Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pakistan Menghadapi Banyak Krisis Sekaligus

28 Januari 2021   07:34 Diperbarui: 28 Januari 2021   08:05 2736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin Partai Oposisi Liga Muslim Pakistan-Nawaz Maryam Nawaz mengikuti protes anti-pemerintahan di bulan November 2020 di sebuah kota di Pakistan. | Sumber foto: Twitter feed dari Maryam Nawaz

Oleh Veeramalla Anjaiah

Dengan 653,000 personel militer aktif, Angkatan Bersenjata Pakistan adalah kekuatan militer terbesar keenam di dunia. Republik Islam Pakistan, sebuah negara di Asia Selatan, adalah satu-satunya negara Muslim di dunia yang memiliki senjata nuklir.

Anda mungkin berasumsi bahwa Pakistan adalah negara kaya atau negara maju karena memiliki senjata nuklir. Pakistan bukan negara kaya atau maju. Kita bisa membandingkan Pakistan hanya dengan Korea Utara, yang juga memiliki senjata nuklir. Karena Pakistan dan Korea Utara adalah negara-negara miskin, di mana orang-orang berjuang setiap hari untuk kebutuhan dasar, tetapi menghabiskan banyak uang untuk militer dan senjata yang mematikan.

Sekitar 40 persen dari 223 juta penduduk Pakistan hidup dalam kemiskinan, kebanyakan dari mereka berada dalam kemiskinan ekstrim. Misalnya, Indeks Pembangunan Manusia dari Program Pembangunan PBB (UNDP) terbaru menempatkan Pakistan di peringkat ke 154 dari 189 negara di tahun 2020. Peringkat Pakistan jauh lebih rendah dari Suriah yang sedang dilanda perang, yang saat ini berada di peringkat 151.

Para pemimpin Pakistan selalu dengan bangga mengatakan Pakistan kaya akan sumber daya alam. Tetapi lembaga pemerintah dan lembaga keuangan internasional mengatakan orang Pakistan sangat miskin. Pada tahun 2020, menurut PBB, usia harapan hidup di Pakistan hanya 67.3 tahun. Angka kematian bayi adalah 55.8 kematian per 1,000 kelahiran dan 68.2 per 1,000 anak tidak akan mencapai ulang tahun kelima mereka akibat kekurangan gizi, kelaparan dan kondisi kesehatan yang buruk.

Situasinya menjadi lebih buruk akibat pandemi COVID-19, yang melanda jutaan orang miskin di seluruh negeri.

Pada tanggal 27 Januari 2021, Pakistan melaporkan jumlah 537,477 kasus COVID-19 dan 11,450 kematian.

Sekitar 10 juta orang Pakistan akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem akibat wabah COVID-19. Hampir 25 persen orang Pakistan saat ini terlalu miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, tetapi angka itu diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30 persen dari total populasi.

Pandemi COVID-19 diperkirakan memiliki dampak negatif pada ekonomi Pakistan yang sudah menurun, dan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat meningkat dari 50 juta orang saat ini menjadi 60 juta orang, menurut sebuah penelitian.

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan baru-baru ini berbicara tentang situasi yang gawat.

"Di Pakistan, kami memiliki 25 juta pekerja yang merupakan pencari nafkah harian atau wiraswasta, dan ini adalah 25 juta keluarga; Saya katakan itu berdampak total kepada 120-150 juta orang," kata Imran seperti yang dilansir di surat kabar Dawn belum lama ini.

Tingkat pengangguran Pakistan mencapai 4.45 persen pada tahun 2020 dan mungkin akan meningkat akibat COVID-19. Surat kabar India The Hindustan Times melaporkan dengan mengutip Survei Ekonomi tahunan Pakistan tahun 2019 hingga 2020 memperkirakan bahwa jumlah orang yang kehilangan pekerjaan akan berada di antara 1.4 juta hingga 18.5 juta jika bisnis di negara itu ditutup secara luas.

Sejak pendiri partai Tehreek-e-Insaf (PTI) Imran Khan mendapatkan kekuasaan pada tahun 2018 dengan janji-janji besar, ekonomi Pakistan telah melambat dengan cepat. Pada tahun pertama, ekonomi hanya tumbuh 1.8 persen, penurunan yang besar dari 5.53 persen pada tahun 2017. Pakistan jatuh ke dalam resesi karena ekonominya menurun -0.4 persen akibat pandemi COVID-19 dan pengelolaan yang kurang baik. 

Orang-orang berada dalam situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, banyak dari mereka kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Harga makanan naik seperti yang lainnya. Misalnya, tingkat inflasi di tahun 2020 telah naik ke level rekor 10.7 persen, lompatan besar dari 4.7 persen pada tahun 2018.

Rakyat Pakistan kehilangan kepercayaan pada pemerintah koalisi Imran. Mereka turun ke jalan untuk memprotes manajemen ekonomi yang kurang tepat, penanganan pandemi COVID-19, pengangguran massal dan harga pangan. Partai oposisi berada di garis depan protes untuk menuntut pengunduran diri Imran.

Partai oposisi menuduh bahwa Imran tidak dipilih oleh rakyat tetapi dipilih oleh militer yang kuat.

Faktanya, jauh sebelum datangnya pandemi COVID-19, perekonomian Pakistan sedang dalam kondisi yang buruk.

Pada saat itu Pakistan berjalan dengan menggunakan dana talangan atau paket Extended Fund Facility dari Dana Moneter Internasional (IMF) senilai AS$6 miliar. Namun program tersebut terhenti pada bulan Maret 2020 akibat pandemi COVID-19.

Imran menyalahkan kekacauan saat ini pada pendahulunya, yang menempatkan negara dalam jebakan hutang. Pada tanggal 30 September 2020, total utang dan kewajiban Pakistan mencapai $280 miliar, lebih besar dari PDB negara yang senilai $278.22 miliar.

Ironisnya, sekitar sepertiga dari total APBN digunakan untuk pembayaran utang dan 20.3 persen digunakan untuk anggaran militer. Jadi, lebih dari 50 persen APBN hanya digunakan untuk membayar utang dan anggaran pertahanan.

Orang Pakistan sangat malang karena memiliki begitu banyak masalah yang kompleks. Pakistan memiliki pendapatan per kapita PDB yang rendah hanya $1,325 pada tahun 2019, penurunan besar dari $1,625 pada tahun 2018. Pakistan juga memiliki standar hidup yang rendah serta tingkat kemiskinan yang tinggi. Negara Asia Selatan ini memiliki sistem pendidikan di bawah standar.

Alasan utama dari semua masalah ini adalah para jenderal Pakistan yang rakus dan haus akan kekuasaan, politisi korup dan birokrat yang tidak kompeten, yang menjarah negara selama lebih dari tujuh dekade. Korupsi merajalela. Pakistan berada di peringkat 120 dari 180 negara pada Indeks Persepsi Korupsi dari  Transparency International 2019.

Tujuh puluh empat tahun yang lalu, Pakistan lahir sebagai negara baru yang memisahkan India Bersatu berdasarkan alasan agama.

Jenderal militer yang haus kekuasaan merebut kekuasaan berkali-kali di Pakistan dan militer memerintah negara itu selama 33 tahun dari 74 tahun. Militer mendominasi di banyak bidang di Pakistan. Mereka bekerja erat dengan politisi korup dan kelompok radikal agama untuk mempertahankan otoritasnya. Dengan kata lain, militer memegang kendali penuh atas negara. Menurut perkiraan, lembaga afiliasi militer mengendalikan bisnis senilai $20 miliar. Akibatnya, banyak jenderal yang menjadi jutawan.

Sebagai catatan, militer Pakistan gagal melindungi negaranya pada tahun 1971 ketika Pakistan Timur dipisahkan dari Pakistan dan membentuk Bangladesh. Menurut laporan media, militer Pakistan melakukan banyak kekejaman terhadap orang Bangla. Pakistan berperang dengan India berkali-kali karena masalah Kashmir dan kalah dalam semua perang.

Ada begitu banyak tuduhan dari India dan AS bahwa militer Pakistan bekerja erat dengan begitu banyak kelompok teror, termasuk Taliban di Afghanistan dan Lashkar-e-Taiba.

Baru-baru ini, pemerintah Imran membuat undang-undang yang mengkritik militer Pakistan sebagai kejahatan. Pemerintah juga telah memberlakukan sensor di media sosial. 

Sayangnya, sekitar 65 persen penduduk tinggal di pedesaan. Pakistan menghabiskan sejumlah kecil uang untuk pendidikan, yang saat ini kurang dari 2 persen dari PDB. Akibatnya, 40 persen rakyat Pakistan tidak dapat membaca dan menulis hari ini. Pada tahun 2018, tingkat literasi perempuan Pakistan hanya 49 persen. Pakistan menghabiskan lebih banyak uang untuk militer daripada pendidikan atau kesehatan.

Pakistan telah mengalokasikan $7.85 miliar untuk pengeluaran pertahanan pada tahun 2020-2021 secara langsung, $3 miliar lainnya secara tidak langsung untuk militer.

Orang-orang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka karena kemiskinan. Sekolah agama, dengan bantuan negara-negara Teluk, menawarkan pendidikan agama gratis. Akibatnya, negara ini kini memiliki jumlah radikal agama dan konservatif tertinggi di dunia. Beberapa dari mereka berubah menjadi teroris. Intoleransi telah tumbuh secara dramatis dan agama minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, Hazara, Sikh, Hindu dan Kristen saat ini dianiaya di Pakistan.

Pakistan saat ini memiliki 150,000 dokter di negara dengan penduduk sejumlah 223 juta orang. Orang harus berjalan kaki beberapa kilometer dari desa ke kota untuk mendapatkan perawatan medis.

Indonesia telah belajar dari kediktatoran Soeharto. Militer Indonesia berada di bawah supremasi sipil. Demokrasi berlaku di negara kami dan kami memiliki kebebasan penuh.

Kita bisa belajar dari Pakistan tentang bahaya radikalisme, yang mengajarkan intoleransi dan kekerasan.  

Pakistan harus berinvestasi lebih banyak pada pendidikan, yang merupakan hal mendasar bagi pembangunan ekonomi negara. Jika Pakistan setuju untuk berdamai dengan India dan Afghanistan di masa depan, Islamabad dapat mengalihkan miliaran dolar, yang saat ini dibelanjakan untuk militer dan persenjataan, untuk pembangunan ekonomi.

Penulis adalah jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun