Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kekaisaran Qing: Kepulauan Paracel Bukan Bagian dari China

20 September 2021   17:17 Diperbarui: 20 September 2021   17:20 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Veeramalla Anjaiah

Pakar Laut China Selatan (LCS) dari Inggris yang terkenal Bill Hayton baru-baru ini menemukan bukti langka dari Arsip Nasional Inggris, yang dapat mendiskreditkan klaim China atas hak bersejarah atas Kepulauan Paracel di LCS. 

Demikian dilansir oleh situs Radio Free Asia (RFA) pada tanggal 7 September 2021.

Hayton, menurut RFA, baru-baru ini menemukan dokumen semi-resmi, terjemahan surat yang ditulis oleh Zongli Yamen (Kementerian Luar Negeri) Kekaisaran Qing (1644-1912) kepada pejabat Inggris yang berbasis di China pada tahun 1899 tentang kapal Jerman yang rusak bernama Bellona di kepulauan Paracel.

Surat tertanggal 8 Agustus 1899 tersebut ditujukan kepada Henry Bax-Ironside di British Legion di Peking (sekarang Beijing).

Bellona membawa tembaga dan hancur di kepulauan beberapa tahun sebelum 1899. Tembaga, yang diasuransikan oleh perusahaan asuransi Inggris di Bellona dicuri oleh nelayan China. 

Surat itu merupakan jawaban atas permintaan Inggris untuk kompensasi atas penjarahan isi kapal. Isi surat itu sangatlah mengejutkan. China mungkin menghadapi kesulitan baru atas klaimnya terhadap Kepulauan Paracel. 

Melalui surat tahun 1899, Kekaisaran Qing menolak kompensasi atas tembaga yang diasuransikan Inggris karena Kepulauan Paracel adalah "laut lepas" dan bukan bagian dari wilayah China.

Namun masalah besarnya adalah surat aslinya yang dalam bahasa Mandarin belum ditemukan. Jika ditemukan, itu akan menjadi pengubah permainan yang besar. Tidak ada yang tahu di mana surat asli itu sekarang.

Namun yang mengejutkannya, Hayton juga menemukan beberapa bukti tambahan.

Hayton, penulis "The Invention of China" (2020) dan "Laut China Selatan" (2014), mengatakan ia juga menemukan transkripsi surat yang berbeda dari raja muda Liangguang - yang terdiri dari daerah Guangdong dan Guangxi - kepada Konsul Inggris di Kanton, Byron Brenan, pada tanggal 14 April 1898, membicarakan kasus yang sama.    

Raja muda Tan Zhong Lin menulis bahwa pihak berwenang China tidak mungkin melindungi kapal karam karena mereka berada di "laut biru yang dalam", sehingga mereka tidak dapat mengakui klaim kompensasi tersebut. 

"Ini masih belum menjadi bukti yang kuat," kata Hayton.

Vietnam dan Taiwan juga mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel tetapi saat ini diduduki oleh China sejak tahun 1974.

"Tetapi akan sangat membantu bagi Vietnam untuk membuat kasus bahwa China benar-benar tidak peduli dengan pulau [Paracel] hingga beberapa waktu kemudian," kata Hayton.

Peta Kepulauan Paracel
Peta Kepulauan Paracel

Menurut RFA, kasus tembaga Bellona juga disebutkan dalam sebuah surat di tahun 1930 dari gubernur jenderal Prancis di Indochina kepada menteri Prancis untuk koloni di mana raja muda Kanton China dikutip yang menyatakan bahwa Paracel adalah "pulau yang ditinggalkan" dan "bukan milik China maupun Vietnam" serta "tidak ada otoritas khusus yang bertanggung jawab untuk mengawasi mereka."

Indochina yang terdiri dari Vietnam, Kamboja dan Laos pernah diperintah oleh kekuasaan kolonial Prancis di masa lalu.

China mengklaim apa yang disebut hak bersejarah di Paracels, Kepulauan Spratly dan beberapa bagian Laut Natuna Utara Indonesia. Menurut China, daerah-daerah ini adalah bagian dari China sejak zaman kuno. Semua klaim ini didasarkan pada peta Sembilan Garis Putus tahun 1947 yang kontroversial.

Di sisi lain, Vietnam memiliki bukti sejarah yang kuat untuk menunjukkan bahwa Kepulauan Paracel adalah miliknya. Mereka menyebut Paracels Hoang Sa dalam bahasa Vietnam sementara China menyebutnya Xisha.

Hoang Sa adalah bagian dari Vietnam yang dikuasai oleh Prancis. Mereka diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia Kedua (1939-1945). Hingga tahun 1974, Hoang Sa dikuasai oleh Vietnam Selatan.

Pada tanggal 19 Januari 1974, China menginvasi Hoang Sa dan menguasai seluruh Hoang Sa dari Vietnam Selatan. China membunuh 75 tentara Vietnam dalam Perang Kepulauan Paracel 1974. China adalah negara pertama yang menggunakan militer dalam sejarah sengketa LCS.

Hak historis China dan Garis Sembilan Putus-nya yang kontroversial (sekarang Sepuluh Garis Putus) ditolak oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia dan banyak negara.

Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berbasis di Den Haag menolak hak historis China dan peta Sembilan Garis Putus-nya di LCS karena China telah menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan meratifikasinya. Klaim China bertentangan dengan prinsip dan aturan UNCLOS.

Bukti baru Hayton telah menarik banyak perhatian di antara sejarawan global dan pakar maritim.

Nguyen Nha, seorang sejarawan Vietnam terkenal, mengatakan kepada RFA bahwa surat yang baru ditemukan itu dapat menjadi bukti berharga lainnya bahwa China tidak memegang kepemilikan Paracel sejak zaman kuno seperti yang selalu ditegaskan.

Menggemakan pandangan serupa, sejarawan Norwegia dan peneliti LCS Stein Tonnesson mengatakan bahwa surat itu "mungkin mengkonfirmasi sumber lain yang menunjukkan bahwa Kekaisaran Qing pada saat itu tidak menganggap Paracel sebagai wilayah China".

"Tetapi pada tahun 1909 hal itu terjadi, dan saya tidak yakin kurangnya klaim pada tahun 1899 akan membatalkan klaim yang dibuat sepuluh tahun kemudian," katanya.

Ketiadaan surat asli dalam bahasa Mandarin menjadi masalah besar dalam perdebatan tersebut.

Ian Storey, seorang rekan senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, memperingatkan:

"China akan mengaburkan masalah ini dengan mempertanyakan keaslian surat tersebut," ujar Storey.

Hayton bilang ia akan mencari surat aslinya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan bahwa China dan Vietnam harus menahan diri dari tindakan sepihak yang dapat memperumit situasi dan memperbesar perselisihan.

Ia mengatakan ini pada saat pertemuannya dengan Wakil Perdana Menteri Vietnam Pham Binh Minh di Hanoi pada tanggal 11 September lalu.

Itu merupakan pernyataan aneh dari Wang, yang juga Penasihat Negara (State Councilor) China atas tindakan sepihak di LCS.

China lah yang menguasai Hoang Sa dari Vietnam pada tahun 1974 dengan menggunakan kekerasan. China secara paksa mengusir Vietnam dari Fiery Cross Reef pada awal tahun 1988 dan dari John South Reef pada bulan Maret 1988. China juga mengusir Filipina dari Mischief Reef pada tahun 1995 dan memblokir aksesnya ke Scarborough Shoal di tahun 2012.

China adalah negara yang secara ilegal membangun banyak pulau buatan di LCS dan mengubah beberapa di antaranya menjadi instalasi militer. Mereka sering melecehkan nelayan Vietnam dan Filipina. Mereka juga ingin menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Berkali-kali China melanggar zona eksklusif ekonomi Vietnam dengan mengirimkan kapal survei dan kapal penjaga pantai.

Pada bulan Maret tahun ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Le Thi Thu Hang mengeluh bahwa kapal-kapal China di Whitsun Reef, yang Hanoi sebut sebagai Da Ba Dau, telah melanggar kedaulatannya.

Rupanya, China khawatir dengan meningkatnya aktivisme AS di Asia Tenggara dan LCS. Wang datang ke Vietnam, Kamboja dan Singapura hanya dua minggu setelah Wakil Presiden AS Kamala Harris mengunjungi Singapura dan Vietnam pada bulan Agustus silam.

Pada akhir Juli, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengunjungi Vietnam untuk meningkatkan hubungan pertahanan antara kedua negara.

Austin, yang juga mengunjungi Singapura dan Filipina, mengatakan bahwa klaim China atas hampir seluruh LCS tidak memiliki dasar hukum internasional dan menginjak kedaulatan negara-negara di kawasan tersebut.

"Sayangnya, keengganan Beijing untuk menyelesaikan perselisihan secara damai dan menghormati aturan hukum tidak hanya terjadi di atas air," kata Austin.

"Kami juga telah melihat agresinya terhadap India [...] aktivitas militer yang tidak stabil dan bentuk-bentuk pemaksaan lainnya terhadap rakyat Taiwan [...] serta genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan kepada Muslim Uighur di Xinjiang."

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian segera menanggapi Austin.

"AS mengabaikan fakta, dengan sengaja mencoreng China, mencampuri urusan dalam negeri China dan menabur perselisihan di antara negara-negara kawasan dengan tujuan melayani kepentingan geopolitiknya sendiri," papar Zhao di Beijing pada konferensi pers reguler.

"Kami memperingatkan pihak AS untuk tidak membuat masalah tentang China di setiap kesempatan dan berbuat lebih banyak untuk kepentingan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut," ujar Zhao.

China rupanya ingin mempengaruhi Vietnam melalui diplomasi perdagangan dan vaksin untuk menutupi agresivitasnya di LCS.

Pada tahun 2020, perdagangan bilateral antara Vietnam dan China mencapai AS$192.28 miliar, tetapi Vietnam mengalami defisit perdagangan senilai $35.34 miliar dengan China di tahun lalu.

Pada tahun yang sama, perdagangan Vietnam dengan AS mencapai $89.52 miliar.

Vietnam lebih senang dengan AS daripada China dalam hal perdagangan. Mengapa? 

Vietnam, negara berkembang, menikmati rekor surplus perdagangan sebesar $69.70 miliar dengan AS pada tahun 2020.

Selama kunjungan Wang ke Vietnam, China mengumumkan bahwa mereka akan menyumbangkan 3 juta vaksin COVID-19 lagi pada tahun 2021, meningkatkan total sumbangan vaksin China menjadi 5.7 juta dosis ke Vietnam.

Namun AS, mantan musuh Vietnam, telah menyumbangkan 7.49 juta dosis vaksin COVID-19 yang terdiri dari Moderna, Pfizer dan Astrazeneca ke Vietnam di tahun 2021.

Vaksin Amerika dan Inggris jauh lebih maju dan efektif daripada vaksin China.

Sebagai pengklaim LCS terbesar kedua, Vietnam ingin China harus menghormati hukum maritim internasional, UNCLOS, kebebasan navigasi dan penerbangan di LCS. Vietnam juga menginginkan China dan ASEAN harus menandatangani Code of Conduct yang mengikat secara hukum di LCS sejalan dengan UNCLOS.

Masih harus dilihat apakah China akan menghormati hukum maritim internasional di LCS dan Laut China Timur atau tidak.

 

Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun