Kondisi ini berimbas pada penurunan daya beli nelayan secara signifikan, memaksa mereka terjerat utang dan mengancam keberlangsungan hidup keluarga nelayan. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, pinjaman nelayan di Badan Layanan Umum (BLU) mencapai sekitar Rp600 miliar dan belum termasuk utang nelayan di lembaga keuangan lainnya. Â Â Â Â Â
Tekanan ekonomi yang semakin besar mendorong nelayan untuk melakukan penangkapan ikan secara berlebihan atau menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan, demi mempertahankan pendapatan. Praktik penangkapan yang tidak berkelanjutan ini tentu tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam kelestarian sumber daya perikanan untuk generasi mendatang.
Program kebijakan pemerintah juga secara tidak langsung menjadi alasan dibalik semakin terpinggirkannya nelayan skala kecil. Kebijakan mengenai Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota justru menimbulkan kerisauan baru akibat kontrol konsesi mayoritas yang hanya dilakukan oleh beberapa industri dan investasi perikanan skala besar saja.Â
Hal ini tentu saja berimbas pada nelayan yang akhirnya hanya kebagian sedikit kuota yang tersisa dan semakin memperlebar kesenjangan pendapatan.
Masalah keterbatasan infrastruktur pun seolah selalu eksis dalam rentetan kendala utama dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kurangnya pemerataan kualitas pelabuhan perikanan sangat berpengaruh terhadap aktivitas nelayan. Akibatnya, harga jual ikan menjadi rendah dan malah merugikan nelayan. Selain itu, minimnya pasar ikan yang terintegrasi dengan jaringan distribusi yang luas serta kurangnya fasilitas pengolahan hasil laut berstandar internasional juga menjadi penghambat. Hal ini menyebabkan nelayan hanya dapat menjual hasil tangkapan dalam bentuk segar dengan nilai tambah yang rendah, sehingga sulit bersaing di pasar yang lebih luas.
Dalam PP No. 11 Tahun 2023, dijelaskan bahwa Zona Penangkapan Ikan Terukur meliputi 2 (dua) hal, yakni WPP NRI di perairan laut dan laut lepas.Â
WPP NRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang meliputi: Perairan Indonesia; Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia; sungai; danau; waduk; rawa; dan genangan air lainnya yang potensial untuk diusahakan di wilayah Negara Republik Indonesia. Kebijakan PIT memberikan kesempatan bagi investor dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus yang berjangka 15 tahun.Â
Kebijakan PIT melalui PP tersebut dianggap merugikan para nelayan karena kaitannya dengan penggunaan anak buah kapal (ABK) dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) setempat, semakin terbatasnya area WPP dan aturan bongkar ikan di WPP setempat. Ketiga hal ini dianggap malah akan menyulitkan nelayan lokal maupun nelayan kecil untuk dapat bersaing dengan industri perikanan berskala besar (rejabar.republika.co.id, 21 Maret 2023).
Dominasi tengkulak juga ikut andil dalam permasalahan kemiskinan nelayan di Indonesia. Mereka berperan sebagai perantara antara nelayan dan konsumen akhir, namun sayangnya, peran mereka lebih condong pada eksploitasi.
Akhirnya jawaban dari mengapa nelayan masih banyak yang miskin di negeri maritim haruslah menjadi refleksi terhadap sistem yang telah berlangsung selama ini. Pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan perikanan, membangun infrastruktur yang memadai, dan memberikan pelatihan serta akses modal kepada para nelayan. Bukankah "tulang punggung" juga harus didukung?
Referensi: