Para penjajah hampir berada sangat dekat dengan Srinagar, ibu kota J&K. Menduga akan adanya bahaya dari Pakistan, penguasa J&K Maharaja Hari Singh mendekati India dan setuju untuk bergabung dengan India pada 26 Oktober 1947. Keesokan harinya pasukan India diterbangkan ke Srinagar dan membebaskan banyak wilayah di J&K.
"Yang mengejutkan Pakistan adalah mereka tidak pernah mengira India akan memobilisasi pasukannya begitu cepat dan menempatkan mereka di Srinagar," ujar Kulkarni.
Bergabung dengan India bukan hanya keputusan Maharaja Hari Singh. Itu adalah keputusan mayoritas rakyatnya.
"Bukan hanya keputusan Maharaja yang menandatangani Perjanjian Instrumental tetapi juga keputusan masyarakat Jammu dan Kashmir --- Dogras, Ladakhis dan pemimpin mayoritas Muslim Syekh Muhammad Abdullah. Itu adalah keputusan bersama," jelas Utpal Kaul, Koordinator Internasional untuk Diaspora Pandit Kashmir Global, mengatakan dalam pidatonya.
Ada perbedaan mendasar antara India dan Pakistan. Beda agama tidak bisa hidup bersama adalah konsep dasar Pakistan yang diciptakan sebagai Republik Islam berdasarkan agama. Namun India mendeklarasikan dirinya sebagai negara sekuler dengan sistem demokrasi. Inilah perbedaan utama antara Pakistan dan India.
Sejak bulan Agustus 1947, Pakistan mengincar J&K. Mereka merekrut 20.000 milisi suku dengan bantuan Tentara Pakistan. Pada tanggal 22 Oktober 1947, milisi suku Pakistan menyerang beberapa kota besar dan kecil di J&K.
"Ribuan umat Hindu dan Sikh dibantai. Para wanita diperkosa. Dan putri-putri kecil mereka dibawa ke Waziristan, Peshawar, Lahore dan tempat lainnya, dimana mereka dijual sebagai pelacur atau budak seks. Ini adalah kisah tragis yang terjadi di tahun 1947," papar Ashwani Kumar Chrungoo, seorang penulis produktif dan aktivis dari J&K, dalam pidatonya.
Pada 22 Oktober 1947, J&K menyaksikan pembantaian oleh milisi suku Pakistan dan Tentara Pakistan di wilayahnya.
"Milisi suku dan Tentara Pakistan tidak hanya melakukan genosida terhadap warga Kashmir tetapi juga menjarah dan memperkosa perempuan. Konflik ini merenggut lebih dari 35.000 nyawa," tutur Veeramalla Anjaiah, jurnalis senior asal Jakarta, dalam pidatonya.