Ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang dan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian pada bulan Desember 2019.
"Kami telah berbicara cukup lama dengan menteri luar negeri [China], dan kami menekankan tentang pentingnya kebebasan beragama. Jadi tidak benar kita tidak melakukan apa-apa, cek catatan media sosial kita," kata Retno.
Dengan pandangan yang sama datang dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia tidak akan mengganggu urusan China.
"Soft diplomacy artinya kita tidak ikut campur. Kami panggil duta besar, itu soft diplomacy," kata Mahfud kepada wartawan saat itu.
Pada akhir Oktober 2019, 23 negara barat mengecam penindasan Muslim Uighur di Komite PBB untuk Urusan Sosial, Kemanusiaan dan Budaya. Namun China mendapatkan dukungan dari 54 negara, yang memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Beijing, di forum yang sama. Negara-negara ini memuji China dan kebijakannya di Xinjiang.Â
Lalu, siapa yang akan menyelamatkan Muslim Uighur dari tindakan kejam China?
Parlemen Kanada mengecam genosida China terhadap Muslim Uighur baru-baru ini. Hal serupa juga dilakukan DPRnya AS.
Tidak lagi dapat diterima untuk menundukkan Uighur dengan dalih terorisme.
"Menggunakan terorisme untuk membenarkan penindasan adalah teknik klasik rezim otoriter," kata Bndicte Jeannerod, direktur Human Rights Watch Prancis, kepada situs web www.france24.com pada tahun 2019.
"Kehadiran orang Uighur dalam kelompok ekstremis tidak membenarkan penindasan yang sewenang-wenang dan sistematis terhadap lebih dari 1 juta orang Uighur, yang digolongkan sebagai tersangka hanya karena etnis dan agama mereka."
Menjadi negara Muslim terbesar, Indonesia, yang memiliki demokrasi terbesar kedua di Asia, harus mengambil sikap berani untuk mengutuk dan mengecam penganiayaan China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang berdasarkan agama, budaya dan etnis mereka. Setiap manusia berhak menjalankan agamanya sendiri dengan bebas. Ini adalah masalah kemanusiaan.