Menurut saluran berita Daily Mirror Online, Maladewa telah mengajukan beberapa permintaan bantuan keuangan, termasuk hibah sebesar $200 juta dan pinjaman lunak sebesar $350 juta dari China, serta pertukaran mata uang sebesar $500 juta. Selain itu, Muizzu telah mengajukan permohonan kepada Abu Dhabi sebesar $80 juta untuk Proyek Pengembangan Bandara Internasional Velana, serta telah meminta hibah tunai sebesar $50 juta dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Oman, Kuwait dan Qatar, beserta setoran sebesar $200 juta kepada Otoritas Moneter Maladewa.
China telah menanggapi dengan memberikan hibah tunai tambahan sebesar $10 juta serta ada laporan yang belum dikonfirmasi mengenai penangguhan pembayaran pinjaman dari China dan UEA selama lima tahun. Namun, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mengatasi kebutuhan keuangan Maladewa yang besar.
Menurut WION, Kongres Nasional Rakyat yang berkuasa, yang dipimpin oleh Presiden Muizzu yang pro-China, memperoleh mayoritas parlemen awal tahun ini, yang memperumit lanskap geopolitik. Kampanye "India Out" dan kurangnya likuiditas dolar merupakan tanda bahaya bagi beberapa investor, seperti Maciej Woznica dari Coeli Frontier Markets, yang tetap berhati-hati dalam berinvestasi kembali di negara tersebut.
Oleh karena itu, jelas bahwa Maladewa menghadapi krisis keuangan yang parah karena investor menjual obligasi Islam negara tersebut dikarenakan takut gagal bayar. Pemerintah Maladewa harus bertindak cepat untuk mengatasi situasi ekonomi yang memburuk ini dan mengamankan suntikan devisa demi menghindari potensi gagal bayar atas utang sukuknya. Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan cara untuk memulihkan ekonomi sepenuhnya sekaligus menjaga hubungan yang sehat dengan negara-negara tetangga.
Di tengah perubahan ini, mantan Presiden Mohamed Nasheed, surat kabar Business Week, menyerukan agar situasi keuangan negara lebih transparan. Mantan Ketua DPR itu mengatakan masyarakat harus diberi tahu dengan jelas bagaimana situasi keuangan telah mencapai titik ini, apa yang diharapkan terjadi selanjutnya dan apa yang direncanakan untuk mengatasinya.
Mantan menteri keuangan itu mengemukakan pengeluaran pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan krisis saat ini.
"Maladewa telah banyak meminjam dari India dan China serta kreditor swasta untuk membiayai defisit anggaran yang terus meningkat karena pandemi COVID-19 telah menghancurkan sektor pariwisata, penghasil devisa terbesar negara tersebut," tulis jurnalis PK Balachandran dalam jurnal Eurasia Review.
Perekonomian Maladewa masih berada di titik kritis. Meskipun mencari dana talangan keuangan jangka pendek dapat memberikan kelegaan sementara, hal ini tidak mengatasi masalah struktural yang mendasarinya. Risiko semakin dalamnya ketergantungan pada kekuatan eksternal dan kemungkinan gagal bayar kewajiban internasional dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan investor, penurunan pariwisata dan potensi keresahan sosial. Pemerintahan Presiden Muizzu sedang menghadapi tantangan berat dalam mencegah bencana ekonomi besar-besaran sembari mengelola kerentanan keuangan negara yang signifikan.
Penulis adalah jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H