Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kerusuhan Pecah di Kepulauan Solomon, Mengapa?

30 November 2021   23:15 Diperbarui: 1 Desember 2021   07:56 2261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusuhan terjadi di ibu kota Kepulauan Solomon, Honiara, Jumat (26/1/2021). Salah satu penyebab kerusuhan adalah konflik antara China Komunis dan Taiwan yang demokratis menyebar ke negara Kepulauan Solomon. Sumber: AFP PHOTO/CHARLEY PIRINGI via Kompas.com

Oleh Veeramalla Anjaiah

Apakah konflik antara China Komunis dan Taiwan yang demokratis menyebar ke negara Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan?

Sepertinya begitu jika kita melihat apa yang terjadi dari 24 hingga 26 November di Honiara, ibu kota Kepulauan Solomon.

Pada awalnya, ada protes rakyat terhadap pemerintah tetapi dengan cepat berbalik melawan orang China yang tinggal di Kepulauan Solomon.

Menurut surat kabar Solomon Star, banyak orang China dan keluarga-keluarga telah kehilangan segalanya dan juga kehilangan tempat tinggal setelah terjadinya penjarahan dan pembakaran toko-toko serta properti yang meluas minggu lalu.

Para perusuh membakar seluruh China Town di Honiara dan polisi menemukan tiga mayat pada hari Sabtu (27 November) di antara puing-puing.

Asosiasi China Kepulauan Solomon (SICA) mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kekerasan dan penjarahan pada tanggal 28 November.

"SICA mengutuk, dalam istilah yang sekuat mungkin, penjarahan dan pembakaran toko dan properti yang tidak masuk akal yang telah membahayakan nyawa banyak individu serta keluarga yang tidak bersalah, termasuk penduduk asli Kepulauan Solomon. Banyak individu dan keluarga China telah kehilangan segalanya dan juga kehilangan tempat tinggal," kata SICA.

Australia, Fiji dan Papua Nugini mengerahkan polisi dan pasukan keamanan untuk memulihkan perdamaian di negara kepulauan tersebut. Situasi sekarang sudah kembali normal.

Mengapa orang China menjadi sasaran utama para perusuh?

Menurut Global Times, ada 3.000 warga China yang tinggal di Kepulauan Solomon, kepulauan terbesar ketiga di Pasifik Selatan. Lebih dari 90 persen dari mereka tinggal di Honiara.

Orang orang bersihkan puing-puing sebuah rumah setelah kerusuhan di Honiara. | Sumber: Evan Wasuka/ABC News
Orang orang bersihkan puing-puing sebuah rumah setelah kerusuhan di Honiara. | Sumber: Evan Wasuka/ABC News

Latar belakang

Kepulauan Solomon, yang terdiri dari enam pulau besar dan lebih dari 900 pulau kecil, berpenduduk 710,535 jiwa. Mayoritas penduduk pulau adalah orang Melanesia tetapi berbicara sekitar 87 bahasa asli. Kepulauan Solomon merdeka dari Inggris pada tanggal 7 Juli 1978.

Taiwan atau Republik China menjalin hubungan diplomatik dengan Kepulauan Solomon pada 24 Maret 1983 dan menjalin hubungan baik hingga tahun 2019. Taiwan berperan besar dalam bidang pendidikan dan kesehatan di Kepulauan Solomon.

Republik Rakyat China (RRC) tidak menyukai persahabatan Taiwan dengan Kepulauan Solomon. China atau RRC menganggap Taiwan sebagai provinsi yang membangkang tetapi Taiwan mengklaim dirinya sebagai negara merdeka.

Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare. | Sumber: Forum Solomon Islands International 
Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare. | Sumber: Forum Solomon Islands International 

Perdana Menteri Kepulauan Solomon saat ini Manasseh Sogavare dulunya adalah penggemar berat Taiwan tetapi kemudian ia mengalihkan kesetiaannya ke China. 

Dalam beberapa tahun terakhir, menurut para perusuh, yang sebagian besar berasal dari provinsi terpadat Malaita, China membayar uang suap kepada anggota parlemen dan pemimpin politik untuk mengalihkan pengakuan Kepulauan Solomon ke China dari Taiwan.

Pada tahun 2019, Parlemen Kepulauan Solomon menarik pengakuannya atas Taiwan dan menjalin hubungan diplomatik dengan China.

Hal ini membuat marah banyak orang di Malaita karena Taiwan memberikan berbagai jenis bantuan kepada rakyat selama 36 tahun. Selama pandemi COVID-19, Taiwan mengirimkan 50 juta ton beras ke Malaita.    

The Guardian melaporkan pada tahun 2019 bahwa China menawarkan suap berkisar antara AS$246,000 hingga $615,000 per legislator. Anggota Pro China mengklaim bahwa mereka menerima tawaran hingga $1 juta dari Taiwan. Baik China maupun Taiwan menolak tuduhan ini. Akhirnya, China memenangkan pertempuran tetapi membagi negara menjadi dua kelompok: pro China dan pro Taiwan. 

Orang-orang di Malaita, provinsi terbesar, masih setia kepada Taiwan.

Perdana Menteri Malaita Daniel Suidani mengatakan dalam sebuah pernyataan baru-baru ini bahwa Sogavare telah "meningkatkan kepentingan orang asing di atas orang-orang Kepulauan Solomon" dan harus mengundurkan diri.

Para pengunjuk rasa, yang berasal dari Malaita, mengecam pemerintah karena korupsi, kurangnya akuntabilitas dan layanan publik serta orang asing yang mencuri kesempatan kerja penduduk setempat.

Demonstran juga menyerukan pemerintah Sogavare untuk membatasi hubungan dengan China, menghormati hak rakyat Malaita untuk menentukan nasibnya sendiri dan untuk melanjutkan proyek pembangunan di provinsi Malaita.

Lebih dari 100 orang telah ditangkap pada tanggal 27 November, menurut polisi, yang mengimbau para perusuh untuk berhenti menjarah dan membakar gedung-gedung dan memperingatkan penangkapan lebih lanjut jika kerusuhan tidak berhenti.

Sogavare mengatakan pada 26 November bahwa ia mendukung keputusan pemerintahnya untuk merangkul Beijing, yang ia gambarkan sebagai "satu-satunya masalah" dalam kekerasan tersebut.

Ia menyalahkan campur tangan asing dalam kerusuhan tanpa menyebut nama negara mana pun.

"Saya tidak akan tunduk pada siapa pun. Kami utuh, pemerintah utuh dan kami akan membela demokrasi," kata Sogavare.

China sangat mendukung Sogavare.

"Kami mendukung upaya pemerintah untuk mengakhiri kekerasan dan kekacauan. Kami yakin bahwa di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Manasseh Sogavare, pemerintah Kepulauan Solomon dapat segera memulihkan ketertiban dan stabilitas sosial," kata Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China kepada Global Times.

Zhao juga menekankan bahwa prinsip satu-China sebagai norma dasar yang mengatur hubungan internasional. "Semua upaya untuk mengganggu perkembangan normal hubungan antara China dan Kepulauan Solomon hanya sia-sia," kata Zhao.

Banyak orang di Kepulauan Solomon setuju bahwa kebijakan luar negeri beralih ke Beijing dengan sedikit konsultasi publik adalah salah satu dari campuran masalah yang menyebabkan protes. Ada juga keluhan bahwa perusahaan asing tidak menyediakan pekerjaan lokal.

"Bisnis China dan bisnis Asia [lainnya] [...] tampaknya memiliki sebagian besar pekerjaan, terutama dalam hal penggalian sumber daya, yang sangat dirasakan oleh masyarakat," ujar Gina Kekea, seorang jurnalis lokal, kepada ABC.

Sudah menjadi ciri khas China jika ingin berinvestasi di luar negeri, maka akan mendatangkan sendiri bahan baku, peralatan bahkan tenaga kerja dari China.

Ini bukan pertama kalinya orang China menjadi sasaran di Kepulauan Solomon.

Pada tahun 2006, beberapa pengusaha China membantu satu politisi tertentu untuk memenangkan pemilihan, yang menyebabkan kerusuhan meluas. China Town diserang dan banyak toko dibakar. China mengevakuasi warganya dari Kepulauan Solomon.

Rupanya, menurut beberapa pengamat, Australia dengan cepat melakukan intervensi di Kepulauan Solomon untuk menghindari pasukan China di lingkungannya.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada tanggal 25 November mengirim pasukan, polisi dan diplomat ke Kepulauan Solomon untuk memulihkan perdamaian dan keadaan normal di sana. Memang benar bahwa Sogavare telah meminta bantuan Australia.

"Kepulauan Solomon menjangkau kami terlebih dahulu [...] sebagai keluarga karena mereka mempercayai kami dan kami telah bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan itu di Pasifik," kata Morrison.

"Itu adalah wilayah kami dan kami berdiri untuk mengamankan wilayah kami dengan mitra kami, teman-teman kami, keluarga kami dan sekutu kami."

Australia sudah memiliki pengalaman sebelumnya di Kepulauan Solomon.

Australia memimpin pasukan polisi dan militer internasional yang disebut Misi Bantuan Regional ke Kepulauan Solomon yang memulihkan perdamaian di negara itu setelah kekerasan etnis berdarah antara Gerakan Kebebasan Istabu dan Pasukan Elang Malaita dari tahun 2003 hingga 2017.

Unik sekali, ribuan orang di provinsi Malaita mengekspresikan kemarahan mereka terhadap China yang hanya fokus mencari keuntungan cepat dan mengabaikan kondisi lokal serta harapan masyarakat. Ini adalah fenomena langka bahwa orang-orang di Kepulauan Solomon masih menyukai Taiwan.

Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun