Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Island of Hope, Wisata Asyik di Kepulauan Seribu

13 September 2015   12:56 Diperbarui: 14 September 2015   00:40 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyawa kami sepenuhnya ‘belum terkumpul’ saat Dolphin, sebuah kapal kayu yang kami tumpangi dari Pelabuhan Muara Angke bersandar di dermaga Pulau Harapan. Bagaimana tidak? Kami harus berangkat pagi-pagi buta guna menghindari tidak kebagian tempat di dalam kapal. Tapi tetap saja, meski sudah mendapatkan tempat duduk yang nyaman dan leluasa, kami berlima terus menerus didesak penumpang lain hingga pojokan. Petugas kapal tetap memasukkan sebanyak mungkin  penumpang meskipun kapal sudah penuh. Alhasil, kami harus menekuk badan dan melipat kaki biar tidak saling tindih selama kurang lebih 3,5 jam perjalanan.

Setibanya di Pulau Harapan, kami langsung disambut hamparan air laut sejernih kristal. Rasa lelah digantikan kekaguman. Tak disangka masih ada tempat sebersih itu di lepas pantai Jakarta. Warna gradasi air laut, mulai dari putih bening, hijau tosca hingga biru azul menghipnotis kami untuk segera nyemplung. Tetapi kami harus bersabar dulu. Berhubung baru sampai, ada hajat lain yang perlu ditunaikan segera. Perut sudah keroncongan setelah berjibaku dengan goncangan gelombang laut. Oleh karena itu, kami pun langsung diajak masuk ke sebuah rumah yang telah disiapkan Pak Syukron, operator tur kami.

Sebuah rumah yang kami sewa lebih dari cukup untuk menampung kami berlima. Di dalamya terdapat dua kamar yang diisi masing-masing satu kasur yang bisa menampung hingga tiga orang. Satu kasur lagi diletakkan di depan TV.  Yang paling menyenangkan; rumah itu dilengkapi dua kamar mandi, sehingga kami tidak akan berebut mandi. Kata Pak Syukron, biasanya rombongan wisatawan yang menyewa rumah ini berjumlah paling tidak 10 orang. Sederhana, tetapi rumah itu nyaman sebagai tempat tetirah selama melancong di Pulau Harapan.  

Makan siang yang terdiri atas nasi putih, sambel terasi, kerupuk, Ikan Mas Bumbu Bali, Orek Tempe, dan 5 potong pepaya sudah terhidang.  “Wah….porsinya ngepres banget ni”, tukas Reta saat melihat sajian di depan kami. Memang ucapan ini sangat beralasan mengingat betapa laparnya kami sedari kapal tadi. Seharusnya kami layak mendapatkan sambutan berupa masakan yang melimpah untuk memenuhi hasrat makan kami yang besar he..he. Namun, rasa hidangan khas rumahan itu sontak membungkam mulut kami dari terus-terusan komplain. Sedap rasanya bak masakan ibu di rumah. Apalagi sambel terasinya yang ‘nendang banget’. Usai makan pun, kami masih berebutan  sambel terasi untuk dicocol dengan kerupuk warna-warni nan gurih.

Sinar matahari masih terasa terik untuk memulai penjelajahan antar pulau. Pak Green, pemandu jelajah pulau sudah menunggu di depan pintu. Dia perlu bersabar lagi karena gerak kami lelet. Kami belum siap 100% untuk segera berangkat meskipun sudah disepakati sebelumnya akan berangkat jam 1.30 siang. Ada yang belum ganti pakaian renang. Ada yang masih sibuk mengoleskan sunblock cream hingga rata keseluruh tubuh untuk mencegah kulit dari terbakar sinar matahari.  Untuk urusan yang satu ini cewek-cewek rempong banget karena tak mau memudar kecantikannya. Di saat seperti ini, timbulah aktivitas saling bully secara spontan, menyindir lambatnya persiapan kami. Tapi ini yang bikin seru; kami menjadi semakin akrab di luar urusan pekerjaan.

Perahu klotok yang dinahkodai Pak John Ndau membawa kami membelah perairan Pulau Harapan. Selain Pak Green dan sang nahkoda, ikutlah dua anak kecil bernama Ilham dan Hilmi. Perawakan keduanya sekilas seperti anak-anak Bajo-sebenarnya mereka keturunan perantau dari Banten, kulit legam dan rambut cokelat kemerahan akibat terpapar sinar matahari. Jelas sekali hal ini merupakan hasil bermain mereka di laut, halaman rumah bagi anak-anak nelayan ini. Mereka nampak masih malu-malu berbicara dengan kami. Karena itu, mereka memilih untuk duduk di atas moncong perahu sambil mengamati perahu-perahu lain yang lalu lalang.

Kami tak punya ide dibawa pergi ke mana. Gugusan pulau cantik kami lewati begitu saja. Seperti bermain tebak-tebakan saja, jawaban yang saya ajukan selalu salah. Termasuk salah satu pulau dengan bibir pantai putih menawan yang ’dimiliki’ oleh seorang pengusaha kaya. Semua perahu tak boleh memasuki pulau itu. Sebuah yacht bersandar di dermaganya menandakan adanya aktivitas kunjungan dari keluarga pemilik atau kolega dekatnya. Melihat hal itu, kami hanya bisa bertanya-tanya siapa mereka; punya kuasa penuh menikmati sebuah pulau pribadi. Saya berharap tak akan ada lagi penyewaan pulau untuk orang kaya. Bila hal ini terjadi, maka otomatis wisata pulau yang dikelola oleh masyarakat akan mati. Karena tidak ada lagi yang bisa ditawarkan kepada wisatawan.

Ternyata kami dibawa Pak Green untuk snorkeling di perairan sekitar pulau tersebut. Air yang tenang membuat kami tidak ragu untuk segera membenamkan badan. Snorkle, fin, dan life fest kami pakai untuk mendukung kegiatan snorkeling. Perahu kami bukan yang pertama merapat di perairan itu. Karena banyaknya wistawan, kami berbagi area snorkeling masing-masing. Meskipun perairan masih bersih, terumbu karang di sana tak seberagam di tempat lain. Sangat sulit menemukan karang berwarna-warni karena didominasi hard coral berwarna abu-abu dan putih. Meskipun begitu, Reta dan Ole tetap mondar-mandir di sekitar perairan itu untuk bersnorkeling ria. Sinyal pun juga terlihat begitu menikmati penyelamannya (baca: berfoto di bawah air). ”Pak, foto aku lagi di sini” pinta Sinyal kepada Pak Green untuk mengabadikan kunjungan dia di setiap titik snorkeling.

Saya lebih terpesona dengan Ilham dan Hilmi. Secara bergantian, mereka melompat dari perahu untuk menembus air, lalu menyelam ke kedalaman laut. Hebatnya, aksi ini dilakukan tanpa menggunakan snorkle. Meraka bisa menahan nafas selama beberapa menit. ”Busyeeet....dua anak ini adalah manusia ikan”, pikir saya ketika itu. Pak Green menjelaskan bahwa kepandaian berenang dan menyelam mereka didapatkan secara otodidak. Mulanya di tepi pantai yang dangkal, selanjutnya ikut melaut bersama orang tua atau pun saudaranya. Pokoknya kami kalah gesit di dalam air dibandingkan dua anak itu. Kecuali Reta yang memang sudah mahir snorkeling. 

Atraksi alam yang saya tunggu akhirnya datang juga. Bermain-main di atas hamparan pasir yang dikepung birunya air laut. Tempat ini seperti sebuah pulau pasir yang muncul memanjang di atas perairan. Saya sudah bersemangat sedari kapal berlabuh di pulau pasir itu.  Setiap sudut tempat ini menawarkan sisi keindahan, sehingga kami pun ingin berlama-lama di sana. Yang menjadi tantangan adalah banyaknya pengunjung yang berebut tempat. Terutama untuk keperluan berfoto yang menginginkan latar belakang alam tanpa kerumunan orang. Untuk urusan ini,  Nea, Ole, dan Reta repot sendiri demi mendapatkan gambar yang bagus dengan ’menyembunyikan’ bentuk tubuh yang kurang sedap tertangkap kamera.  Berbagai gaya foto, dari melompat hingga tengkurap di atas pasir mirip paus terdampar dijajal semua. Kami para cowok mau nggak mau harus jadi fotografer mereka. Pengambilan foto dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan hasil pemotretan yang memuaskan.

Menjelang sore, Pak Green membawa kami ke Pulau Perak. Pantainya cantik, berpasir putih yang menjorok ke lautan. Mungkin karena ini pengunjung banyak berdatangan memadati pulau itu. Tetapi ternyata, di sana terdapat beberapa ayunan yang tergantung di dahan pepohonan pinus laut. Ayunan-ayunan ini ’dibuat’ pengunjung untuk bermain-main persis seperti anak-anak kecil yang sangat ceria menikmati dunianya. Pingin juga ikut bermainan ayunan. Tetapi melihat antriannya yang panjang, saya jadi malas mengikuti hasrat itu. Hanya Reta yang menjajal berayun-ayun sebentar. Saya dan teman-teman akhirnya memilih menikmati bakwan, pisang goreng dan kelapa muda di bawah rindang pohon pinus. Lima pisang goreng dan enam bakwan kami beli dengan harga 22 ribu rupiah. Sedangkan, satu kelapa muda dihargai 15 ribu rupiah. Lumayanlaaah! Untuk mengobati rasa lapar dan dahaga kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun