Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pantai Pink, Sempalan Surga di Ujung Tenggara Pulau Lombok

18 Januari 2018   11:27 Diperbarui: 18 Januari 2018   11:34 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila warna pink dikonotasikan dengan cinta. Bagaimana dengan sebuah pantai berwarna pink? Tak berlebihan bila kita juga menyebutnya pantai cinta. Karena warna pasir yang merah jambu itu memang tak lazim. Sehingga siapapun akan mudah jatuh hati pada keindahannya. Inilah keistimewaan dari Pantai Pink yang berlokasi di ujung tenggara Kabupaten Lombok Timur.

Ada dua cara untuk menjangkau Pantai Pink, melalui jalur darat atau jalur laut. Namun pilihan kedua nampaknya yang lebih masuk akal. Karena jalanan menuju ke sana masih belum beraspal. Dari Tanjung Luar, Kami bertolak ke Pantai Pink dengan menggunakan perahu. Selain menjadi gerbang utama menuju Pantai Pink melalui jalur laut, Tanjung Luar juga dikenal dengan produksi cumi-cuminya. Adalah para nelayan yang menawarkan jasa antar-jemput wisatawan untuk berkunjung ke sana. Dengan harga sewa per perahu sebesar Rp500.000,00, kami berhak menggunakan perahu seharian penuh.

Petualangan sudah terasa sejak meninggalkan Tanjung Luar.  Satu perahu nelayan menampung kami berlima ditambah satu nahkoda.  Dalam kecepatan tinggi, perahu kami memotong gelombang laut yang datang silih berganti. Cukup besar. Akibatnya, badan bergoncang, dan sesekali air laut memercik ke dalam perahu dari segala penjuru. Mau tak mau, kami harus berbasah-basahan sebelum berenang di Pantai Pink.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dalam perjalanan, kami disuguhi panorama laut nan menawan. Kawanan burung Camar menari-nari di angkasa biru. Sesekali mereka menghampiri perahu, seolah ingin bertegur sapa dengan kami yang datang jauh dari Jakarta. Bagan pancang; rumah penangkap ikan berserak di lautan menjadi gantungan penghidupan masyarakat setempat. Lalu disusul keramba budidaya mutiara, Gili Ular; habitat ular laut yang dipercaya tidak menggigit, silih berganti kami lalui.

Hampir satu jam berperahu, akhirnya kami tiba di Pantai Pink. Bening air laut cantik berpadu dengan pasir merah jambu. Amboy indahnya! Kami jadi tak sabar untuk segera berenang. Namun, ada hajat lain yang tak boleh ditunda, yaitu makan siang. Mie instan pake telor ceplok kami pesan. Sedangkan, minumnya berupa es kelapa muda. Bukan mau berhemat. Tetapi hanya itu saja yang tersedia di beberapa warung sederhana yang dikelola oleh penduduk setempat.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Selepas santap siang, kami bergegas berenang. Namun, hanya bagian perairan dangkal yang kami pilih. Alasannya cukup memalukan sih; kami semua tak mahir berenang. Meskipun sebenarnya gelombang laut yang datang tak besar. Alhasil, kami hanya kecipak-kecipuk tak jelas. Yang penting bisa mengambang dengan selamat.

Untuk mendapatkan panorama terindah Pantai Pink, kami harus mendaki sebuah bukit yang terletak di sebelah kiri pantai. Dari atas bukit ini, nampak bibir pantai Pink yang melengkung dibelai ombak yang datang silih berganti. Pepohonan permai mengisi setiap jengkal tanah, membatasi hamparan pasir merah jambu. Melihat ke arah laut lepas, kami disuguhi dengan pemandangan bebatuan karang yang tercerai berai karena gelombang besar yang mengikisnya sedikit demi sedikit.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Pantai Pink juga dikenal dengan sebutan Pantai Tangsi. Di sana terdapat beberapa goa pertahanan tentara Jepang dari serangan tentara Sekutu semasa Perang Dunia II. Letaknya tersembunyi pada bukit-bukit jauh di belakang pantai. Hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Mengingat keterbatasan waktu, kami urungkan niat untuk menyambanginya.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Tak terasa kami harus segera meninggalkan Pantai Pink. Langit yang mendung laksana lonceng penanda akhir petualangan kami di Pantai Pink. Belum puas memang. Tetapi kami harus bergegas menuju destinasi terakhir, Pulau Pasir, agar tidak didahului oleh guyuran hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun