Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Semakin Banyak Negara Bergabung dalam Boikot Diplomatik Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022

31 Desember 2021   07:44 Diperbarui: 3 Januari 2022   16:20 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tempat Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 di Provinsi Hebei, China Utara (AP PHOTO/NG HAN GUAN via KOMPAS.com)

Karena Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 semakin dekat, semakin banyak negara turut bergabung dalam boikot diplomatik Olimpiade Beijing, suatu bentuk protes baru di mana para atlet akan tetap berpartisipasi dalam Olimpiade seperti biasa tetapi para pemimpin pemerintah dan pejabat senior tidak akan menghadiri acara tersebut.

Beberapa negara memprotes kekejaman China terhadap Muslim Uighur, Tibet dan Mongol di China serta kepada aktivis pro-demokrasi di Hong Kong.

Medali emas, perak dan perunggu yang akan diberikan kepada para pemenang di Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing. | Sumber: IOC
Medali emas, perak dan perunggu yang akan diberikan kepada para pemenang di Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing. | Sumber: IOC

Dengan motto "Bersatu untuk Masa Depan Bersama", Olimpiade Musim Dingin XXIV atau Olimpiade Musim Dingin 2022 yang juga dikenal sebagai Beijing 2022, akan diadakan pada tanggal 4-20 Februari 2022 di Beijing.

Olimpiade Musim Dingin tidak sepopuler Olimpiade Musim Panas karena olahraga musim dingin hanya populer di beberapa negara. Hanya 86 negara dari 206 anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang akan berpartisipasi di dalam Olimpiade Beijing 2022.

Indonesia tidak ambil bagian di Beijing 2022 tetapi Malaysia, Filipina, Thailand dan Timor Leste dari Asia Tenggara berpartisipasi dalam Beijing Games.

Banyak negara, kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa China, sebuah negara yang diperintah oleh Partai Komunis yang kejam, telah melakukan genosida terhadap Muslim di wilayah Xinjiang, yang sebelumnya dikenal sebagai Republik Turkestan Timur. Negara tersebut dianeksasi oleh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pada tahun 1949. 

Xinjiang adalah provinsi terbesar di China dengan sumber daya alam yang sangat besar. Mayoritas orang di Xinjiang adalah Uighur, sebuah kelompok etnis Turki dan agama utama mereka adalah Islam. Komunis China yang merupakan negara atheis tidak menyukai Islam dan budaya Uighur. 

Muslim Uighur di salah satu kamp re-edukasi di kota Urumqi, Xinjiang, China. | Sumber: BBC
Muslim Uighur di salah satu kamp re-edukasi di kota Urumqi, Xinjiang, China. | Sumber: BBC

Beberapa aktivis di Xinjiang ingin memulihkan kemerdekaan mereka dan mengangkat senjata melawan Komunis China. Sebagai tanggapan, China telah menindak keras komunitas Uighur selama bertahun-tahun. Orang-orang dilarang menjalankan agama, budaya dan bahkan dilarang berbicara dalam bahasa Uighur. Puasa selama bulan suci Ramadhan dan menumbuhkan jenggot tidak diperbolehkan. Pada banyak kesempatan, otoritas China memaksa Muslim Uighur untuk makan daging babi, yang haram bagi Muslim. 

Tentara China membunuh ribuan orang Uighur dan menempatkan jutaan orang dalam penahanan massal, menyiksa dan memperkosa wanita Uighur. Pihak berwenang memaksa para wanita Uighur untuk menggunakan kontrasepsi dan sterilisasi. Beijing telah memindahkan jutaan orang mayoritas Han ke Xinjiang selama periode waktu tertentu. Kini warga Uighur menjadi minoritas di wilayah mereka.

Masjid-masjid dihancurkan dan sekolah-sekolah agama ditutup. Pihak berwenang memaksa wanita Uighur untuk menikah dengan pria Han.

Namun China membantah semua tuduhan ini dan mengatakan bahwa mereka sedang mengobarkan perang melawan teror dan separatisme di Xinjiang.

Genosida ini adalah salah satu yang dilakukan oleh rezim Komunis yang telah membela kejahatannya di depan umum; pada kenyataannya, genosida ini mendukung upaya bersama untuk secara paksa mensterilkan wanita Uighur sebagai "emansipasi", pembebasan dari "mesin pembuat bayi untuk ekstremisme". Pemerintah lah yang menyatakan bahwa mereka tidak akan "menunjukkan belas kasihan" terhadap Muslim Uighur, yang oleh Partai Komunis China disebut memiliki "virus pemikiran menular" karena etnis dan identitas mereka. 

Di seluruh dunia, solidaritas terhadap orang-orang Uighur mendapatkan momentum menjelang Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.

Baru-baru ini, sebuah pengadilan rakyat independen di London memberikan putusannya, menetapkan bahwa Republik Rakyat China (RRC) telah melakukan genosida terhadap Muslim Uighur. Dengan tekad yang independen dan menyeluruh ini, beban sekarang berada di pundak pemerintah di seluruh dunia untuk merespons, khususnya 152 negara yang menandatangani Konvensi Genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa 1950. 

Sayangnya, Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, belum juga menandatangani konvensi ini bahkan setelah lebih dari 70 tahun. Pelaku genosida di Xinjiang, RRC, telah menandatangani dan meratifikasi konvensi ini.

Aktivisme bertahun-tahun kini mulai membuahkan hasil

Pada tanggal 3 Desember, Lithuania, sebuah negara kecil Eropa, adalah negara pertama di dunia yang mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin Beijing untuk memprotes kekejaman China terhadap Uighur.

Tiga hari kemudian, pada tanggal 6 Desember, AS telah mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade sebagai protes terhadap Beijing.

Itu adalah kecaman atas "genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan China yang sedang berlangsung di Xinjiang", kata sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki pada 6 Desember.

Pada 8 Desember, Australia, Inggris, Kanada dan Kosovo juga mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Beijing. 

Kosovo, sebuah negara kecil di Eropa Tenggara, adalah negara mayoritas Muslim pertama yang mengumumkan boikot diplomatik Olimpiade Beijing atas kekejaman China terhadap Muslim.

Beberapa negara seperti Jepang (11 Desember), Estonia (13 Desember) dan Belgia (14 Desember) juga mengikuti jejak AS. Kemudian Austria dan Belgia turut bergabung dengan grup.

Sejauh ini, 11 negara telah bergabung di dalam kelompok tersebut, sebuah koalisi negara yang memilih untuk memprioritaskan hak-hak orang-orang Uighur di atas tontonan dan ekonomi dari acara ini.

Semakin banyak negara dapat bergabung dengan kelompok ini dalam beberapa minggu mendatang. Ini adalah tujuan besar bagi umat manusia.

Idealnya, seseorang tidak boleh mencampuradukkan olahraga dengan politik. Boikot diplomatik adalah cara terbaik untuk memprotes genosida China. Cara ini tidak menghentikan Olimpiade tetapi meningkatkan kesadaran global tentang tragedi Muslim Uighur dan aktivis pro-demokrasi di Hong Kong.

Bukan hal baru

Boikot Olimpiade bukanlah hal baru. Athena adalah kota pertama pada 332 SM yang menyerukan boikot sebuah pertandingan atas praktik pengaturan skor dan korupsi.

Lobi Yahudi mencoba untuk memboikot Olimpiade Berlin 1936 demi memprotes pemerintahan Nazi Adolf Hitler. AS memang mengirimkan delegasi ke Berlin di mana Jesse Owens, seorang warga kulit hitam Amerika, memenangkan empat medali emas, menghancurkan kepercayaan supremasi kulit putih Hitler. 

Lebih dari 20 negara Afrika memboikot Olimpiade Montreal 1976 atas masalah partisipasi Selandia Baru, yang tim rugbinya mengunjungi Afrika Selatan, yang diperintah oleh rezim apartheid saat itu.

Menurut majalah Time, AS memboikot Olimpiade Moskow 1980. Itu adalah protes besar terhadap invasi militer 1979 Uni Soviet ke Afghanistan. Enam puluh lima negara, termasuk Indonesia dan China, memboikot Olimpiade Moskow 1980.

Dalam taktik gayung bersambut, 14 negara yang dipimpin oleh Uni Soviet memboikot Olimpiade Los Angeles 1984 dengan alasan keamanan.

Pada tahun 2008, Olimpiade Musim Panas Beijing, Presiden AS saat itu George Bush menghadiri Olimpiade di Beijing.

Pada tahun 2014, presiden AS Barack Obama dan wakil presiden Joe Biden memutuskan untuk melewatkan Olimpiade Musim Dingin Sochi di Rusia. Prancis dan Jerman tidak mengirimkan pemimpin mereka ke Sochi. Namun, itu bukan merupakan boikot diplomatik penuh. 

Para atlet adalah korban terbesar dari boikot ini. Biasanya, seorang atlet membutuhkan persiapan enam sampai delapan tahun untuk Olimpiade. Akan menjadi malapetaka jika ia dicegah untuk berkompetisi di Olimpiade karena alasan politik. 

"Itu selalu menjadi salah satu masalah terbesar dalam boikot pada tahun 1980 dan 1984, yang dirasakan oleh banyak orang, dan terutama dengan melihat ke belakang, bahwa para atlet lah yang menderita," ungkap Toby Rider, seorang profesor sejarah olahraga di California State University, kepada majalah Time baru-baru ini.

Pada bulan Oktober, Kongres Uighur Dunia mendesak pemerintah untuk menarik diri dari Olimpiade, dengan mengatakan para peserta akan terlibat dengan genosida di China.

Ada liputan luas di media internasional tentang boikot diplomatik.

"Sementara koalisi kelompok hak asasi Tibet, Uyghur, Mongolia Selatan, Hong Kong dan Taiwan yang membentuk kampanye #NoBeijing2022 menyambut baik boikot diplomatik, banyak juru kampanye merasa mereka tidak melangkah cukup jauh dan bahwa para atlet itu sendiri, sponsor perusahaan dan penyiar-penyiar besar juga perlu bertindak jika tekanan benar-benar harus diberikan kepada China," lapor BBC baru-baru ini.

China menjadi marah dan mengancam bahwa negara-negara yang memboikot akan "membayar harga atas tindakan mereka yang salah".

Menurut pengamat, jika ketegangan ini tidak kunjung surut, China dapat mempertimbangkan langkah serupa --- atau tindakan hukuman lainnya --- untuk Olimpiade Musim Panas 2028 di Los Angeles.

Di antara sekutu AS seperti Prancis, Italia dan Korea Selatan tidak bergabung dengan boikot diplomatik dari permainan tersebut. Prancis akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2024 di Paris sementara Italia akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2026. Korea Selatan bergantung pada China untuk rekonsiliasi dengan Korea Utara.

Beberapa negara mencari cara yang aman untuk tidak mengirim pemimpin atau pejabat senior mereka ke Beijing karena pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung, yang berasal dari Wuhan, China, pada bulan Desember 2019. Mereka tidak akan mengumumkan secara resmi bahwa mereka akan bergabung dengan diplomatik boikot Olimpiade.

Lebih penting dari sebelumnya bahwa pemerintah di seluruh dunia memutuskan sisi mana dari pertarungan ini yang akan mereka bela. Pertanyaan yang bisa kita ajukan adalah: Sisi mana yang akan dipilih Indonesia?

Indonesia harus mengecam perlakuan buruk terhadap Muslim Uighur. Sungguh memalukan melihat banyaknya negara Muslim yang bungkam tentang Muslim Uighur. Bahkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tidak berbuat banyak terhadap warga Uighur.

Negara-negara Barat yang mayoritas Kristen, apa pun niat politik mereka, memimpin gerakan protes global dalam melawan Komunis China. Banyak orang akan terkejut melihat Israel, negara yang terkenal dengan penganiayaan Muslim Palestina, telah datang dengan keras melawan China untuk membela hak dan kebebasan Muslim di Xinjiang.

Jika negara seperti Israel bisa melakukannya, sudah menjadi kewajiban moral negara-negara mayoritas Muslim dan umat untuk menunjukkan solidaritas dan dukungan kepada sesama Muslim di Xinjiang.

***

Oleh Veeramalla Anjaiah

Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun