Mohon tunggu...
Dian Anjar Nugroho
Dian Anjar Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Penulis dan tenaga luwes. Bergerak di kolektif pertunjukan Karangdunyo dapat dijumpai di instagram @anjardiann

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Menjamurnya Angkringan Palsu di Jogja

17 Februari 2024   13:55 Diperbarui: 17 Februari 2024   13:56 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Angkringan telah menjadi destinasi kuliner yang sangat digandrungi wisatawan. Di jogja sendiri, popularitas angkringan sudah layak disandingkan gudeg dan bakpia. Tidak sah rasanya kalau berkunjung ke jogja tidak menyempatkan diri ke angkringan yang terkenal dengan makanan dan minumanya yang murah itu. Angkringan sudah seperti interior kota yang keberadaanya hampir ada di setiap sudut. Secara tidak langsung, angkringan adalah wajah dari Jogja itu sendiri.

Seiring berkembangnya zaman, angkringan telah mengalami banyak perubahan konsep, baik perubahan dari segi tempat maupun menunya. Sekarang, tidak sedikit angkringan yang berubah konsep ala-ala kafe dengan fasilitas seperti wifi, pembayaran melalui Qris, dan juga bangku kursi tambahan, atau bahkan ada live music juga. Nah, apakah konsep angkringan seperti itu masih bisa disebut angkringan yang sebenarnya ?

Menurut saya tentu saja tidak. Pada kenyataanya, banyak angkringan di zaman sekarang yang telah kehilangan identitasnya. Dalam perjalananku mampir di berbagai angkringan di kota jogja, hanya sedikit sekali angkringan yang benar-benar asli.

"Loh emang ada ya angkringan palsu ?"

Tentu saja ada. Mari kita lihat perbedaan antara angkringan asli dan palsu, baik dari segi tempat, bentuk gerobak, maupun menu makanan.

Dari segi tempat, angkringan asli lebih sering berpindah-pindah, dari pinggir jalan ke pinggir jalan yang lain. Hal itu yang membuat gerobak angkringan asli di desain sepraktis mungkin agar mempermudah mobilitas. Desain gerobak yang praktis meliputi adanya terpal sebagai dinding dan tempat untuk memasak air menggunakan cerek yang terletak di gerobaknya. Bahkan ada yang bisa muat dua cerek sekaligus. Satu cerek untuk memasak air, dan satunya untuk wedang jahe. Terkadang arang yang digunakan untuk memasak air tersebut juga bisa digunakan untuk membakar sate maupun ceker. Desain gerobak seperti ini yang kemudian menjadi identitas gerobak angkringan.

Nah sedangkan angkringan palsu biasanya dikonsep ala-ala cafe dengan meja dan kursi tambahan. Air pun di masak terpisah dari gerobaknya, sehingga bentuk gerobak angkringan palsu ala kafe kebanyakan cenderung lebih kecil. Konsep angkringan seperti ini secara tidak langsung justru meruntuhkan makna dari "ngangkring" itu sendiri. Bagi orang jogja dan sekitarnya "ngangkring" adalah posisi ketika duduk dengan satu kaki diangkat ke atas. Duduknya pun di kusi panjang tanpa sandaran.

Kalau dari segi menu, angkringan asli biasanya menjual tempe bacem, tahu bacem, jadah, juga nasi bakar dan nasi kucing yang dibungkus daun pisang. Di angkringan palsu, nasi kucing dibungkus menggunakan bekas soal ujian atau foto kopi KK. Kamprett banget, udah kaya tempat sampah aja. Lebih parahnya lagi, di angkringan palsu menu makanan traditional semacam tempe, jadah, dan tahu bacem sudah tidak ada. Dan justru malah memilih menjual tempura dan sosis dengan harga selangit. Minuman andalan angkringan asli seperti wedang jahe, wedang teh, jahe susu, dan jahe kopi pun tidak ada harga dirinya di mata angkringan palsu. Jarang sekali angkringan palsu menyediakan minumam tersebut, entah karena malas atau sepi peminat. Angkringan palsu justru malah lebih banyak menjual minuman-minuman sachet. Huff tidak ada traditionalnya sama sekali. Padahal angkringan adalah simbol dari kesederhanaan dan ketraditionalan.

Banyak sekali filosofi angkrinagn yang kabur di jaman sekarang. Kaburnya filosofi ini salah satunya dipengaruhi oleh para kapitalis yang hanya mementingkan cuan saja. Mereka membungkus ketololan mereka dengan cara membuat angkringan lebih modern dan sebagainya. Padahal nilai filosofis angkringan bukan disitu. Angkringan tidak hanya sebatas bentuk gerobak maupun menu makanan dan minumanya, tetapi juga tentang budaya, tentang suasana yang dibentuk, dan juga tentang interaksi antar pengungjung.

Kesemena-menaan pengusaha angkringan kapitalis ini mengakibatkan banyak wisatawan luar jogja yang tidak tahu angkringan yang asli itu seperti apa.

Saya pernah tanya ke satu gerombolan wisatawan dari palembang waktu itu, tentang bagaimana kesan mereka ketika pertama kali ke angkringan jogja. Mereka pun menjawab begini

" asik, tempatnya bagus, estetik, penyanyinya juga suaranya bagus, tempuranya murah"

Tempura muatamuuuu, batinku.

Kalimat jogja terbuat dari rindu pulang dan angkringan seharusnya bisa membuat masyarakat jogja tergerak untuk melestarikan nilai filosofis angkringan yang semestinya. Kalau perlu kalimat itu harus dijadikan label angkringan asli. Ditempel di terpal-terpalnya. Jangan malah ditempel di tempat angkringan yang palsu. Piye tio kihhh

Untuk melestarikan filosofi angkringan, maka antara pelanggan dan pengusaha angkringan pun harus saling bekerjasama dalam menjaga dan menyepakati norma-norma yang seharusnya ada di angkringan. Seperti norma egalitarian dan norma penekanan terhadap komunikasi tatap muka.. Selain itu juga harus mempertahankan bentuk gerobak dan menu-menu yang menjadi identitas angkringan yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun