Mohon tunggu...
Dalvin Steven
Dalvin Steven Mohon Tunggu... Akuntan - Positif Realistis

Dalvin Steven, lulusan Ekonomi Akuntansi yang mencintai karya tulis, memiliki mimpi #IndonesiaBersatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ibu Pertiwi, Beliau Susah atau Marah?

7 Oktober 2019   15:58 Diperbarui: 7 Oktober 2019   16:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang

Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa

Demikian bait pertama lagu berjudul Ibu Pertiwi yang diciptakan oleh Ismail Marzuki. Nyatanya, sosok Ibu Pertiwi bukan merupakan sosok nyata. Ibu Pertiwi merupakan personifikasi dari Bangsa Indonesia. Namun, seringkali Ibu Pertiwi digambarkan sebagai sosok yang dapat merasakan sesuatu yang terjadi atas bangsa Indonesia, karena Ibu Pertiwi adalah Bangsa Indonesia itu sendiri. Namun, jika sosok Ibu Pertiwi itu benar hadir di dunia nyata, bagaimana perasaan beliau melihat kondisi dan kinerja Bangsa Indonesia saat ini?

Kalau kita sama-sama mengikuti perjalanan bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir, gejolak dan dinamika begitu bergelora di bumi Indonesia. Situasi politik, ketidakpastian ekonomi, ketidakpercayaan masyarakat terhadap beberapa institusi pemerintahan, membuat 'bentrok' antar golongan masyarakat atau pun masyarakat dengan aparat negara, seperti TNI dan Polisi. Mengerucut ke periode tahun 2016, 2017, 2018, 2019, situasi negara kita begitu dibuat ketar-ketir dan seakan sedang tergantung di ujung tanduk. 

Mulai dari akhir tahun 2016, dimana terjadi aksi damai 212 yang menuntut Gubernur DKI saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, untuk diproses hukum akibat ucapannya kala berbicara didepan penduduk Kepulauan Seribu yang mengutip ayat Al-Quran. Bukan mempersoalkan aksi damainya, karena itu merupakan hal yang baik terjadi, dimana umat Muslim berkumpul dan sholat bersama-sama di kawasan Monas. Namun, menguapnya isu diskriminasi dan SARA terhadap kaum minoritas menjadi berita negatif, apalagi jika sampai tercium dunia internasional yang tentu mencoreng nama Indonesia dengan reputasi negara dengan toleransi tinggi antar umat dan suku bangsa.

Kemudian memasuki tahun 2017, pesta demokrasi DKI Jakarta yang masih diikuti oleh Basuki Tjahaja Purnama kala itu, digelar. Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono bersama calon wakil gubernur masing-masing bersaing meraih kursi DKI-1. Kala Agus-Silvyana Murni akhirnya harus kandas di putaran pertama, akhirnya mempertemukan Basuki Tjahaja Purnama dan Anies dibabak final Pilkada DKI 2017. 

Lagi-lagi, ditengah Basuki Tjahaja Purnama yang sedang menghadapi tuntutan serta sidang penistaan agama, muncul kembali isu SARA dan diskriminasi terhadap minoritas. Akhirnya, Pilkada DKI 2017 resmi memilih Anies Baswedan dengan pasangannya kala itu, Sandiaga Salahuddin Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih. Setelah itu, tensi panas di ibukota negara berangsur-angsur mendingin dan normal kembali.

Tidak berhenti sampai disitu. Memasuki tahun 2018, tensi panas meluas hingga seluruh penjuru Indonesia, dimana pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia tahun 2019 mulai dipersiapkan. Koalisi diantara partai politik, persaingan siapa yang akan menduduki kursi-kursi pemerintahan mulai bermunculan. Namun, hampir seluruh mata dan hati masyarakat tertuju pada calon pemimpin dipucuk tertinggi negara, yaitu presiden. 

Dua sosok sentral yang pernah bersaing tahun 2014, kembali dipertemukan di panggung Pemilu Presiden 2019. Kedua sosok tersebut ialah Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Makin mendekati bulan April 2019, makin banyak hoax bermunculan. Akibat merasa dihina dan dianggap melakukan pencemaran nama baik, banyak pihak akhirnya saling lapor ke polisi. Bahkan beberapa di antaranya harus berujung hukuman penjara. 

Seusai pemilu dilakukan, terdapat beberapa pihak yang tidak setuju dengan hasil pemilu yang diumumkan KPU. Demo-demo bermunculan, khususnya disekitaran gedung Bawaslu dan KPU, tentu meresahkan masyarakat. Lagi-lagi, beberapa pihak memandang akan ada potensi merosotnya minat investasi di Indonesia.

Pada bulan September lalu, ketika DPR bersiap mensahkan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang, sekali lagi, masyarakat, yang kali ini didominasi oleh pelajar, mahasiswa dan pelajar STM dan sederajat, melakukan aksi, bahkan cukup anarkis hingga jalan tol sampai ditutup, terkait penolakan mereka terhadap RUU tersebut. 

Cukup beralasan mengapa mereka turun ke jalan, dengan titik pusat adalah Gedung DPR-MPR. Mereka mendesak DPR dan Presiden tidak mengesahkan beberapa RUU kontroversial tersebut menjadi UU karena dianggap tidak menguntungkan bahkan sangat merugikan bagi beberapa pihak di masyarakat. RUU-KPK pun termasuk yang ditolak, karena dianggap akan memberi ruang lebih luas kepada para koruptor untuk beraksi.

Bukan aksi, bukan, bukan orasi, bukan pola pikir mereka yang dipermasalahkan, namun bagaimana cara beraspirasi yang salah. Penutupan jalan, bakar ban dan barang, lempar-lempar batu, kekerasan, anarkisme bahkan berujung luka dan kematian, itulah yang tentunya menjadi masalah, merugikan bangsa, juga masyarakat.

Kembali ke pembahasan awal, bagaimana perasaan Ibu Pertiwi apabila beliau adalah sosok nyata saat ini? Apa perasaan beliau melihat, menyaksikan bangsanya sedang ribut sana-sini? Apakah senang? Apakah beliau susah? Ataukah marah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun