pilkada daerah lain. Kasus karut-marut DPT menjadi noda hitam pileg dan pilpres kemarin, bahkan menjadi alasan utama penolakan kontestan Mega-Pro dan JK-Win terhadap hasil rekapitulasi suara Pilpres 2009. Akibatnya, masyarakat kian terjebak dalam distrust society, sulit membedakan antara hitam dan putih, antara iklan dan fakta, antara hasil polling, quick count, dan rekapitulasi manual.

Distrust society juga diikuti sederet virus psikososial seperti social gap, phsychological barrier dan phsychotraumatic, namun dalam konteks dinamika pembangunan ekonomi masyarakat sederet virus psikososial ini dapat menghambat laju pergerakan ekonomi lokal. Komunikasi dan interaksi sosial sedikit banyak akan terganggu, sehingga harmonisme sebuah kelompok masyarakat akan menjadi samar bahkan tinggal impian masa lalu, sebelum otonomi daerah diterapkan.

Keprihatinan kita menyaksikan realita silang-sengkarut pilkada kian membuncah ketika mengetahui penyelenggaraan pilkada telah berpengaruh besar pada fokus pembelanjaan dan anggaran di pusat maupun daerah. Pesta demokrasi memang menyedot kebutuhan anggaran yang besar. Sehingga, APBN maupun APBD yang sejatinya dititikberatkan pada kesejahteraan rakyat di sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, dll cenderung tersedot masuk ke ranah “ongkos produksi demokrasi”, seperti pengadaan kertas suara, sosialisasi, honor anggota KPU dan KPUD, dll. Tak berlebihan andaikata dalam pilpres kemarin, tim sukses pasangan SBY-Boediono meluncurkan iklan kampanye “Pemilu Satu Putaran” yang mengandung materi penghematan anggaran negara.

Otonomi Daerah, Lanjutkan!

Ada secuil optimisme di tengah gempuran fakta yang tidak bisa ditutupi sederet angka statistik lembaga survey maupun Biro Pusat Statistik (BPS), karena salah satu implementasi otonomisasi (demokrasi lokal), seperti yang telah diuraikan diatas adalah penguatan pada kelembagaan legislatif di tingkat kota/kabupaten dan provinsi. Seperti kita tahu, sebagai pemegang mandat perwakilan rakyat, sudah pada tempatnya, kelembagaan legislatif menjadi tempat penampung suara rakyat, jadi disanalah muara pahit getir derita rakyat, baik yang bersuara atas nama kelembagaan atau individu, (Otonomi Daerah, dalam Negara Kesatuan, 2002).

Inilah bentuk demokrasi lokal, suara rakyat memberi andil besar, atas eksistensi wakilnya di kursi parlemen, baik di pusat, provinsi, atau kota/kabupaten. Rakyat berhak menagih janji perbaikan nasib kepada wakilnya di parlemen, rakyat memiliki hak menuntut kinerja wakil mereka di parlemen, dan rakyat berhak ‘menghukum’ wakilnya dengan cara tidak memilih kembali di pemilu yang akan datang.

Robert Dahl (1981), Penggagas Teori Demokrasi Empirik, meyakini bahwa warna demokrasi lokal, memberi energi bagi kekuatan kontrol rakyat atas wakilnya. Kekuatan kontrol menjadi kesadaran empiris sebagai pisau analisis, dalam setiap produk kebijakan pemerintahan daerah. Demonstrasi buruh, penolakan paket kebijakan pemerintahan lokal, tuntutan mundur kepala daerah yang korup, partisipasi publik dalam pilkada, protes mahasiswa terhadap penyimpangan anggaran pemerintahan daerah, adalah bagian dari riak-riak demokrasi lokal, yang menunjukan perhatian dan partisipasi penuh rakyat dalam proses kematangan berdemokrasi atau penguatan institusi demokrasi.

Semoga ini tidak terus dipahami sebagai peluang saling lempar-melempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, andaikata menyeruak problematika tak terseleseikan seperti penanganan Tragedi Situ Gintung, penyidikan kasus Syekh Puji, penanganan konflik bersenjata di Papua, dll. Semoga presiden terpilih dalam pilpres kemarin dapat membangun pemerintahan yang dapat membangun idealitas demokrasi lokal, nggak banal apalagi nakal.

Sekali lagi rakyat hanya bisa berharap.

************

Dimuat di Harian Surabaya Pagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun