Zhao juga menekankan bahwa prinsip satu-China sebagai norma dasar yang mengatur hubungan internasional. "Semua upaya untuk mengganggu perkembangan normal hubungan antara China dan Kepulauan Solomon hanya sia-sia," kata Zhao.
Banyak orang di Kepulauan Solomon setuju bahwa kebijakan luar negeri beralih ke Beijing dengan sedikit konsultasi publik adalah salah satu dari campuran masalah yang menyebabkan protes. Ada juga keluhan bahwa perusahaan asing tidak menyediakan pekerjaan lokal.
"Bisnis China dan bisnis Asia [lainnya] [...] tampaknya memiliki sebagian besar pekerjaan, terutama dalam hal penggalian sumber daya, yang sangat dirasakan oleh masyarakat," ujar Gina Kekea, seorang jurnalis lokal, kepada ABC.
Sudah menjadi ciri khas China jika ingin berinvestasi di luar negeri, maka akan mendatangkan sendiri bahan baku, peralatan bahkan tenaga kerja dari China.
Ini bukan pertama kalinya orang China menjadi sasaran di Kepulauan Solomon.
Pada tahun 2006, beberapa pengusaha China membantu satu politisi tertentu untuk memenangkan pemilihan, yang menyebabkan kerusuhan meluas. China Town diserang dan banyak toko dibakar. China mengevakuasi warganya dari Kepulauan Solomon.
Rupanya, menurut beberapa pengamat, Australia dengan cepat melakukan intervensi di Kepulauan Solomon untuk menghindari pasukan China di lingkungannya.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada tanggal 25 November mengirim pasukan, polisi dan diplomat ke Kepulauan Solomon untuk memulihkan perdamaian dan keadaan normal di sana. Memang benar bahwa Sogavare telah meminta bantuan Australia.
"Kepulauan Solomon menjangkau kami terlebih dahulu [...] sebagai keluarga karena mereka mempercayai kami dan kami telah bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan itu di Pasifik," kata Morrison.
"Itu adalah wilayah kami dan kami berdiri untuk mengamankan wilayah kami dengan mitra kami, teman-teman kami, keluarga kami dan sekutu kami."
Australia sudah memiliki pengalaman sebelumnya di Kepulauan Solomon.