Veeramalla Anjaiah
Para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dijadwalkan bertemu di Clark dan Manila, Filipina, untuk KTT ASEAN ke-31 dan pertemuan-pertemuan serupa Hari Senen sampai Hari Rabu (13-15 November).
Rakyat dari 10 negara anggota ASEAN dan semua negara besar di dunia sangat menunggu hasil KTT ASEAN mengenai isu-isu kontroversial seperti Laut China Selatan (LCS), kesatuan ASEAN, terorisme, Korea Utara dan pembicaraan perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), perubahan iklim dan banyak isu lainnya.
Diantaranya, yang terpenting adalah teka-teki LCS. Dengan tidak adanya kepemimpinan dari satu-satunya negara adidaya di dunia - Amerika Serikat - mengenai isu LCS, Cina, negara kuat yang baru di dunia, dengan percaya diri mengancam atau menggertak tetangga kecil Asia Tenggaranya.
Korban terbarunya adalah Filipina, tuan rumah KTT ASEAN. Cina mengirim kapal perang ke pulau Pag-asa (Pulau Thitu) di Filipina awal pekan ini ketika Manila ingin mendirikan beberapa bangunan di sebuah gundukan pasir hampir 4 kilometer dari pulau itu.
Thitu adalah pulau terbesar kedua di kelompok Kepulauan Spratly Laut China Selatan. Meskipun telah diduduki oleh Filipina sejak tahun 1970, pulau ini juga diklaim oleh China, Taiwan dan Vietnam. Orang Tionghoa menyebutnya Tie Zhi.
Dengan tunduk pada intimidasi Beijing, Filipina yang tak berdaya menarik tentaranya dan menghentikan pekerjaan konstruksi.
Beberapa bulan yang lalu, China mengajukan sebuah demonstrasi menentang Indonesia ketika Indonesia mengganti bagian tertentu dari wilayah maritimnya di Laut China Selatan di timur laut Kepulauan Natuna yang kaya sumber daya sebagai Laut Natuna Utara. Tapi Indonesia, anggota G20 dan pemimpin de facto ASEAN, mengabaikan protes Beijing.
Negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih dengan China dan Taiwan terhadap beberapa bagian LCS, yang memiliki wilayah maritim seluas 3,5 juta kilometer persegi.
Namun China mengklaim hampir seluruh wilayah LCS yang kaya sumber daya, berdasarkan pada apa yang disebut sebagai "dasar historis" serta "sembilan garis putus" garis demarkasi berbentuk lidah sapi yang kontroversial. Garis ini, sumber dari semua konflik dan kontroversi, juga merambah ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di wilayah maritim Natuna, meskipun negara kepulauan Indonesia bukanlah penggugat dalam perselisihan tersebut.
Perilaku Beijing di LCS, terutama tindakan reklamasinya untuk membangun pulau-pulau buatan dan menyebarkan senjata mematikan di pulau-pulau tersebut, merupakan ancaman terbesar bagi persatuan, perdamaian dan stabilitas ASEAN.