Mohon tunggu...
Anjaya Wibawana
Anjaya Wibawana Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik

Ikuti proses tanpa protes

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Wali itu Penting, Bukan Karamahnya tapi Melatih Batin

22 Januari 2025   11:36 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:47 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore yang teduh di depan kantor pondok, saya duduk bersila di lantai beralas tikar, sementara Abah Yai duduk di kursi kayu. Beliau mengenakan sarung sederhana dan kaos putih polos, ciri khas kesehariannya. Di sela obrolan santai, terlintas pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati saya. Dengan penuh rasa penasaran, saya bertanya, “Dos pundi Gus Syur niku, Bah?”

Gus Syur yang saya maksud adalah Gus Mansyur bin KH. Munawwir Shalih, kakak Abah Yai sendiri. Beliau wafat pada tanggal 2 Oktober 2021 di Jombang. Latar belakang pertanyaan saya sederhana—sebelumnya, Abah Yai ngendika tentang banyaknya orang yang mengaku-ngaku menjadi wali.

Abah Yai diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “nang krian, biyen akeh seng ngaku dadi wali” ungkapnya, seolah ingin menegaskan agar saya tidak gumunan

Abah pun mulai bercerita. Suatu waktu, seorang teman mengajak Abah sowan ke seorang tokoh agama yang katanya seorang 'wali'. Teman Abah ini memang suka bersilaturahim dengan ulama dan minta doa keberkahan. Dalam perjalanan, teman Abah berbisik, memintanya—yang saat itu menemani —untuk memastikan apakah ulama yang akan ia temui benar-benar seorang wali.

Sampai di rumah tokoh agama tersebut, suasananya ramai. Banyak orang yang datang dengan wajah penuh harap, membawa amplop berisi sedekah. Setelah berbincang dan menyerahkan sedekahnya, teman saya bertanya pada Abah Yai saat kami akan pulang. “Pripun, Bah? Wali ta?” Dengan nada penuh harap, ia seolah menunggu Abah Yai mengiyakan.

Namun, jawaban Abah Yai malah di luar dugaan. Sambil terkekeh ringan, beliau menjawab, “Iyo, luweh apik duit iku kanggo anak bojo.” Jawaban itu membuat ia terdiam, lalu tersenyum getir. 

Saya sendiri heran, yang tinggal di pondok Abah kurang lebih masih 1 tahun.  Kenapa Abah Yai yang terlihat biasa aja malah dipercaya untuk menilai derajat kewalian seseorang.

Setelah cerita itu selesai, Abah Yai melanjutkan ceritanya tentang Gus Syur, seseorang yang memang memiliki keunikan tersendiri. Gus Syur, kata Abah, dikenal sebagai orang yang jadzab—sering kali menunjukkan karomah yang luar biasa.

“Pernah, Gus Syur jagongan karo wong-wong, nang kana ndadak nggawe kabeh wong gumun. Paku sing gede-gede iku ditugel nganggo tangan,” kata Abah Yai. Orang-orang yang melihatnya terperangah. Bagaimana mungkin paku sekeras itu bisa dipatahkan dengan mudah?

Namun, Abah Yai justru melihat kejadian itu dengan pandangan berbeda. Dalam hati, beliau berpikir, “Emane paku iki. Paku iku iso kanggo bangun omah kok malah dicukleki.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun