Dengan kekuatan militer dan kekayaan ekonominya yang meningkat, China telah memaksa dan menggertak tetangga-tetangganya di Asia Tenggara. Ada dilema besar di antara negara-negara Asia Tenggara tentang menahan China atau mengambil manfaat dari kebangkitan China.
"Sementara banyak negara Asia Tenggara ingin mengekang ekses terburuk China [...] mereka tidak ingin terjebak dalam menahan kebangkitan China, paling tidak karena banyak dari negara-negara ini juga mendapatkan manfaat darinya," papar Lynn Kuok dari The International Institute for Strategic Studies.
Bab ketiga "Tantangan dan Perubahan" didasarkan pada diskusi panel virtual yang berjudul "Memahami Tantangan China terhadap Tatanan Internasional", yang diadakan pada 22 September 2020.
China sendiri telah menghadapi banyak tantangan untuk menjadi kekuatan global sementara banyak negara Asia telah menghadapi ancaman serius dari kebangkitan China.
Bab keempat "Ambiguitas Strategis" adalah tentang Taiwan dan kebijakan AS terhadap Taiwan, yang memiliki ambiguitas strategis. Di satu sisi AS mengatakan Taiwan adalah bagian dari China dan di sisi lain ia membantu Taiwan sebagai entitas independen dengan memasok senjata.
Dalam pidatonya, Bruce memperingatkan bahwa klaim kedaulatan China atas Taiwan tampaknya memasuki fase terjal, yang jika dibiarkan meningkat, dapat memiliki konsekuensi serius bagi keamanan regional dan ekonomi global. (Hal.136)
Buku itu memberikan deskripsi rinci tentang asal-usul sengketa Taiwan.
Menurut Gardiner, Taiwan berada di bawah pemerintahan kekaisaran China pada tahun 1683 meskipun jarak antara daratan dan Taiwan hanya 180 kilometer. Kemudian China menyerahkan Taiwan kepada Jepang setelah kalah dalam Perang China-Jepang Pertama pada tahun 1895.
Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua pada tahun 1945, ROC mengambil alih Taiwan, sekelompok area yang terdiri dari 168 pulau.
ROC didirikan oleh Dr. Sun Yat-sen setelah Revolusi Xinhai 1911, yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Qing. Setelah kematian Sun pada tahun 1925, Chang Kai-shek menjadi presiden ROC. Pada tahun 1924, Partai Komunis China (PKC) bergabung dengan KMT dalam koalisi untuk melawan panglima perang (warlords). Namun koalisi tersebut berakhir pada tahun 1927, ketika PKC memberontak melawan ROC yang dipimpin oleh KMT.
Terjadi perang saudara yang sengit antara PKC dan pasukan ROC dari tahun 1927 hingga 1949, yang berakhir setelah kemenangan PKC melawan ROC. Dengan 2 juta orang China, sebagian besar tentara, Chang melarikan diri ke Taiwan pada bulan Desember 1949.