Oleh : Anjrah Lelono Broto, Litbang LBTI
Mewujudkan “good governance” ada beberapa syarat yang menanti untuk diimplementasikan, meliputi: (a) responsive, tanggap terhadap kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. (b) participatory, melibatkan seluruh elemen masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung kebijakan. (c) transparant; memiliki data informasi yang accesable, (d) equitable; dapat diakses oleh siapapun, dan kapan pun. (e) accountable; dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosio-kultural, (f) consensus oriented; mewujudkan kepentingan orang banyak (g) effective dan efficient; pemanfaatan memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang ada secara optimal (Friedman, 2005).
Penyelenggaraan pemerintah daerah di tingkat kota/kabupaten dan provinsi telah diatur dalam mekanisme penyelenggaraan otonomi daerah dengan semangat good governance. Inilah bentuk demokrasi di tingkat lokal, sehingga pemerintah daerah merupakan representasi sejati; dari dan untuk rakyat di daerah tersebut.
Akan tetapi fakta-fakta yang berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah cenderung menjadi kanal-kanal kesuksesan kekuatan-kekuatan politik di daerah untuk membangun imperium kekuasaan, menciptakan “Raja-Raja Kecil”, dan rawan konflik. Metamorfosis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai-partai politik yang memiliki keleluasaan untuk menerapkan tata perundangan berbasis non-Pancasila dan UUD 1945, tidak berkesudahannya konflik berdarah di bumi Papua, atau terbentuknya dinasti-dinasti kecil di lingkaran kekuasaan pemerintah daerah, merupakan sederet fakta bahwa eksistensi kekuatan sosial-politik di daerah tidak terbantahkan dan kurang ter’sentuh’ oleh pemerintahan pusat. Presiden SBY, dalam menyikapi anarkisme yang merenggut nyawa Ketua DPRD Sumut -Abdul Aziz Angkat-, menilai gagasan pemekaran daerah perlu dihentikan dan dievaluasi ulang agar memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional yang lebih besar. Kita semua mengetahui bahwa pemekaran wilayah merupakan bagian integral dari kebijakan otonomi daerah.
Pertanyaannya, perlukah otonomi daerah yang dijiwai oleh desentralisasi direstrukturisasi?
Otonomi Utopis
Ryaas Rasyid (2002) mengatakan bahwa otonomi daerah membawa spirit untuk membebaskan pemerintahan pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik (lokal), dan daerah mendapat kesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon kecenderungan global dan mengambil faedah untuk kepentingan daerah (lokal). Pembagian tugas tersebut lebih nampak sebagai distribusi kekuasaan yang tidak bertanggung jawab, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat mendapatkan bagian pada wilayah kebijakan-kebijakan makro (nasional), sementara daerah dituntut kreatifitasannya dalam melakukan proses pemberdayaan dalam mengatasi permasalahan mikro (lokal). Dalam perspektif saya, hal ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah pusat untuk mengelola kewilayahan Indonesia secara holistik, termasuk sederet problematika dan pengelolaan sumber daya yang ada.
Tidak kunjung habisnya persebaran ladang ganja di bumi Serambi Mekkah, pemekaran Papua Barat yang diikuti konflik-konflik berdarah, kenyamanan mobilitas jaringan teroris di Jawa Tengah, dan lain-lain, menurut Suryadharma (mantan KaDensus 88), kemungkinan besar tidak lepas dari peran serta aparat dan birokrasi di lingkungan pemerintah daerah (Indo Pos, 24/07).
Sudah menjadi kelaziman di negara ini, bahwa penetapan kebijakan yang dijustifikasi oleh mekanisme perundang-undangan cenderung digunakan sebagai legitimator perselingkuhan wewenang demi kepentingan pribadi dan golongan. Tjipta Lesmana, staf pengajar Lemhanas, menyatakan bahwa disinyalir Otsus dipermainkan oleh oknum pejabat di tingkat daerah (Intelejen, edisi 25 Pebruari-10 Maret 2009). Mantan orang nomor satu di Badan Intelejen Negara (BIN), Hendropriyono, menambahkan bahwa dana Otsus dialihkan oleh oknum-oknum pejabat di jajaran eksekutif Propinsi Papua untuk mendonasi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Oknum-oknum pejabat di lingkungan Pemda Papua ini bersimpati pada gerakan OPM namun mereka tidak berani tampil secara eksplisit. Gubernur Lemhanas, Muladi, juga menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Papua (terutama petingginya) jika mereka berani jujur, mereka sangat membenci pemerintah pusat di Jakarta. Mereka sangat menginginkan kemerdekaan, lepas dari kesatuan Republik Indonesia.
Idealnya, distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan bentuk kepercayaan terhadap nilai-nilai lokal yang menjadi kekuatan daerah, baik dalam aspek ekonomi maupun sosio-kultural. Hal ini menjadi pijakan yang melandasi penerapan otonomi daerah. Proses otonomi daerah diharapkan membawa perubahan secara sistematis, seperti upaya pendewasaan politik warga negara, tuntutan kreatifitas penyelenggara pemerintahan daerah, partisipasi publik secara luas, dan tuntutan kreatif birokrasi dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, otonomi daerah juga diarahkan sebagai upaya pendekatan pelayanan dan perlindungan pemerintah pada rakyat secara tepat dan terarah, terutama dalam konteks pemenuhan kebutuhan ekonomi, perlindungan kehidupan sosial, hukum, dan fasilitasi pendidikan.
Ternyata, idealitas otonomi daerah hanya menjadi impian utopis yang kian jauh dari realita.
Otonomi dan Realita Pilkada
Namun dalam realitanya, otonomi daerah menjadi wahana pertarungan kepentingan pribadi maupun kelompok yang memiliki kekuatan politik di masing-masing daerah. Aspirasi dan kepentingan masyarakat secara umum cenderung diabaikan. Masing-masing kekuatan di level daerah memandang otonomi sebagai peluang untuk menggenggam kekuasaan, serta membangun aristokrasi-polarisasi yang berpijak pada kepentingan pribadi dan kelompok. Akibatnya, secara politis, masyarakat tersekat-sekat dalam kelompok afilian secara stratifisial-diferensial, sehingga rawan konflik-konflik sosial.
Semisal pertarungan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada merupakan fenomena konkret yang menggambarkan benturan-benturan kepentingan pribadi dan kelompok. Pelaksanaan pilkada yang sarat dengan konflik kepentingan menciptakan signifikansi pengaruh pada kehidupan sosial ekonomi yang tidak kecil. Apalagi jika penyelenggaraan “pesta demokrasi” tersebut tidak dijalankan secara sehat, yang berdampak terciptanya iklim yang kurang kondusif, mencekam, dan menghambat dinamika sosial-ekonomi di tingkat lokal. Faktanya, Pemerintah pusat cenderung gagap mengambil sikap. Alih-alih mengupayakan sebuah langkah solutif, pemerintah pusat justru terlibat dan berpartisipasi dalam pertarungan kepentingan di level daerah tersebut. Keterlibatan elit politik di level pusat ini disinyalir sebagai langkah awal menebar benih kekuatan massa guna kepentingan pribadi mereka, yang dapat dipanen saat pemilu dan pilpres kemarin.
Silang sengkarut penyelenggaraan pilkada di Morowali, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur, merupakan cerminan faktual dan faktisitas pemerintah pusat penyaluran kepentingan pribadi dalam konflik-konflik di level daerah. Kasus daftar pemilih tetap (DPT) yang bergulir dari Pilkada Jatim ternyata juga terjadi di beberapa pilkada daerah lain. Kasus karut-marut DPT menjadi noda hitam pileg dan pilpres kemarin, bahkan menjadi alasan utama penolakan kontestan Mega-Pro dan JK-Win terhadap hasil rekapitulasi suara Pilpres 2009. Akibatnya, masyarakat kian terjebak dalam distrust society, sulit membedakan antara hitam dan putih, antara iklan dan fakta, antara hasil polling, quick count, dan rekapitulasi manual.
Distrust society juga diikuti sederet virus psikososial seperti social gap, phsychological barrier dan phsychotraumatic, namun dalam konteks dinamika pembangunan ekonomi masyarakat sederet virus psikososial ini dapat menghambat laju pergerakan ekonomi lokal. Komunikasi dan interaksi sosial sedikit banyak akan terganggu, sehingga harmonisme sebuah kelompok masyarakat akan menjadi samar bahkan tinggal impian masa lalu, sebelum otonomi daerah diterapkan.
Keprihatinan kita menyaksikan realita silang-sengkarut pilkada kian membuncah ketika mengetahui penyelenggaraan pilkada telah berpengaruh besar pada fokus pembelanjaan dan anggaran di pusat maupun daerah. Pesta demokrasi memang menyedot kebutuhan anggaran yang besar. Sehingga, APBN maupun APBD yang sejatinya dititikberatkan pada kesejahteraan rakyat di sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, dll cenderung tersedot masuk ke ranah “ongkos produksi demokrasi”, seperti pengadaan kertas suara, sosialisasi, honor anggota KPU dan KPUD, dll. Tak berlebihan andaikata dalam pilpres kemarin, tim sukses pasangan SBY-Boediono meluncurkan iklan kampanye “Pemilu Satu Putaran” yang mengandung materi penghematan anggaran negara.
Otonomi Daerah, Lanjutkan!
Ada secuil optimisme di tengah gempuran fakta yang tidak bisa ditutupi sederet angka statistik lembaga survey maupun Biro Pusat Statistik (BPS), karena salah satu implementasi otonomisasi (demokrasi lokal), seperti yang telah diuraikan diatas adalah penguatan pada kelembagaan legislatif di tingkat kota/kabupaten dan provinsi. Seperti kita tahu, sebagai pemegang mandat perwakilan rakyat, sudah pada tempatnya, kelembagaan legislatif menjadi tempat penampung suara rakyat, jadi disanalah muara pahit getir derita rakyat, baik yang bersuara atas nama kelembagaan atau individu, (Otonomi Daerah, dalam Negara Kesatuan, 2002).
Inilah bentuk demokrasi lokal, suara rakyat memberi andil besar, atas eksistensi wakilnya di kursi parlemen, baik di pusat, provinsi, atau kota/kabupaten. Rakyat berhak menagih janji perbaikan nasib kepada wakilnya di parlemen, rakyat memiliki hak menuntut kinerja wakil mereka di parlemen, dan rakyat berhak ‘menghukum’ wakilnya dengan cara tidak memilih kembali di pemilu yang akan datang.
Robert Dahl (1981), Penggagas Teori Demokrasi Empirik, meyakini bahwa warna demokrasi lokal, memberi energi bagi kekuatan kontrol rakyat atas wakilnya. Kekuatan kontrol menjadi kesadaran empiris sebagai pisau analisis, dalam setiap produk kebijakan pemerintahan daerah. Demonstrasi buruh, penolakan paket kebijakan pemerintahan lokal, tuntutan mundur kepala daerah yang korup, partisipasi publik dalam pilkada, protes mahasiswa terhadap penyimpangan anggaran pemerintahan daerah, adalah bagian dari riak-riak demokrasi lokal, yang menunjukan perhatian dan partisipasi penuh rakyat dalam proses kematangan berdemokrasi atau penguatan institusi demokrasi.
Semoga ini tidak terus dipahami sebagai peluang saling lempar-melempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, andaikata menyeruak problematika tak terseleseikan seperti penanganan Tragedi Situ Gintung, penyidikan kasus Syekh Puji, penanganan konflik bersenjata di Papua, dll. Semoga presiden terpilih dalam pilpres kemarin dapat membangun pemerintahan yang dapat membangun idealitas demokrasi lokal, nggak banal apalagi nakal.
Sekali lagi rakyat hanya bisa berharap.
************
Dimuat di Harian Surabaya Pagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H