Indonesia, negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, seharusnya menjadi surga bagi para nelayan. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Di tengah melimpahnya hasil laut yang bernilai triliunan rupiah, ternyata banyak nelayan Indonesia yang  masih hidup dalam lingkaran kemiskinan. Melansir portal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia ada sebanyak 2,7 juta nelayan di Indonesia menyumbang 25% terhadap angka kemiskinan nasional.Â
Analisis data Survei Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 yang dilakukan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad Prof. Dr. Zuzy Anna  dan tim juga mengungkapkan bahwa sebanyak 11,34% orang di sektor perikanan tergolong miskin, lebih tinggi dibandingkan sektor pelayanan restoran (5,56%), konstruksi bangunan (9,86%), serta pengelolaan sampah (9,62%).Â
Angka ini justru menjadi tanda tanya besar bagaimana bisa nelayan yang merupakan "tulang punggung" ekonomi nasional justru penghasilannya yang paling tidak rasional? Mengapa kekayaan laut Indonesia belum mampu mengangkat kesejahteraan nelayan?
Data Global Capture Production :1950-2021 dalam FAO (Food and Agriculture Organization) menunjukkan data produksi perikanan tangkap global dari sepuluh negara penghasil ikan terbesar didominasi oleh negara-negara Asia: China, Indonesia, India, dan Vietnam selama beberapa dekade terakhir. Dimana pada tahun 2021, Indonesia menjadi negara kedua dengan produksi penangkapan global terbesar setelah China.Â
Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya perikanan. Namun sayangnya, jika dibandingkan dengan negara-negara maritim lainnya yang memiliki potensi serupa, tingkat kesejahteraan nelayan Indonesia masih tergolong rendah.
Hal ini terlihat pada data Nilai Tukar Nelayan dan Pembudidaya Ikan Provinsi Gorontalo dalam Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo Tahun 2023 dan 2024 yang menunjukkan bahwa adanya fluktuasi nilai tukar pada kedua kelompok profesi ini. Salah satu pendekatan dalam mengukur kesejahteraan nelayan adalah nilai tukar nelayan (NTN). Secara umum, nilai tukar cenderung mengalami penurunan dari tahun 2023 ke tahun 2024.Â
Pada tahun 2023, nilai tukar tertinggi terjadi pada bulan Februari, sedangkan nilai tukar terendah terjadi pada bulan Juli. Sementara itu, pada tahun 2024, data hanya tersedia hingga bulan Oktober dan nilai tukar tertinggi terjadi pada bulan Februari, sedangkan nilai tukar terendah terjadi pada bulan Agustus.
Menurunnya NTN (Nilai Tukar Nelayan) tersebut disebabkan oleh semakin naiknya indeks yang harus dibayar oleh nelayan (Ib) dibandingkan indeks yang diterima nelayan (It). Secara detail, penyebab kenaikan indeks yang harus dibayar oleh nelayan (Ib) dibandingkan indeks yang diterima nelayan (It) karena meningkatnya biaya transportasi untuk melaut. Catatan BPS (2024) menunjukkan bahwa indeks biaya transportasi dan komunikasi nelayan sepanjang tahun 2023 naik sebesar 9,16%.
Kondisi ini berimbas pada penurunan daya beli nelayan secara signifikan, memaksa mereka terjerat utang dan mengancam keberlangsungan hidup keluarga nelayan. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, pinjaman nelayan di Badan Layanan Umum (BLU) mencapai sekitar Rp600 miliar dan belum termasuk utang nelayan di lembaga keuangan lainnya. Â Â Â Â Â
Tekanan ekonomi yang semakin besar mendorong nelayan untuk melakukan penangkapan ikan secara berlebihan atau menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan, demi mempertahankan pendapatan. Praktik penangkapan yang tidak berkelanjutan ini tentu tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam kelestarian sumber daya perikanan untuk generasi mendatang.
Program kebijakan pemerintah juga secara tidak langsung menjadi alasan dibalik semakin terpinggirkannya nelayan skala kecil. Kebijakan mengenai Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota justru menimbulkan kerisauan baru akibat kontrol konsesi mayoritas yang hanya dilakukan oleh beberapa industri dan investasi perikanan skala besar saja.Â
Hal ini tentu saja berimbas pada nelayan yang akhirnya hanya kebagian sedikit kuota yang tersisa dan semakin memperlebar kesenjangan pendapatan.
Masalah keterbatasan infrastruktur pun seolah selalu eksis dalam rentetan kendala utama dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kurangnya pemerataan kualitas pelabuhan perikanan sangat berpengaruh terhadap aktivitas nelayan. Akibatnya, harga jual ikan menjadi rendah dan malah merugikan nelayan. Selain itu, minimnya pasar ikan yang terintegrasi dengan jaringan distribusi yang luas serta kurangnya fasilitas pengolahan hasil laut berstandar internasional juga menjadi penghambat. Hal ini menyebabkan nelayan hanya dapat menjual hasil tangkapan dalam bentuk segar dengan nilai tambah yang rendah, sehingga sulit bersaing di pasar yang lebih luas.
Dalam PP No. 11 Tahun 2023, dijelaskan bahwa Zona Penangkapan Ikan Terukur meliputi 2 (dua) hal, yakni WPP NRI di perairan laut dan laut lepas.Â
WPP NRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang meliputi: Perairan Indonesia; Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia; sungai; danau; waduk; rawa; dan genangan air lainnya yang potensial untuk diusahakan di wilayah Negara Republik Indonesia. Kebijakan PIT memberikan kesempatan bagi investor dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus yang berjangka 15 tahun.Â
Kebijakan PIT melalui PP tersebut dianggap merugikan para nelayan karena kaitannya dengan penggunaan anak buah kapal (ABK) dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) setempat, semakin terbatasnya area WPP dan aturan bongkar ikan di WPP setempat. Ketiga hal ini dianggap malah akan menyulitkan nelayan lokal maupun nelayan kecil untuk dapat bersaing dengan industri perikanan berskala besar (rejabar.republika.co.id, 21 Maret 2023).
Dominasi tengkulak juga ikut andil dalam permasalahan kemiskinan nelayan di Indonesia. Mereka berperan sebagai perantara antara nelayan dan konsumen akhir, namun sayangnya, peran mereka lebih condong pada eksploitasi.
Akhirnya jawaban dari mengapa nelayan masih banyak yang miskin di negeri maritim haruslah menjadi refleksi terhadap sistem yang telah berlangsung selama ini. Pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan perikanan, membangun infrastruktur yang memadai, dan memberikan pelatihan serta akses modal kepada para nelayan. Bukankah "tulang punggung" juga harus didukung?
Referensi:
"Menjadi Profesi Termiskin di Indonesia, Benarkah Nelayan Tidak Bisa Bahagia dengan  Profesinya?       https://www.unpad.ac.id/2020/09/menjadi-profesi-termiskin-di-indonesia-benarkah-nelayan-tidak-bisa-bahagia-dengan-profesinya
"Menteri KKP Trenggono Ungkap Utang Nelayan di BLU Capai Rp600 Miliar." https://ekonomi.bisnis.com/read/20241106/12/1813962/menteri-kkp-trenggono-ungkap-utang-nelayan-di-blu-capai-rp600-miliar.Penulis : Ni Luh Anggela - Bisnis.com  Â
"Tiga Poin dalam PP 11/2023 yang Buat Nelayan Susah Tidur", rejabar.republika. co.id., 21      Maret  2023, https:// rejabar.republika.co.id/berita/ rrv51d396/tiga-poin-dalampp-       112023-yang-  buat-nelayansusah-tidur diakses 23 Mei 2023.
Badan Pusat Statistik Gorontalo, "NTN (Nilai Tukar Nelayan)" Â Â Â https://gorontalo.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjYyIzI=/nilai-tukar-nelayan-.html
Badan Pusat Statistik RI, "NTN (Nilai Tukar Nelayan) Menurut Subsektor (2018=100)," Â [BPS] Badan Pusat Statistik RI. Accessed: Mar. 01, 2024. [Online]. Available: https://www.bps.go.id/id/statistics- table/2/MTcxMyMy/ntn-nilai-tukar-nelayan- menurut-subsektor-2018-100-.html
Suherman A, & Dault A. 2009. Dampak Sosial Ekonomi Pembangunan dan Pengembangan      Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan Jembrana Bali. Jurnal Saintek  Perikanan. 2(1): 24-32.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H