Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Seratus Tahun Diplomasi Azerbaijan yang Menakjubkan

25 Desember 2019   10:53 Diperbarui: 25 Desember 2019   15:29 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elmar Mammadyarov | Credit: nato.int

Azerbaijan yang kaya akan minyak, sebuah negara kecil di Kaukasus Selatan, saat ini adalah ketua Gerakan Non-Blok (GNB), organisasi antar pemerintah terbesar kedua setelah PBB dengan 120 negara anggota.

GNB didirikan pada tahun 1961 oleh Indonesia, India, Yugoslavia dan Mesir berdasarkan Prinsip-Prinsip Bandung yang diadopsi pada Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Indonesia.

Menjadi ketua GNB adalah pencapaian terbesar bagi diplomasi Azerbaijan hanya dalam delapan tahun karena Azerbaijan baru saja bergabung ke GNB pada tahun 2011.

Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev memilih diplomat top dari Azerbaijan, yaitu Elmar Mammadyarov, sebagai Menteri Luar Negerinya pada tahun 2004. Di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Mammadyorov yang cerdas, para diplomat Azerbaijan telah mencapai banyak tonggak dalam sejarah Azerbaijan selama 15 tahun terakhir.

Azerbaijan telah memainkan peran aktif di panggung internasional keanggotaannya di berbagai organisasi dan peluncuran inisiatif baru untuk perdamaian serta toleransi.

Tetapi dinas diplomatik Azerbaijan bukanlah hal yang baru. Negara ini telah memiliki sejarah yang gemilang selama seratus tahun.

Meskipun Azerbaijan, sebagai bekas Republik Soviet, memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1991, tetapi sejarahnya sudah tertulis sejak lebih dari seratus tahun lalu. Pada tanggal 28 Mei 1918, Dewan Nasional Azerbaijan mengadopsi Undang-Undang Kemerdekaan dan menyatakan negara tersebut sebagai Republik Demokratik Azerbaijan (ADR), republik demokratis rakyat pertama dengan hak suara untuk wanita di kawasan Timur Muslim.

Undang-Undang Kemerdekaan ADR dengan jelas menyatakan sebagai berikut:

"Republik Demokratik Azerbaijan menjamin hak-hak sipil dan politik di perbatasannya untuk semua warga negara tanpa memandang asal etnis, agama, status sosial, dan gender."

Dokumen itu juga menyatakan keinginan ADR untuk "menjalin hubungan bertetangga yang baik dengan semua anggota komunitas internasional".

Pada tanggal 9 Juli 1919, ADR yang bermasyarakat mayoritas Muslim yang baru lahir mendirikan sekretariat Kementerian Luar Negeri. Melalui Keputusan Presiden Ilham Aliyev pada tanggal 24 Agustus 2007, tanggal 9 Juli 1919 diambil sebagai dasar untuk penetapan Hari Karyawan dari Layanan Diplomatik Azerbaijan yang juga dikenal sebagai Hari Diplomasi.

"Satu abad memisahkan kita dari masa ketika ADR mengambil langkah pertamanya di arena internasional. Itu adalah abad yang sangat padat yang meliputi runtuhnya kerajaan-kerajaan terdahulu yang hilang dalam api Perang Dunia Pertama," kata Mammadyarov dalam sebuah artikel di majalah IRS Heritage baru-baru ini.

ADR dikuasai paksa Uni Soviet pada tahun 1920. Tetapi semangat ADR dan nilai-nilainya diadopsi oleh Azerbaijan saat ini.

"Meskipun tinggal di persimpangan di mana kepentingan negara-negara adikuasa global bertemu dan sering bertabrakan, rakyat Azerbaijan selalu menunjukkan tekad yang kuat dan tabah dalam menjunjung tinggi kebebasannya," kata Mammadyarov.

ADR berhasil mendapatkan pengakuan dari banyak negara.

"Pada waktu itu, ada kantor perwakilan diplomatik dari 16 negara yang beroperasi di Baku, termasuk, misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia, Swedia, Swiss, Belgia, Persia, Polandia, Ukraina, dll. Pada gilirannya, Pemerintah ADR memiliki kantor perwakilan diplomatik dan konsuler di Georgia, Armenia, Turki, Ukraina dan negara-negara lain," katanya.

Delegasi ADR berhasil mempresentasikan maksud negara mereka pada Konferensi Perdamaian Paris dan mendapatkan pengakuan de facto dari Dewan Tertinggi Konferensi Perdamaiaan Paris pada awal 1920. Bahkan presiden AS saat itu, Woodrow Wilson, terkesan oleh delegasi ADR.

"Saya berbicara kepada orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang sama dengan saya dalam hal gagasan, dalam hal konsepsi kebebasan, dalam hal konsep hak dan keadilan," kata Presiden Wilson.

Diplomasi tidak hanya milik laki-laki saja. Perempuan-perempuan Azerbaijan turut aktif dalam diplomasi di masa lalu.

"Salah satu tokoh yang paling luar biasa pada masa itu adalah Sarah Khatun, ibu Uzun Hasan - penguasa dinasti Aq Qoyunlu. Dia sangat berwawasan dalam urusan negara sehingga dia melakukan negosiasi penting dan bahkan berhasil mencapai kesepakatan dengan Sultan Kerajaan Ottoman Mehmet II, dengan demikian menuliskan namanya dalam sejarah sebagai diplomat wanita pertama di dunia Muslim," ujar Mammadyarov.

Selama tujuh dekade pemerintahan Soviet, para diplomat Azerbaijan, termasuk Mammadyarov, bersinar dalam diplomasi.

Mammadyarov bergabung dengan Kementerian Luar Negeri pada tahun 1982 dan mempelajari semua keterampilan diplomatik, yang menjadi sangat berguna dalam karirnya ketika Azerbaijan merdeka pada tahun 1991.

Azerbaijan merdeka dari Uni Soviet pada masa-masa kritis. Tetangganya, Armenia, memulai konflik dengan Azerbaijan pada akhir 1980-an dan berlanjut hingga 1994, yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa manusia, pembersihan etnis, perusakan dan pengungsi (IDPs) satu juta orang Azerbaijan. Yang paling pahit bagi warga Azerbaijan adalah pasukan Armenia dengan dukungan diam-diam dari pasukan Soviet menduduki wilayah Azerbaijan, Nagorno-Karabakh dan tujuh wilayah di sekitarnya.

"Dalam keadaan saat ini, cukup jelas bahwa penghapusan konsekuensi dari agresi militer oleh Republik Armenia adalah masalah utama dan paling signifikan dimana Republik Azerbaijan sebagai anggota yang bertanggung jawab dari komunitas internasional berusaha untuk menyelesaikan dengan damai melalui negosiasi yang substantif dan fokus pada hasil," ucap Mammadyarov.

Meskipun Azerbaijan lebih besar dari Armenia dalam segi populasi, ekonomi dan kekuatan militer, Baku memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui negosiasi damai. Meskipun ada empat Resolusi Dewan Keamanan PBB, Armenia masih menduduki 20 persen wilayah Azerbaijan secara ilegal. Orang Azerbaijan yang jadi korban genosida dan pembersihan etnis Armenia kehilangan kesabaran karena mereka menderita selama lebih dari dua dekade.

Jadi itu adalah tantangan terbesar dan terberat bagi Azerbaijan untuk membebaskan wilayahnya dari kependudukan Armenia.

"Di sisi lain, meskipun ada agresi asing, kebijakan luar negeri yang seimbang dan multi-vektor yang ditempuh oleh negara Azerbaijan memastikan penguatan yang konsisten dari otoritas internasional Azerbaijan dan signifikansi dalam sistem hubungan internasional," kata Mammadyarov.

Azerbaijan, seperti Indonesia, adalah negara yang cinta damai. Keduanya memiliki pandangan politik, ekonomi, agama dan budaya yang sama dalam menghadapi masalah global. Indonesia mengakui kemerdekaan Azerbaijan pada tahun 1991 dan menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1992. Sekarang kedua negara membuka kedutaan masing-masing di Jakarta dan Baku.

"Kami memiliki hubungan yang sangat baik dengan Indonesia. Azerbaijan berterima kasih kepada Indonesia karena telah mendukung integritas dan kedaulatan wilayahnya," Duta Besar Azerbaijan untuk Indonesia Jalal Mirzayev mengatakan kepada penulis baru-baru ini.

Indonesia mengakui kedaulatan Azerbaijan atas Nagorno-Karabakh dan menginginkan agar Azerbaijan dan Armenia harus menyelesaikan masalah ini melalui negosiasi damai.

Azerbaijan ingin menjaga hubungan baik dengan semua negara dan organisasi internasional.

"Berbicara mengenai tempat dan peran Azerbaijan dalam sistem hubungan internasional, harus dicatat bahwa negara kita bertindak tidak hanya sebagai penerima sinyal yang ditransmisikan dari pusat-pusat kekuatan utama, tetapi juga sebagai produsen aktif yang memberikan kontribusi nyata kepada definisi agenda global," kata Mammadayarov.

Setelah seratus tahun, diplomasi Azerbaijan masih bersinar di kancah internasional dan mudah-mudahan akan melanjutkan tradisi meraih apa yang terlihat sulit untuk diraih.

*Penulis adalah seorang jurnalis senior dan penulis buku "Azerbaijan Di Mata Indonesia" yang tinggal di Jakarta, Indonesia.

* Veeramalla Anjaiah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun