Nyawa kami sepenuhnya ‘belum terkumpul’ saat Dolphin, sebuah kapal kayu yang kami tumpangi dari Pelabuhan Muara Angke bersandar di dermaga Pulau Harapan. Bagaimana tidak? Kami harus berangkat pagi-pagi buta guna menghindari tidak kebagian tempat di dalam kapal. Tapi tetap saja, meski sudah mendapatkan tempat duduk yang nyaman dan leluasa, kami berlima terus menerus didesak penumpang lain hingga pojokan. Petugas kapal tetap memasukkan sebanyak mungkin penumpang meskipun kapal sudah penuh. Alhasil, kami harus menekuk badan dan melipat kaki biar tidak saling tindih selama kurang lebih 3,5 jam perjalanan.
Setibanya di Pulau Harapan, kami langsung disambut hamparan air laut sejernih kristal. Rasa lelah digantikan kekaguman. Tak disangka masih ada tempat sebersih itu di lepas pantai Jakarta. Warna gradasi air laut, mulai dari putih bening, hijau tosca hingga biru azul menghipnotis kami untuk segera nyemplung. Tetapi kami harus bersabar dulu. Berhubung baru sampai, ada hajat lain yang perlu ditunaikan segera. Perut sudah keroncongan setelah berjibaku dengan goncangan gelombang laut. Oleh karena itu, kami pun langsung diajak masuk ke sebuah rumah yang telah disiapkan Pak Syukron, operator tur kami.
Sebuah rumah yang kami sewa lebih dari cukup untuk menampung kami berlima. Di dalamya terdapat dua kamar yang diisi masing-masing satu kasur yang bisa menampung hingga tiga orang. Satu kasur lagi diletakkan di depan TV. Yang paling menyenangkan; rumah itu dilengkapi dua kamar mandi, sehingga kami tidak akan berebut mandi. Kata Pak Syukron, biasanya rombongan wisatawan yang menyewa rumah ini berjumlah paling tidak 10 orang. Sederhana, tetapi rumah itu nyaman sebagai tempat tetirah selama melancong di Pulau Harapan.
Makan siang yang terdiri atas nasi putih, sambel terasi, kerupuk, Ikan Mas Bumbu Bali, Orek Tempe, dan 5 potong pepaya sudah terhidang. “Wah….porsinya ngepres banget ni”, tukas Reta saat melihat sajian di depan kami. Memang ucapan ini sangat beralasan mengingat betapa laparnya kami sedari kapal tadi. Seharusnya kami layak mendapatkan sambutan berupa masakan yang melimpah untuk memenuhi hasrat makan kami yang besar he..he. Namun, rasa hidangan khas rumahan itu sontak membungkam mulut kami dari terus-terusan komplain. Sedap rasanya bak masakan ibu di rumah. Apalagi sambel terasinya yang ‘nendang banget’. Usai makan pun, kami masih berebutan sambel terasi untuk dicocol dengan kerupuk warna-warni nan gurih.
Sinar matahari masih terasa terik untuk memulai penjelajahan antar pulau. Pak Green, pemandu jelajah pulau sudah menunggu di depan pintu. Dia perlu bersabar lagi karena gerak kami lelet. Kami belum siap 100% untuk segera berangkat meskipun sudah disepakati sebelumnya akan berangkat jam 1.30 siang. Ada yang belum ganti pakaian renang. Ada yang masih sibuk mengoleskan sunblock cream hingga rata keseluruh tubuh untuk mencegah kulit dari terbakar sinar matahari. Untuk urusan yang satu ini cewek-cewek rempong banget karena tak mau memudar kecantikannya. Di saat seperti ini, timbulah aktivitas saling bully secara spontan, menyindir lambatnya persiapan kami. Tapi ini yang bikin seru; kami menjadi semakin akrab di luar urusan pekerjaan.
Kami tak punya ide dibawa pergi ke mana. Gugusan pulau cantik kami lewati begitu saja. Seperti bermain tebak-tebakan saja, jawaban yang saya ajukan selalu salah. Termasuk salah satu pulau dengan bibir pantai putih menawan yang ’dimiliki’ oleh seorang pengusaha kaya. Semua perahu tak boleh memasuki pulau itu. Sebuah yacht bersandar di dermaganya menandakan adanya aktivitas kunjungan dari keluarga pemilik atau kolega dekatnya. Melihat hal itu, kami hanya bisa bertanya-tanya siapa mereka; punya kuasa penuh menikmati sebuah pulau pribadi. Saya berharap tak akan ada lagi penyewaan pulau untuk orang kaya. Bila hal ini terjadi, maka otomatis wisata pulau yang dikelola oleh masyarakat akan mati. Karena tidak ada lagi yang bisa ditawarkan kepada wisatawan.
Atraksi alam yang saya tunggu akhirnya datang juga. Bermain-main di atas hamparan pasir yang dikepung birunya air laut. Tempat ini seperti sebuah pulau pasir yang muncul memanjang di atas perairan. Saya sudah bersemangat sedari kapal berlabuh di pulau pasir itu. Setiap sudut tempat ini menawarkan sisi keindahan, sehingga kami pun ingin berlama-lama di sana. Yang menjadi tantangan adalah banyaknya pengunjung yang berebut tempat. Terutama untuk keperluan berfoto yang menginginkan latar belakang alam tanpa kerumunan orang. Untuk urusan ini, Nea, Ole, dan Reta repot sendiri demi mendapatkan gambar yang bagus dengan ’menyembunyikan’ bentuk tubuh yang kurang sedap tertangkap kamera. Berbagai gaya foto, dari melompat hingga tengkurap di atas pasir mirip paus terdampar dijajal semua. Kami para cowok mau nggak mau harus jadi fotografer mereka. Pengambilan foto dilakukan berkali-kali untuk mendapatkan hasil pemotretan yang memuaskan.