Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Maladewa Hadapi Krisis Keuangan Karena Para Pedagang Melego Utang Negara

6 September 2024   20:02 Diperbarui: 6 September 2024   20:06 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Maladewa Mohamed Muizzu | Sumber  Mohamed Muizzu X/Eurasia Review

Oleh Veeramalla Anjaiah

Maladewa, sebuah negara tujuan wisata populer di Asia Selatan, tengah  menghadapi krisis keuangan yang parah karena para investor berbondong-bondong menjual obligasi Islam negara tersebut, yang dikenal sebagai sukuk. Aksi jual ini meningkat dalam beberapa minggu terakhir, dengan sukuk berdenominasi dolar yang akan jatuh tempo pada tahun 2026 turun di bawah 70 sen per dolar, yang merupakan rekor terendah, lapor saluran berita WION situs kantor berita baru-baru ini.

Sukuk, menurut jurnal Eurasian Review, adalah sertifikat keuangan Islam, mirip dengan obligasi dalam keuangan Barat. Namun, sertifikat ini mematuhi hukum agama Islam, yaitu Syariah. Karena struktur obligasi pembayaran bunga tradisional Barat tidak diizinkan di Maladewa sebagai negara Muslim, penerbit Sukuk menjual sertifikat kepada investor, lalu menggunakan hasilnya untuk membeli aset yang sebagian kepemilikannya dimiliki oleh investor. Penerbit juga harus membuat janji kontraktual untuk membeli kembali obligasi tersebut di masa mendatang dengan nilai nominal.

Sejauh ini, tidak ada satu pun pemerintah Maladewa yang pernah gagal membayar Sukuk. Namun, Pemerintahan Presiden Mohamed Muizzu saar ini terancam gagal bayar.

Maladewa tengah menghadapi krisis ekonomi parah yang membahayakan tatanan sosial dan stabilitas politiknya. Di bawah Presiden Muizzu, masalah keuangan negara tersebut telah meningkat, ditandai dengan melonjaknya utang, menyusutnya cadangan devisa dan meningkatnya ketergantungan pada bantuan asing, khususnya dari China.

Menurut surat kabar Financial Times, obligasi Maladewa merosot setelah Fitch Ratings menurunkan peringkat utang negara kepulauan itu untuk kedua kalinya dalam dua bulan akibat krisis keuangan yang semakin dalam.

Pada bulan Juni lalu, Fitch menurunkan peringkat Maladewa menjadi CCC+ atau risiko kredit "sangat tinggi".

Menurut saluran berita Daily Mirror Online, skala krisis utang Maladewa sangat mengejutkan. Hingga bulan Maret 2024, total utangnya mencapai AS$8,3 miliar, yang merupakan 110,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Utang ini terdiri dari utang anggaran sebesar $7,38 miliar dan utang terjamin sebesar $921 juta. Terlebih lagi, utang luar negeri mencapai $3,4 miliar, atau 45 persen dari PDB, yang menimbulkan risiko signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan kedaulatan negara tersebut.

Maladewa berutang $1,11 miliar kepada China, yang merupakan 14,77 persen dari PDB dan 32,8 persen dari utang luar negerinya. Tingkat utang yang tinggi terhadap satu negara ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang kemandirian ekonomi dan pengaruh politiknya. Konsentrasi utang di antara beberapa kreditor utama membuat Maladewa rentan terhadap tekanan eksternal dan membatasi kemampuan manuver ekonominya.

Sebagai respons terhadap krisis tersebut, pemerintahan Presiden Muizzu secara aktif mencari bantuan keuangan. Rencana pembiayaan tahun 2024 ambisius dan berisiko, menargetkan pinjaman proyek sebesar $306 juta, dukungan anggaran atau obligasi negara sebesar $456 juta dan $51 juta melalui obligasi hijau atau biru.

Menurut saluran berita Daily Mirror Online, Maladewa telah mengajukan beberapa permintaan bantuan keuangan, termasuk hibah sebesar $200 juta dan pinjaman lunak sebesar $350 juta dari China, serta pertukaran mata uang sebesar $500 juta. Selain itu, Muizzu telah mengajukan permohonan kepada Abu Dhabi sebesar $80 juta untuk Proyek Pengembangan Bandara Internasional Velana, serta telah meminta hibah tunai sebesar $50 juta dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Oman, Kuwait dan Qatar, beserta setoran sebesar $200 juta kepada Otoritas Moneter Maladewa.

China telah menanggapi dengan memberikan hibah tunai tambahan sebesar $10 juta serta ada laporan yang belum dikonfirmasi mengenai penangguhan pembayaran pinjaman dari China dan UEA selama lima tahun. Namun, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mengatasi kebutuhan keuangan Maladewa yang besar.

Menurut WION, Kongres Nasional Rakyat yang berkuasa, yang dipimpin oleh Presiden Muizzu yang pro-China, memperoleh mayoritas parlemen awal tahun ini, yang memperumit lanskap geopolitik. Kampanye "India Out" dan kurangnya likuiditas dolar merupakan tanda bahaya bagi beberapa investor, seperti Maciej Woznica dari Coeli Frontier Markets, yang tetap berhati-hati dalam berinvestasi kembali di negara tersebut.

Maladewa sedang mengalami krisis utang sukuk. | Sumber raaje.mv
Maladewa sedang mengalami krisis utang sukuk. | Sumber raaje.mv

Oleh karena itu, jelas bahwa Maladewa menghadapi krisis keuangan yang parah karena investor menjual obligasi Islam negara tersebut dikarenakan takut gagal bayar. Pemerintah Maladewa harus bertindak cepat untuk mengatasi situasi ekonomi yang memburuk ini dan mengamankan suntikan devisa demi menghindari potensi gagal bayar atas utang sukuknya. Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan cara untuk memulihkan ekonomi sepenuhnya sekaligus menjaga hubungan yang sehat dengan negara-negara tetangga.

Di tengah perubahan ini, mantan Presiden Mohamed Nasheed, surat kabar Business Week, menyerukan agar situasi keuangan negara lebih transparan. Mantan Ketua DPR itu mengatakan masyarakat harus diberi tahu dengan jelas bagaimana situasi keuangan telah mencapai titik ini, apa yang diharapkan terjadi selanjutnya dan apa yang direncanakan untuk mengatasinya.

Mantan menteri keuangan itu mengemukakan pengeluaran pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan krisis saat ini.

"Maladewa telah banyak meminjam dari India dan China serta kreditor swasta untuk membiayai defisit anggaran yang terus meningkat karena pandemi COVID-19 telah menghancurkan sektor pariwisata, penghasil devisa terbesar negara tersebut," tulis jurnalis PK Balachandran dalam jurnal Eurasia Review.

Perekonomian Maladewa masih berada di titik kritis. Meskipun mencari dana talangan keuangan jangka pendek dapat memberikan kelegaan sementara, hal ini tidak mengatasi masalah struktural yang mendasarinya. Risiko semakin dalamnya ketergantungan pada kekuatan eksternal dan kemungkinan gagal bayar kewajiban internasional dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan investor, penurunan pariwisata dan potensi keresahan sosial. Pemerintahan Presiden Muizzu sedang menghadapi tantangan berat dalam mencegah bencana ekonomi besar-besaran sembari mengelola kerentanan keuangan negara yang signifikan.

Penulis adalah jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun