Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kata-kata Presiden China Xi Harus Sesuai dengan Tindakan

30 Januari 2021   08:34 Diperbarui: 30 Januari 2021   08:41 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden China Xi Jinping | Sumber: Wikipedia

Oleh Veeramalla Anjaiah

Dengan nada damai, Presiden China Xi Jinping telah menyerukan untuk kembali ke multilateralisme dan mendesak peningkatan kerjasama global dalam menanggapi pandemi COVID-19, dalam pidato utamanya pada tahun 2021 hanya beberapa hari setelah Presiden baru Amerika serikat (AS) Joe Biden menjabat.

"Lembaga multilateral, yang menyediakan platform untuk menerapkan multilateralisme dan yang merupakan arsitektur dasar yang mendasari multilateralisme, harus dilindungi otoritas dan efektivitasnya. Hubungan antar negara harus dikoordinasikan dan diatur melalui institusi dan aturan yang tepat," kata Xi pada 25 Januari di acara virtual Agenda Davos.

Meskipun ia tidak secara khusus menyebutkan baik negara AS  maupun kebijakan "America First" mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump, tetapi ia mengecam unilateralisme dan kebijakan persenjataan yang kuat.

"Yang kuat seharusnya tidak menggertak yang lemah. Keputusan tidak boleh dibuat hanya dengan memamerkan otot yang kuat atau melambaikan tangan. Multilateralisme tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk tindakan unilateralisme. Prinsip harus dipertahankan dan aturan, setelah dibuat, harus diikuti oleh semua," ujar Xi.

"Multilateralisme selektif seharusnya tidak menjadi pilihan kami".

Berpidato di acara virtual Agenda Davos, Xi meminta negara-negara "untuk meninggalkan prasangka ideologis dan bersama-sama mengikuti jalan hidup berdampingan secara damai, saling menguntungkan dan kerjasama win-win."

Acara tersebut diselenggarakan oleh World Economic Forum (WEF). Presiden Xi, yang juga Sekretaris Partai Komunis China sejak tahun 2012, telah memerintah Komunis China sebagai Presiden sejak tahun 2013. Ini adalah pidato keduanya sejak pertama kali berpidato di WEF di Davos pada tahun 2017. Saat itu pidatonya hanya beberapa hari sebelum pelantikan Trump. Kali ini beberapa hari setelah pelantikan Biden.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden | Sumber: White House
Presiden Amerika Serikat Joe Biden | Sumber: White House

Selama empat tahun terakhir, Trump mengadopsi kebijakan permusuhan terhadap China dan menyatakan perang dagang serta menjatuhkan sanksi terhadap beberapa pejabat China, yang terlibat dalam penganiayaan terhadap Muslim Uighur di provinsi Xinjiang China.

Trump dengan berani menantang tindakan agresif dan ilegal China di Laut China Selatan (LCS) dan membela demokrasi di Hong Kong. Masih harus dilihat ke arah mana hubungan antara AS dan China akan bergerak di bawah pemerintahan Biden dalam empat tahun ke depan.

Dalam pidatonya, Xi menegaskan bahwa ia akan menentang Perang Dingin yang baru.

"Membangun lingkaran kecil atau memulai Perang Dingin baru [...] hanya akan mendorong dunia ke dalam perpecahan dan bahkan konfrontasi," ungkap Xi.

"Kita harus menghormati dan mengakomodasi perbedaan, menghindari campur tangan dalam urusan internal negara lain dan menyelesaikan perselisihan melalui konsultasi dan dialog. Sejarah dan kenyataan telah memperjelas, berkali-kali, bahwa pendekatan antagonisme dan konfrontasi yang salah arah, baik dalam bentuk perang dingin, perang panas, perang perdagangan atau perang teknologi, pada akhirnya akan merugikan kepentingan semua negara dan merusak kesejahteraan semua orang," jelas Xi.

"Kita harus menolak Perang Dingin yang sudah ketinggalan zaman dan mentalitas zero-sum game, saling menghormati dan mengakomodasi, serta meningkatkan kepercayaan politik melalui komunikasi strategis. Penting bagi kita untuk tetap berpegang pada konsep kerjasama yang didasarkan pada saling menguntungkan, menolak kebijakan-kebijakan beggar-thy-neighbor yang berpikiran sempit, dan menghentikan praktik sepihak untuk menyimpan keuntungan dalam pembangunan untuk diri sendiri."

Saat menanggapi pidato Xi, sekretaris pers baru Gedung Putih Jen Psaki mengatakan bahwa Washington akan mendekati Beijing dengan "kesabaran strategis" dan AS selalu menganggap China sebagai "pesaing serius".

"Kami berada dalam persaingan serius dengan China, persaingan strategis dengan ciri khas China di abad ke-21. China terlibat dalam perilaku yang merugikan pekerja Amerika, menumpulkan keunggulan teknologi kami dan mengancam aliansi dan pengaruh kami dalam organisasi internasional," ungkap Psaki pada China selama konferensi pers baru-baru ini.

"Apa yang telah kami lihat selama beberapa tahun terakhir adalah bahwa China tumbuh lebih otoriter di dalam negeri dan lebih tegas di luar negeri dan Beijing sekarang menantang keamanan, kemakmuran dan nilai-nilai kami dengan cara yang signifikan yang memerlukan pendekatan baru AS, dan ini adalah salah satu alasan seperti yang kami bicarakan sedikit sebelumnya, bahwa kami ingin melakukan pendekatan dengan kesabaran strategis," kata Psaki.

Pidato Presiden Xi enak dibaca atau didengar tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Tindakan China di lapangan tidak sesuai dengan kata-kata Xi di WEF.

Ia berkata bahwa yang kuat tidak boleh menggertak yang lemah. Komentar Xi adalah lelucon besar. China yang kuat telah menindas negara-negara Asia Tenggara yang lemah seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan bahkan Indonesia, yang bukan merupakan negara penuntut, di LCS. China juga mengancam Taiwan melalui intimidasi. 

Anehnya, Xi mengatakan bahwa China menghormati hukum internasional, yang tentu saja tidak ada yang percaya.

"Pemerintahan internasional harus didasarkan pada aturan dan konsensus yang dicapai di antara kita, bukan pada perintah yang diberikan oleh satu atau beberapa orang. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah norma-norma dasar dan yang diakui secara universal yang mengatur hubungan negara-ke-negara. Tanpa hukum internasional dan aturan internasional yang dibentuk dan diakui oleh komunitas global, dunia dapat kembali ke hukum rimba, dan konsekuensinya akan sangat menghancurkan bagi umat manusia," ujar Xi.

"Kita harus tegas dalam memperjuangkan supremasi hukum internasional, dan teguh dalam tekad kita untuk menjaga sistem internasional yang berpusat di sekitar PBB dan tatanan internasional berdasarkan hukum internasional."

Semua orang tahu bahwa China lah yang menolak untuk menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, di LCS. China menandatangani UNCLOS dan meratifikasinya sejak lama. 

Kolumnis majalah Foreign Policy yang Terhormat James Palmer menggambarkan pernyataan Xi sebagai "munafik".

"Pernyataan ini munafik. Selagi Beijing memberitahu dunia bahwa mereka menentang perang dingin baru, mereka menjalankan kampanye anti-orang asing di dalam negeri, menindak ideologi asing, mengancam negara-negara kecil yang tidak mengikuti tuntutannya, membangun kehadiran militernya di daerah yang disengketakan, mengirim penerbangan ke Taiwan dan menegaskan bahwa hukum kejahatan pemikirannya memiliki cakupan global. Yang benar-benar ditentang China adalah siapa pun yang bertindak terhadap tindakan agresifnya," kata Palmer dalam artikel baru-baru ini di Foreign Policy.

Berbicara mengenai pandemi COVID-19, Xi mengatakan di acara Agenda Davos bahwa pemulihan global terlihat lemah dan tidak pasti.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ekonomi di semua kawasan terpukul keras pada saat yang sama, dengan industri global dan rantai pasokan tersumbat dan perdagangan serta investasi turun dalam kelesuan. Terlepas dari triliunan dolar dalam paket bantuan di seluruh dunia, pemulihan global agak goyah dan prospek tetap tidak pasti," kata Xi.

"Sangatlah penting untuk meningkatkan kerjasama dalam R&D [penelitian dan pengembangan], produksi dan distribusi vaksin dan menjadikannya barang publik yang benar-benar dapat diakses dan terjangkau oleh orang-orang di semua negara."

Setelah menghadapi banyak kritik tentang banyak kebijakannya, terutama kurangnya rasa hormat terhadap supremasi hukum, dari seluruh dunia selama bertahun-tahun, China hari ini berbicara tentang perdamaian dan menyelesaikan perselisihan melalui negosiasi.

"Zero-sum game atau pemenang mengambil semua bukanlah filosofi penuntun orang China. Sebagai pengikut setia kebijakan perdamaian luar negeri independen, China bekerja keras untuk menjembatani perbedaan melalui dialog dan menyelesaikan perselisihan melalui negosiasi dan untuk mengejar hubungan persahabatan dan kerjasama dengan negara lain atas dasar saling menghormati, kesetaraan dan saling menguntungkan," ujar Xi.

"Sebagai anggota kukuh dari negara-negara berkembang, China akan lebih memperdalam kerjasama Selatan-Selatan dan memberikan kontribusi kepada upaya negara-negara berkembang dalam membasmi kemiskinan, meringankan beban utang dan mencapai lebih banyak pertumbuhan. China akan lebih aktif terlibat dalam tata kelola ekonomi global dan mendorong globalisasi ekonomi yang lebih terbuka, inklusif, seimbang dan bermanfaat bagi semua."

Jika ini benar-benar niat China, mereka sangat disambut. Tetapi kata-kata ini harus sesuai dengan tindakan.

Jika benar-benar China menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS, hal pertama dan terpenting yang harus dilakukan China adalah mengesampingkan peta Sembilan Garis Putusnya yang kontroversial di LCS dan mulai mengakui kedaulatan negara-negara penggugat LCS lainnya berdasarkan UNCLOS dan hukum internasional, yang dibicarakan oleh Presiden China Xi di acara WEF. China harus segera menyelesaikan negosiasi-negosiasinya dengan ASEAN dalam Kode Etik yang mengikat secara hukum di LCS yang akan didasarkan pada UNCLOS.

Jika China serius dalam mengikuti aturan internasional dan ingin menjadi sahabat sejati yang dapat dipercaya, China harus menyatakan bahwa China tidak akan memiliki klaim historis atas hak penangkapan ikan serta klaim maritim lainnya di zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara. Itu akan menjadi isyarat persahabatan sejati dari China terhadap Indonesia dan itu akan menjadi semangat sejati dari Kemitraan Strategis Komprehensif yang ada antara kedua negara.

Penulis adalah jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun